Masjid dari terminologinya memiliki makna sebagai tempat sujud. Menurut al-Musthafawy, secara etimologi, masjid diartikan sebagai:
بأنه المكان الذي أُعِدّ للصلاة فيه على الدّوام
Artinya:
“Yaitu suatu tempat yang disiapkan untuk sholat di dalamnya, senantiasa.” (al-Mushtafawy, al-Tahqiq fi Kalimat al-Qur’an al-Karim, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt.: Juz 5, halaman 50)
Para ulama’ juga memberikan ta’rif lain, bahwa masjid adalah:
بأنه موضع من الأرض يُسجد لله فيه؛ لحديث جابر عن النبي صلى الله عليه وسلم : ((جُعِلَت لي الأرض مسجداً وطهوراً، فأيُّما رجل من أمّتي أدركته الصلاة، فليصلِّ))، وهذا من خصائص نبيّنا(ص) وأمّته، وكانت الأنبياء قبله إنما أُبيحت لهم الصلاة في مواضع مخصصة: كالبِيَع والكناشس
Artinya:
“suatu bagian bumi yang dipergunakan untuk sujud kepada Allah, karena adanya hadits Jabir radliyallahu ‘anhu: ‘Telah dijadikan untukku, bumi sebagai tempat sujud dan suci. Oleh karena itu, sesungguhnya bila seorang laki-laki dari umatku mendapati waktu sholat, maka (dimanapun ia berada) maka sholatlah!’. Semua ini sebagai bagian dari keistimewaan nabi kita Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam dan umatnya. Padahal para nabi sebelumnya, hanya diperbolehkan untuk sholat hanya pada tempat-tempat yang sifatnya khusus saja. Seperti di biara dan gereja.” (Qal’aji, et.al., Mu’jam Lughah al-Fuqaha, halaman: 428)
Masjid, dalam sebuah hadis Muslim dijelaskan sebagai:
انما هي لذكرالله وقرأة القرأن
Artinya:
“”Yaitu suatu tempat untuk mengingat Allah dan membaca Al-Qur’an.” HR. Muslim
Di dalam Q.S. Al-Jin ayat 18, Allah SWT berfirman:
وان المسجد لله فلا تدعوا مع الله احدا
Artinya:
“Sesungguhnya masjid itu adalah kepunyaan Allah. Jangan kalian menyeru (di dalamnya) kepada tuhan selain Allah!” (Q.S. Al-Jin: 18)
Di dalam Q.S. Al-A’raf ayat 29, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
قل أمر ربي بالقسط, واقيموا وجوهكم عند كل مسجد ودعوه مخلصين له الدين, كما بدأكم تعودون
Artinya:
“Katakanlah! Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan, dan luruskanlah wajahmu setiap ( memasuki ) mesjid. Dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. Sebagaimana dia telah menciptakan kamu pada permulaan, kamupun akan kembali kepada-Nya.” (QS. Al-araf : 29)
Dengan mencermati beberapa definisi di atas, selanjutnya kita klasifikasikan bahwa masjid itu merupakan:
- Tempat untuk melaksanakan shalat
- Secara umum tempat itu adakalanya disiapkan secara khusus untuk shalat dan adakalanya tidak
- Bila tempat itu disiapkan secara khusus, maka hukum masjid berlangsung selamanya
- Tempat untuk berdzikir dan membaca al-Qur’an
- Tempat yang merupakan milik Allah subhanahu wa ta’ala
- Tempat untuk shalat (ibadah)
Berangkat dari beberapa klasifikasi di atas, maka masjid secara umum dibedakan menjadi tiga, yang kemudian istilah ini dipergunakan oleh masyarakat secara turun temurun. Ketiga istilah itu adalah:
Pertama, Masjid Jami’
وهو أخص من المسجد؛ لأنَّه يُطلق على المسجد الذي تُصلى فيه الجمعة، وسُمي بذل لأنَّه جمع الناس لوقت معلوم
Artinya:
“Istilah ini merupakan istilah yang paling khusus, yaitu diartikan sebagai tempat yang dipergunakan untuk melaksanakan sholat Jum’at. Disebut juga dengan istilah badzal karena fungsinya juga sebagai tempat berkumpulnya manusia untuk waktu-waktu tertentu.” (Al-Zarkasy, I’lamu al-Sajid bi Ahkami al-Masajid, Damaskus: Dar al-Fikr, tt.: 28)
Kedua, Mushalla
في اللغة بصيغة اسم المفعول: موضع الصلاة أو الدعاء، وهو المجتمع فيه للأعياد ونحوها، وهو أخص من المسجد
Artinya:
“Secara bahasa disebut dengan menggunakan isim maf’ul, yang berarti tempat melakukan sholat atau doa. Istilah ini muncul karena fungsi dari tempat itu adalah sebagai tempat berkumpulnya manusia untuk merayakan beberapa perayaan khusus dan sejenisnya, sehingga lebih khusus dari istilah masjid itu sendiri.” (Al-Zarkasy, I’lamu al-Sajid bi Ahkami al-Masajid, Damaskus: Dar al-Fikr, tt.: 28)
Perbedaannya dengan masjid jami’, mushAlla tidak dipergunakan untuk melaksanakan shalat Jum’at. Untuk shalat berjamaah, ada kemungkinan didirikan secara rutin di tempat tersebut, akan tetapi yang lebih sering adalah fungsi khususnya sebagai tempat penyelenggaraan perayaan di hari-hari tertentu.
Ketiga, Al-Zawiyah
وهو اسم يُطلق على المسجد غير الجامع الذي ليس فيه منبر، والمسجد أعم منه
Artinya: “Nama ini diucapkan untuk menyebut masjid yang bukan tempat melaksanakan sholat jum’at, tidak punya minbar, sehingga fungsinya lebih umum.” (Al-Zarkasy, I’lamu al-Sajid bi Ahkami al-Masajid, Damaskus: Dar al-Fikr, tt.: 28)
Istilah ini dipergunakan untuk membedakan masjid dengan mushalla. Di zawiyah, didirikan secara rutin shalat berjamaah, akan tetapi tidak untuk shalat Jum’at. Makanya, kondisi ini ditengarai dengan ketiadaan mimbar di dalamnya.
Walhasil, ketiga istilah yang berkembang hingga sekarang. Namun bagaimana fungsi dan pengaruh hukumnya terhadap bentuk praktik amaliah yang lain, kita akan mengupasnya pada tulisan mendatang.