Istilah kualat sendiri dalam tradisi Pesantren sudah mengurat nadi. Seringkali kita dengar ucapan seperti “jangan ngomongin Kiyai, nanti kualat” “jangan melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh Kiyai, nanti kualat” dan masih banyak lagi. Silahkan kembangkan sendiri contoh lain.
Akan tetapi, sebelum membahas mengenai kualat, alangkah baiknya kalo coba saya paparkan dulu mengenai keyakinan yang di pegang Aswaja.
Para golongan Ahlu As-Sunnah meyakini bahwa Allah lah yang mengendalikan seluruh aktifitas. Semua pergerakan kita, semata-mata merupakan khalqu Allah, atas kuasa Allah. Ini adalah keyakinan yang dipegang oleh Aswaja berikut juga para sahabat dan tabi’in. Akmaluddin Muhammad bin Muhammad Al-Babirtiyyu Al-Hanafi mengatakan dalam Syarah Wasiyyatul Imam Abi Hanifah.
“Golongan Ahlu As-Sunnah menyatakan: aktifitas (af’al) seluruh manusia dan hewan itu merupakan atas kendali Allah. Selain Allah tidak dapat mengendalikan. Pendapat demikian adalah madzhab para sahabat dan tabi’in”.
Banyak ayat Al-Qur`an yang menyinggung perihal kuasa Tuhan atas segala aktifitas alam ini. QS. Al-Qamar 49, An-Nisa` 78, Al-An’am 39, Ar-Ra’du 16. dan masih banyak lagi.
Kembali kepada kualat. Bagaimana sebenarnya istilah kualat? Dalam KBBI, kualat adalah: mendapat bencana (karena berbuat kurang baik kepada orang tua dan sebagainya). Dengan demikian, apakah bukan berarti hal itu juga sama halnya meyakini bahwa ada selain Allah yang dapat mengendalikan aktifitas manusia?
As-Syeikh Muhammad Al-Fadhali Al-Azhari dalam sebuah karyanya, Kifayatul Awam. Salah satu kitab teologi yang banyak dikaji di berbagai Pesantren menjelaskan:
وأما ما يقع من موت شخص أو إذائه عند اعتراضه مثلا على ولي من الأولياء فهو بخلق الله تعالى يخلقه عند غضب الولي على هذا المعترض
Peristiwa kematian atau sakit yang menimpa seseorang ketika mengganggu wali Allah itu adalah merupakan atas kuasa Allah yang ditimpakan bertepatan saat sang wali marah “.
As-Syeikh Muhammad Al-Fadhali tidak mengingkari mengenai adanya kualat. Namun, beliau hanya mengingatkan, bahwa kualat itu juga merupakan suatu yang berjalan atas kuasa Allah. Ibrahim Al-Baijuri dalam komentarnya menyatakan: “Bagaimana mungkin tidak ada satupun selain Allah yang mampu menciptkan pekerjaan (af’al), sementara sebagaimana kita saksikan sendiri bahwa ada seseorang yang meninggal atau sakit ketika mengganggu wali? Kejanggalan seperti itu terbantahkan dengan argumen: Wali tidak memiliki efek (ta’tsir) apapun, hal itu semata kuasa Allah yang bertepatan saat sang wali marah”.
Pendapat Syeikh Muhammad Al-Fadhali dan juga IIbrahim Al-Bajuri ini kiranya sama sebagaimana pandangan Ibnu Al-Farkah perihal ahli horoskop. Ibnu Al-Farkah berpendapat: selama masih meyakini bahwa tidak ada yang bisa memberi pengaruh apapun selain Allah Swt., dan Allah menjalankan sebuah hukum adat (kebiaasaan) sesuatu itu terjadi bila bertepatan dengan faktor tertentu, dalam pandangan beliau keyakinan seperti itu tidak masalah, tidak syirik dan tidak berdosa.
Oleh karena itu, percaya dengan kualat sah-sah saja selama masih percaya bahwa itu masih berjalan atas kuasa Allah Swt.
Wallahu A’lam bi Ash-Shawab..