Natal, sebagai simbol kelahiran nabi agung Isa al-Masih atau Sang Juru Selamat, menyampaikan pesan universal tentang damai, kasih dan harapan. Namun, di Palestina, tanah Betlehem yang berarti “rumah roti”, pesan ini sering kali hadir dalam ironi. Tahun 2024, perayaan Natal berlangsung di tengah luka dan kekejaman, membawa Natal di Palestina pada sebuah anomali.
Salah satu pemikir berdarah Palestina, Edward Said, melihat apa yang saat ini terjadi di Palestina adalah wajah kolonialisme modern. Bagaimana dia melihat genosida berkepanjangan hari ini, yang merampas makna damai dan sukacita Natal di tanah kelahiran Yesus Kristus?
Edward Said dan Ironi Natal di Palestina
Edward Wadie Said (1935-2003), pemikir kelahiran Jerusalem ini adalah orang yang terdepan dalam memberi pemahaman tentang penderitaan rakyat Palestina sebagai isu global yang melibatkan dimensi kemanusiaan, keadilan dan sejarah. Dalam karyanya, The Question of Palestine (1979), Said menggambarkan Palestina sebagai simbol universal dari perjuangan melawan kolonialisme modern.
Dia menegaskan bahwa konflik ini tidak semata-mata menyangkut tanah atau batas wilayah, tetapi juga keberlanjutan narasi historis dan identitas yang terus-menerus dirampas oleh kekuasaan kolonial. Natal di Betlehem, tempat yang menjadi simbol perdamaian dan kelahiran harapan, kini justru menjadi potret nyata dari ironi besar: tanah suci itu dihantui tembok pemisah (tembok apartheid), kekerasan militer dan penderitaan warga yang tak kenal jeda.
Said dalam esainya Permission to Narrate (1984) mengungkapkan betapa pentingnya merebut narasi Palestina sering kali direduksi menjadi sekadar isu keamanan semata.
Dalam pandangan Said, narasi dominan yang diproduksi oleh kekuatan kolonial dan media global mengaburkan penderitaan nyata rakyat Palestina, yang hidup di bawah pendudukan brutal, pengungsian berkepanjangan, dan diskriminasi sistemik.
Ironinya, kota Betlehem yang menjadi simbol kehadiran Ilahi dan perdamaian abadi, kini menjadi kota yang terkepung oleh tembok beton dan pos-pos militer, membuat perayaan Natal yang sejatinya melambangkan kebebasan dan pengharapan menjadi mustahil.
Selama dua tahun terakhir, perayaan Natal di Betlehem telah hilang dari ruang publik. Eskalasi kekejaman dan pembatasan gerak oleh otoritas Israel menyebabkan umat Kristiani Palestina tidak lagi dapat merayakan Natal dengan prosesi budaya atau parade yang dulu menjadi tradisi tahunan.
Pemerintah Kota Bethlehem mengumumkan bahwa tidak akan ada perayaan Natal yang terlihat pada bulan ini.
Sekali lagi, tidak ada rencana untuk membuat pohon natal tradisional. Toko-toko tetap tutup, dan pariwisata pun sepi.
Issa Thaljieh, seorang pendeta Ortodoks yang melayani di Gereja Kelahiran (The Church of Nativity), mengatakan bahwa Natal akan menjadi acara yang tenang: “Gereja Kelahiran adalah tempat paling penting di dunia, dan semakin dekat dengan Natal, gereja ini seharusnya dipenuhi oleh pengunjung dan wisatawan yang datang untuk berdoa dan menyalakan lilin harapan. Kami belum pernah melihat seperti ini, bahkan selama COVID”.
Tahun 2024 ini bahkan lebih gelap. Tidak ada festival, tidak ada parade, hanya ritual doa yang dipersembahkan dalam bayang-bayang penjagaan ketat militer. Tempat kelahiran Isa as (Yesus) kini menjadi kota yang terkunci, tidak lagi membawa kabar sukacita, melainkan hanya menggambarkan luka dunia yang semakin menganga.
Dalam semangat Natal, memahami ironi ini bukan hanya menjadi tugas umat Kristiani, tetapi juga panggilan untuk seluruh umat manusia agar merefleksikan kembali tanggung jawab kolektifnya terhadap kemanusiaan yang terluka.
Natal 2024: Realitas Perayaan di Tengah Genosida
“Kemarin, anak-anak dibom. Ini adalah kekejaman, bukan konflik”. Kalimat penuh luka dari Paus Fransiskus pada 21 Desember 2024 ini menggambarkan dengan tepat kejahatan perang yang terjadi di Palestina. Bayi-bayi yang lahir di Betlehem hari ini tidak disambut sukacita seperti kelahiran Isa as atau Yesus pada waktu itu, melainkan dengan ancaman kematian yang membayangi. Ketika dahulu Maryam melahiran Isa as di tempat sederhana, dunia menyaksikan seorang reformer dan pembawa damai. Namun kini, tanah yang sama menjadi kuburan bagi harapan-haparan yang seharusnya hidup.
“Marilah sekarang kita pergi ke Betlehem”, demikian bunyi tema Natal Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) tahun 2024 ini. Teks yang diambil dari Injil Lukas 2:15 ini membawa refleksi mendalam tentang makna spiritual dari perjalanan iman. Tema ini sekaligus menjadi ajakan seluruh umat manusia, tidak hanya umat Kristiani untuk kembali kepada nilai-nilai kasih, keadilan dan pengharapan.
Namun, bagi rakyat Palestina, “pergi ke Betlehem” bukanlah sekadar seruan iman; ia menjadi kerinduan pahit yang terus menerus tertahan oleh sekat-sekat tembok dan pos pemeriksaan militer. Betlehem, yang dahulu menjadi saksi kelahiran pembawa damai dan pejuang kemanusiaan, kini adalah kota yang berlumuran darah dan air mata.
TVRINews.com melaporkan, tak kurang dari 106.000 warga Palestina terluka akibat serangan Israel sejak 7 Oktober 2023 lalu . Sementara itu, Kompas.com menyebutkan bahwa hingga 19 Desember 2024, jumlah korban jiwa akibat serangan Israel di Jalur Gaza telah mencapai 45.097 orang.
“Selama masa-masa sulit yang dialami kota-kota Palestina, terutama di Jalur Gaza, sulit untuk menunjukkan tanda-tanda sukacita dan kebahagiaan,” kata Thaljieh. “Migrasi keluar dari Betlehem meningkat setiap hari dan setiap bulan, dan … ini berdampak negatif pada kota,” ungkap Thaljieh. Komunitas Kristen telah mengalami penurunan di seluruh Timur Tengah selama beberapa generasi, tidak terkecuali di Tepi Barat.
Edward W. Said pernah menggambarkan Betlehem sebagai simbol dari “narasi yang direbut”. Dalam pidatonya di Universitas Columbia pada tahun 2000 silam, ia menyebutkan: “Damai di Betlehem hanya akan menjadi nyata ketika keadilan ditegakkan untuk rakyat Palestina”. Ucapan ini terasa semakin relevan dalam konteks Natal tahun ini, tidak hanya untuk Palestina, tetapi juga untuk tempat-tempat lain di dunia yang saat ini juga dilanda ketidakadilan seperti Yaman, Sudan Selatan, Myanmar, Ukraina, Papua, dan banyak lagi. Betlehem adalah gambaran dunia yang menghadapi ironi antara harapan akan damai dan realitas banalitas kejahatan yang melingkupinya.
Perayaan Natal di Palestina tahun ini menjadi cermin paradoks yang mendalam: sebuah perayaan damai yang dirayakan di tengah genosida. Betlehem, kota kelahiran Isa al-Masih, tetap menjadi simbol keadilan yang dirampas, tetapi juga menjadi api kecil dari harapan yang terus menyala. Dalam keheningan dan doa, umat manusia—tidak hanya umat Kristiani yang merayakan Natal di seluruh penjuru dunia –untuk merenungkan makna Natal, tetapi juga bertindak menjadi katalis perubahan, menghadirkan ruang bagi keadilan, memperjuangkan kemanusiaan yang sering kali terkubur di bawah reruntuhan perang.
Dalam suara ini, Natal bukan lagi sekadar perayaan tradisional. Ia menjadi panggilan spiritual dan politik. Di dunia yang penuh luka, Natal adalah seruan untuk kembali kepada nilai-nilai universal, kasih, keadilan dan solidaritas. Natal atau momen kelahiran, menandai rahim sebagai muasal kelahiran itu sendiri. Natal adalah rahim bagi harapan di tengah kegelapan, melahirkan visi baru bagi dunia yang lebih adil dan damai.
Sebuah dunia, di mana Betlehem tidak lagi dibatasi oleh tembok dan sekat, tetapi menjadi tanah yang subur bagi kehidupan dan kebahagiaan bagi semua. Semoga.
Dan semoga.