“Kita menutup warung bulan puasa diributkan. Tuh, Bupati Jayawijaya juga melarang orang jualan di hari Minggu. Sama aja, kan?”
Ungkapan seperti itu sebenarnya sering saya dengar dari anak-anak saya yang masih SD. Kalau salah satu disuruh berhenti melakukan sesuatu sementara yang lain masih boleh, maka ia akan protes,”Abang kok boleh?” Artinya, orang-orang yang begitu hanya sosok tubuhnya saja yang dewasa. Mentalnya masih kanak-kanak.
“Two wrongs don’t make a right.” Seharusnya begitu. Hanya karena ada pihak lain melakukan kesalahan yang sama dengan kita, tidak membuat kesalahan kita jadi benar. Tapi ini memang bukan soal salah benar. Ini soal membenarkan diri. Jadi kalau pihak sana melakukan kesalahan, artinya saya juga boleh. Two wrongs make a right.
Kita tidak lagi berlomba-lomba melakukan kebaikan, melainkan berlomba-lomba melakukan kesalahan. Yang penting ego terpuaskan. Saya bisa melakukan yang saya mau, karena saya mayoritas yang berkuasa. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu, saya juga harus bisa. Kemudian harus ada sesuatu yang hanya saya yang boleh melakukan. Itulah previllege mayoritas, yang tidak boleh dilakukan oleh minoritas.
Orang di daerah mayoritas muslim melarang pendirian gereja, menghalangi kegiatan penginjilan. Orang di daerah mayoritas Kristen melarang pendirian mesjid dan menghambat dakwah Islam. Agama menjadi alat untuk saling menjatuhkan, kemudian saling bunuh.
Bukankah agama seharusnya berdiri di atas fondasi kebenaran? Kalau ada pihak yang melakukan kesalahan seharusnya kita tidak meniru. Kita tetap istiqamah dalam kebenaran. Lucunya kita merasa diperlakukan tidak adil ketika kita dicegah dari kemungkaran, saat ada pihak lain masih melakukan kesalahan. Makna adil pun kita selewengkan. Adil itu basisnya kebenaran, bukan kesamaan. []
*) Diambil dari blog Kang Hasan