Adakah Keringanan Tidak Berpuasa Bagi Para Pekerja Berat?

Adakah Keringanan Tidak Berpuasa Bagi Para Pekerja Berat?

Adakah Keringanan Tidak Berpuasa Bagi Para Pekerja Berat?
ilustrasi

Syariat Islam (baca; fikih) adalah sebuah aturan legal-formal yang cukup memberikan ruang kelonggaran bagi umat Islam. Ia bersifat elastis, fleksibel, dan tidak memberi beban kepada umatnya kecuali sesuai batas kemampuannya. Tak terkecuali ihwal puasa bagi kaum muslim yang berprofesi sebagai “pekerja berat”.

Tuntutan memberi nafkah keluarga di satu sisi,  dan kewajiban berpuasa di siang hari bulan Ramadan di sisi lain, bagi para pekerja seperti sopir, petani, kuli bangunan dan pekerjaan berat lainnya cukup memberatkan untuk tetap berpuasa di siang bulan Ramadan. Pertanyaannya kemudian bagaimana pendapat para ulama terkait masalah ini? Berikut penjelasannya:

Imam al-Adzra’i dari kalangan madzhab Syafi’i memberikan fatwa bahwa diwajibkan bagi para petani dan para pekerja berat lainnya untuk melaksanakan niat berpuasa Ramadan di setiap malam hari bulan Ramadan. Kemudian bila di siang harinya mengalami kepayahan yang berat dengan standar mubih al-tayammum (kepayahan setingkat hal-hal yang memperbolehkan tayamum), diperbolehkan berbuka puasa dan wajib mengqadla’ puasa yang ditinggalkan.

Dispensasi kebolehan berbuka puasa bagi pekerja berat tidak dibedakan antara orang kaya maupun miskin. Namun, Sulaiman al-Kurdi membatasi hanya jenis pekerjaan yang apabila ditinggalkan di siang hari maka terdapat kerugian harta yang memiliki nilai menurut standar umumnya.

Syaikh Abu Bakr bin Muhammad Syatha’ dalam karyanya I’anah at-Thalibin (Vol. II.2, hal.268 mengatakan:

وَأَفْتَى الْأَذْرَعِيُّ بِأَنَّهُ يَلْزَمُ الْحَصَّادِيْنَ أَيْ وَنَحْوَهُمْ تَبْيِيْتُ النِّيَّةِ كُلَّ لَيْلَةٍ ثُمَّ مَنْ لَحِقَهُ مِنْهُمْ مَشَقَّةٌ شَدِيْدَةٌ أَفْطَرَ وَإِلَّا فَلَا (قوله أي ونحوهم) كَأَرْبَابِ الصَّنَائِعِ الشَّاقَّةِ وَفِي الْكُرْدِيِّ مَا نَصُّهُ ..الى ان قال …..وَقَضِيَّةُ إِطْلَاقِهِ أَنَّهُ لَا فَرْقَ بَيْنَ اْلأَجِيْرِ الْغَنِيِّ وَغَيْرِهِ وَالْمُتَبَرِّعِ نَعَمَ اَلَّذِيْ يَتَّجِهُ تَقْيِيْدُ ذَلِكَ بِمَا إِذَا احْتِيْجَ لِفِعْلِ تِلْكَ الصَّنْعَةِ بِأَنْ خِيْفَ مِنْ تَرْكِهَا نَهَارًا فَوَاتُ مَالِهِ وَقَعَ عُرْفًا (قوله ثم من لحقه إلخ) أَيْ ثُمَّ إِذَا بَيَّتَ النِّيَّةَ وَأَصْبَحَ صَائِمًا فَإِنْ لَحِقَهُ مِنْ صَوْمِهِ مَشَقَّةٌ شَدِيْدَةٌ بِحَيْثُ تُبِيْحُ التَّيَمُّمَ أَفْطَرَ وَإِنْ لَمْ تَلْحَقْهُ مَشَقَّةٌ شَدِيْدَةٌ بِهِ فَلَا يُفْطِرُ

“Imam al-Adzhra’i berfatwa bahwa wajib bagi para petani dan sesamanya, yaitu para pekerja berat untuk melaksanakan niat di setiap malam, kemudian bila di siang hari saat berpuasa mengalami kesulitan yang berat, sekira memperbolehkan tayamum, maka boleh berbuka puasa. Apabila tidak mengalami “masyaqqah” (kesulitan atau kepayahan yang sangat, ed), maka tidak boleh berbuka puasa. Sulaiman al-Kurdi memberi penjelasan; Kemutlakan pendapat al-Adzra’i ini tidak membedakan antara pekerja yang kaya dan lainnya, buruh yang digaji atau sukarelawan. Hanya saja pekerjaan tersebut perlu dibatasi sekira seseorang membutuhkannya, yang sekiranya apabila tidak bekerja di siang hari maka terdapat kerugian harta yang memiliki nilai menurut pandangan umum”.

Dalam perspektif madzhab di luar Syafi’i, dalam hal ini Madzhab Hanafi, dikatakan bahwa apabila para pekerja berat tersebut tidak mampu berpuasa dan tidak menemukan hari untuk mengqadha hutang puasanya, maka boleh berbuka puasa dan kewajiban qadhanya bisa diganti dengan membayar fidyah (tebusan) setengah Sho’ (1,9 Kg) per hari sebagai ganti dari puasa yang ditinggalkannya. Ketentuan fidyah yang harus dibayarkan dalam madzhab Hanafi adalah jenis makanan yang dijelaskan dalam teks hadis; yaitu gandum merah, gandum putih, atau kurma. Dan bisa juga diganti dengan qimah (nilai nominal atau uang) seharga jenis makanan tersebut.

Syaikh Ibnu Abidin dalam Hasyiyah Radd al-Muhtar ( hal.420) mengatakan:

وَقَالَ الرَّمْلِيُّ وَفِي جَامِعِ الْفَتَاوَى وَلَوْ ضَعُفَ عَنِ الصَّوْمِ لِاشْتِغَالِهِ بِالْمَعِيْشَةِ فَلَهُ أَنْ يُفْطِرَ وَيُطْعِمَ لِكُلِّ يَوْمٍ نِصْفَ صَاعٍ ا هـ  أَيْ إِذَا لَمْ يُدْرِكْ عِدَّةً مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُمْكِنُهُ الصَّوْمُ فِيْهَا وَإِلَّا وَجَبَ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَعَلَى هَذَا الْحَصَّادُ إِذَا لَمْ يَقْدِرْ عَلَيْهِ مَعَ الصَّوْمِ وَيَهْلِكُ الزَّرْعُ بِالتَّأْخِيْرِ لَا شَكَّ فِيْ جَوَازِ الْفِطْرِ وَالْقَضَاءِ وَكَذَا الْخَبَّازُ  انتهى.

 “Imam Ar-Ramli mengutip dalam kitab Jami’ al-Fatawa, bahwa apabila seseorang tidak mampu berpuasa karena sibuk dengan pekerjaannya, maka boleh membayarkan fidyah makanan setengah sho’ per-hari puasa yang ditinggalkannya. Ketentuan ini berlaku apabila ia tidak menemukan waktu di selain bulan Ramadan yang memungkinkan baginya mengqadha hutang puasanya. Namun apabila memungkinkan mengqadha, maka wajib mengqadhanya. Berpijak dari keterangan tersebut, bagi para petani, apabila tidak mampu berpuasa dan sawahnya rusak bila ditangguhkan mengerjakan di siang hari, tidak diragukan lagi boleh baginya untuk berbuka puasa dan wajib mengqadha di selain bulan Ramadan. Hukum ini juga berlaku bagi para pembuat roti”.

Penjelasan-penjelasan di atas merupakan solusi berpuasa (atau menangguhkannya) bagi para pekerja berat yang memang tidak bisa mencari nafkah di selain siang hari bulan Ramadan. Namun bila pekerjaan berat tersebut tidak menghambat kewajiban berpuasa, atau paling tidak menyempatkan diri mengqadha puasa bila tidak memungkinkan berpuasa di bulan Ramadan, tentu hal tersebut lebih baik dan diharapkan rejekinya semakin berkah dan bertambah.

Wallau A’lam

*) Penulis adalah Pegiat Komunitas Literasi Pesantren (KLP), tinggal di Kediri