Islam akan menjadi sekadar warisan, jika ia bersifat sebagai seperangkat nilai, prinsip, dan dogma yang diberikan kepadamu, terutama oleh orangtua, guru, dan lain-lain, tanpa engkau maknai ulang. Ia jadi ibarat pakaian yang dipakaikan kepadamu, terlepas engkau mau atau tidak.
Engkau menerima ia begitu saja tanpa proses kontestasi, pemaknaan.
Engkau pada akhirnya boleh jadi saleh dalam ritual tetapi gagal memanifestasikan kesalehan itu kedalam konteks sosio-kultural. Engkau bahkan tidak tahu kenapa engkau, diantara banyak agama dan kepercayaan, memilih Islam.
Secara singkat, Islam di taken for granted. Agar Islam tidak sekadar menjadi warisan, Islam harus engkau peluk balik, rangkul lebih erat, dan dalami sedalam-dalamnya.
Engkau harus melakukan upaya kontestasi, pencaritahuan akan hikmah, pembedahan setiap perinsip, penelusuran filosofi di balik setiap nilai dan dogma. Sehingga engkau secara sadar mengerti kenapa engkau yakin akan Islam, kenapa engkau memilih Islam sebagai agamamu.
Kita perlu merenungkan bahwa walaupun wahyu Islam–sebagaimana wahyu agama-agama lain–bersifat one-way turun dariNya kepada Nabi Muhammad, yang disebut belakangan sendiri telah lebih dulu secara aktif mengkontestasi nilai-nilai, prinsip, dan dogma yang diyakini oleh masyarakat Quraisy.
Muhammad telah melatih dan mempersiapkan diri dan kebatinannya sendiri, sehingga ketika wahyu Islam turun beliau sudah ‘siap’.
Proses berikutnya adalah pendialogan antara wahyu yang turun dari Allah dan upaya Muhammad untuk menyelami lebih dalam samudera rahasiaNya. Islam alhasil tidak menjadi sesuatu yang diberikan secara satu-arah, dan Muhammad tidak menjadikan dirinya subjek pasif.
Alih-alih, ada resiprokasi antara Muhammad dan Islam, di mana keduanya saling memeluk, saling merangkul, saling mensublimasi kedalaman batin dan substansi masing-masing.
Proses itu dikukuhkan oleh proses pembacaan dan perbaikan tanpa akhir. Kualitas inilah yang perlu kita tiru dari Rasulullah, sebagai manifestasi Islam itu sendiri.
Jadi, jika ada yang berislam tapi tidak mengerti kenapa dia Islam kenapa dia shalat kenapa dia begini dan begitu kecuali sebatas “karena orangtua/guru/lingkungan mengharuskan saya begitu” maka patut dipertanyakan kualitas kemuhammmadannya.
Pada zaman sekarang taqlid buta bukan sekadar tidak cukup, tapi juga berbahaya. Mari memuhammadkan keislaman kita.