Agama di Tengah Polemik Penolakan Timnas Israel, Kita Belajar Apa?

Agama di Tengah Polemik Penolakan Timnas Israel, Kita Belajar Apa?

Kontroversi terkait kedatangan Tim Nasional Israel ke Indonesia ini cukup menarik jika kita mengikutinya di media sosial. Sebab, linimasa berbagai platform media sosial dijejali beragam meme, caption, hingga video siniar dari warganet yang membahas atau mengutarakan pendapat mereka, terkait kekisruhan Timnas Israel ini.

Agama di Tengah Polemik Penolakan Timnas Israel, Kita Belajar Apa?
Demo penolakan Timnas Israel (Photo by Kompas.com/Xena Olivia)

Klub Sepak bola asal London, Chelsea FC, membuat pengumuman menarik menjelang Ramadan kemarin. Pengelola klub bermarkas di Stamford Bridge tersebut mengajak komunitas Muslim di kota London untuk berbuka di stadium kebanggaan mereka tersebut. Kabar ini langsung tersebar luas di media sosial dan media massa, dan disambut gembira oleh masyarakat Muslim di berbagai belahan dunia lainnya.

Bahkan, berita soal kumandang azan kala waktu berbuka dan ibadah Salat Maghrib waktu London telah beredar luas beberapa hari terakhir ini. Kegiatan keislaman di klub sepak bola Inggris sebenarnya bukan hal baru. Sebelum Chelsea FC, ada klub Blackburn Rovers yang mengadakan ibadah Salat Ied pada Idul Fitri tahun lalu.

Menariknya, beberapa hari pasca ibadah puasa dimulai, publik Indonesia sedang bergelut dalam perdebatan terkait kehadiran Israel sebagai kontestan di Piala Dunia U-20, yang akan dihelat beberapa bulan akan datang. Mulai pendakwah influencer, Partai Politik, hingga organisasi Islam turut berpendapat dan terlibat dalam kekisruhan ini.

Kontroversi terkait kedatangan Tim Nasional Israel ke Indonesia ini cukup menarik jika kita mengikutinya di media sosial. Sebab, linimasa berbagai platform media sosial dijejali beragam meme, caption, hingga video siniar dari warganet yang membahas atau mengutarakan pendapat mereka, terkait kekisruhan Timnas Israel ini.

Polemik Timnas Israel ini bukanlah sesuatu yang sederhana. Dengan kata lain, permasalahan ini tidak sekedar melarang tim nasional negara lain datang ke Indonesia.

Jika ditelisik lebih dalam permasalahan ini, maka persoalan tidak hanya terkait pada perseteruan antara kelompok setuju dan menolak kedatangan timnas Israel saja, namun ada FIFA sebagai organisasi induk sepak bola dan Indonesia juga tersangkut di dalamnya. Bahkan, masa depan pemain, klub, organisasi induk sepak bola juga disebut turut terseret akibat polemik ini.

Selain itu, persoalan timnas Israel ini juga menyinggung soal sejarah sebuah Bangsa hingga sikap ambigu FIFA atas permasalahan politik, agama, dan sepak bola. Itulah sepak bola. Sebab, sepak bola ini telah menjadi bagian dari kemanusiaan sejak lama. Jadi, persoalan ini tentu tidak sekedar sebelas orang melawan sebelas orang di sebidang tanah. Di dalam sepak bola juga terdapat kisah-kisah kemanusiaan yang tentu tidak selalu positif atau baik.

Di kasus timnas Israel di Indonesia ini, agama disebut menjadi isu sentral selain politik kebangsaan. Memang, penjajahan dan pengambilalihan tanah penduduk Palestina menjadi isu sentral dalam penolakan timnas Israel. Namun, narasi agama juga turut dibawa karena sebagian besar masyarakat kita percaya konflik Palestina-Israel adalah perang agama.

Bagaimana posisi Islam dalam kekisruhan ini? Sebelumnya, kita perlu menyadari polemik timnas Israel di kalangan netizen, baik pihak yang setuju atau menolak, tidak memiliki pendapat tunggal. Dalam sikap penolakan atau persetujuan pun memiliki fondasi atau dalih yang sangat beragam, bahkan sesekali berseberangan.

Sebenarnya, konflik Israel-Palestina sangat kompleks. Persoalan paling utama adalah pengambilalihan lahan dan kekerasan pada masyarakat Palestina. Porsi agama dalam konflik Palestina-Israel tidaklah sebesar apa yang sering beredar di sebagian masyarakat Indonesia. Penindasan atas kelompok Muslim oleh tentara Israel biasanya menjadi dalih kita menolak kehadiran Israel dalam bentuk apapun, mulai dari boikot produk dagang hingga penolakan kedatangan timnas.

Walaupun begitu, posisi agama di tengah penolakan timnas Israel kemarin sangat beragam. Narasi yang dihadirkan tidak tunggal. Bahkan, agama juga digunakan di kedua belah pihak, baik mendukung atau menolak kedatangan timnas Israel.

Di kelompok menolak, agama diposisikan sebagai tanda solidaritas hingga dalil untuk menentang timnas Israel. Porsinya pun sangatlah besar, bahkan beberapa kelompok sempat menyatakan akan “menghadang” di bandara jika timnas Israel tetap akan datang ke Indonesia.

Sedangkan, bagi kelompok mendukung atau memperbolehkan kedatangan timnas Israel, agama dianggap tidak terbatas pada sekat kewarganegaraan, misalnya timnas Palestina dilatih seorang yang berasal dari Israel atau timnas Israel diperkuat pemain beragama Islam. Bagi kelompok ini, agama tidak menghalangi aktivitas sepak bola.

Narasi agama di kedua kelompok ini sebenarnya tidak ketemu. Sebab, bagi kalangan menolak, agama tidak saja identitas, namun agama menjadi alasan penindasan yang terjadi hari ini. Sehingga, kehadiran timnas Israel harus ditolak. Sebaliknya, bagi kelompok yang setuju, agama tidak seharusnya menghalangi kehadiran karena sekat agama tidak pernah dipermasalahkan dalam relasi masyarakat di Palestina.

Terus bagaimana posisi agama di sepak bola. Sebenarnya, jika kita menelusuri agama tidak dapat dipisahkan dari sepak bola. Walaupun, relasi atau eksistensinya tidak selalu stabil. Kampanye Unity in Diversity di Inggris marak dalam beberapa tahun terakhir adalah salah satu buktinya. Agama, dalam kasus ini Islam, malah menjadi inspirasi untuk memperlihatkan sisi rahmatan lil alamin (rahmat bagi sekalian alam).

Namun, agama juga memiliki wajah fanatisme yang berkelindan dengan identitas di sepak bola, seperti klub atau agama sang pemain. Kita mungkin masih ingat perbincangan soal kasus Mësut Özil di Arsenal beberapa waktu lalu, atau agama menjadi identitas klub, seperti Celtic dan Rangers di Skotlandia.

Agama di sepak bola tidak bedanya dengan posisinya di tengah kehidupan manusia. Ia seringkali dipinjam, ditolak, dinegosiasi, hingga diserap sebagian di ranah sepak bola. Agama akhirnya menjadi distabil dan kabur, namun tidak hilang sepenuhnya. Namun, wajah agama di sepak bola sebenarnya mengalami percampuran dengan kebudayaan dan identitas lain, dalam hal ini sepak bola.

Saat hari ini kita menjumpai agama menjadi salah satu dalih penolakan timnas Israel, maka hal ini salah satu penyebabnya adalah imaji sebagian masyarakat kita atas konflik di Palestina. Sebagaimana dijelaskan di atas, agama juga dipergunakan di kedua belah pihak. Itulah wajah agama di sepak bola.

Pelajaran bagi kita di tengah penolakan timnas Israel kemarin adalah layaknya agama, konflik Palestina-Israel tersebut masih sering dipinjam, diterjemahkan, atau ditafsirkan kembali di sepak bola. Semoga saja perjuangan kemerdekaan Palestina yang hingga hari ini masih belum terwujud, tidak malah mendangkal dan tercerabut atau malah diambil keuntungan darinya. Terlebih, kita sendiri sebenarnya belum benar-benar mengerti konflik tersebut.

Fatahallahu alaina futuh al-arifin