Tiga hari yang lalu, Senin 5 Agustus 2019, setelah melihat-lihat koleksi literatur perpustakaan IIUM (International Islamic University Malaysia) di lantai II, mata saya diarahkan pada barisan pigura. Ada puluhan pigura rapi tertata di tengah, di kelilingi rak-rak buku. Satu persatu pigura menampilkan tokoh-tokoh ulama Nusantara. Ada yang dari Malaysia, Singapura, Brunei Darus-Salam, dan Indonesia.
Satu persatu saya baca dengan detail, mulai dari nama lengkap, tempat tanggal lahir, nasab keluarga, silsilah keilmuan, hingga karya yang ditinggalkan. Saya merasa harus menyempatkan untuk berfoto saat menemukan nama-nama ulama Indonesia yang terpajang. Pihak IIUM seakan juga merasa memiliki tokoh-tokoh tersebut. Terbukti dengan menyediakan ruang khusus di perpustakaan yang diberi nama Darul Hikmah itu. Lebih dari itu, IIUM juga memiliki kepentingan untuk mengenalkannya kepada generasi muda.
Di antara nama ulama Indonesia di atas adalah Imam Nawawi al-Bantani (1813-1897), Kiai Shalih Darat al-Samarani (1820-1903), Sayid Utsman bin Yahaya al-Batawi (1822-1913), Syaikh Mahfudz al-Tremasi (1868-1920), dan Hadlratussyaikh Hasyim Asy’ari (1871-1947). Ada kebanggan tersendiri ketika bisa bersanding dengan tokoh-tokoh ini. Meskipun hanya bersanding dengan foto.
Khususnya Kiai Shaleh Darat, saya termasuk terlambat tahu dan mengenal mahaguru ulama Nusantara itu. Padahal, beliau adalah guru dari Hadlratussyaikh Hasyim Asy’ri dan Kiai Ahmad Dahlan (1868-1923). Pun pula guru dari RA. Kartini (1879-1903). Kiai Shaleh Darat memiliki peran penting dalam membumikan ajaran Islam di Jawa. Banyak menerjemahkan referensi Arab ke dalam bahasa Jawa. Di antaranya ialah terjemah dan uraian kitab al-Hikam karya Imam Ibnu Athaillah al-Sakandari (648-709 H).
Jika saja IIUM dengan 29.773 mahasiswa, berasal dari 86 negara di dunia bangga dan merasa perlu memajang foto dan biografi Kiai Shalih Darat, lantas mengapa sebagian kampus di Indonesia tidak (atau belum) melakukannya?