“Hanya sebuah ruang transaksional” adalah satu dari sekian kesimpulan Saifur Rohman, akademisi asal Universitas Negeri Jakarta, saat menilai yang terjadi di Citayam Fashion Week. Dia melihat bahwa apa yang tersisa dari komunikasi di ruang publik kita, termasuk Citayam, tidak lebih hanya sekedar transaksional atau nilai jual belaka.
Penilaian Rohman atas ruang publik kita tersebut, entah disadari atau tidak, sebenarnya sudah jamak terjadi. Iklan yang tak kunjung lepas dari pandangan mata kita, kemanapun kita mengarahkannya, adalah satu dari sekian bukti sahih mengukuhkan pandangan Rohman. Rasanya tak ada tersisa di ruang publik kita yang tidak dinilai dari dari uang.
Kehadiran media sosial turut menegaskan penilaian Rohman. Atensi kita terhadap sesuatu yang berkeliaran di layanan jejaring sosial tersebut, maka hal tersebut bernilai. Para pemengaruh (Influencer) dan pendengung (Buzzer) adalah pihak yang merasakan keuntungan dari perhitungan algoritma tersebut. Mereka menghasilkan banyak uang dari sana.
Kata kunci yang ingin saya ulas dari fenomena di atas adalah transaksional. Hal ini disebabkan beredar luas video potongan ceramah salah satu habib yang populer di media sosial, yang menyebutkan bahwa masyarakat muslim seharusnya mengurangi interaksi dan relasi pertemanan dengan kalangan non muslim. Mengapa?
“Berteman dengan non muslim itu bisa mengurangi kadar keimanan kita” ujar Habib tersebut. Saya tidak menjumpai video penuh dari ceramah tersebut, untuk melihat konteks penuh dari ungkapan tersebut. Namun potongan tersebut sudah tersebar luas di media sosial. Bagi saya, Habib tersebut mungkin akan dituntut untuk menjelaskan atas potongan video tersebut walaupun dia mungkin saja tidak bertanggungjawab penuh atas peredarannya.
Di tengah bulan Agustus yang dirayakan sebagai Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik kita, peredaran video tersebut jelas sekali menggambarkan kepada kita, sebagai bangsa dan warga negara, masih memiliki pekerjaan rumah yang berat. Sebab, hingga hari ini, kita masih belum selesai dengan berbagi kehidupan sebagai satu bangsa dan umat manusia di negeri kita ini.
Kembali ke kata “Transaksional” yang telah digambarkan di atas, hubungan antar agama di Indonesia memiliki sejarah yang pasang-surut atau turun-naik. Mungkin masih segar dalam ingatan kita, perbincangan “agama Kapitan Pattimura” sempat meramaikan media sosial. Kala itu, seorang ustadz yang memiliki nama besar dalam dunia dakwah populer mengklaim sudah menelisik bahwa agama sang Kapitan adalah Islam.
Padahal hari ini kita masih “mengobati” segregasi akibat politik identitas yang sempat menjerumuskan kita pada relasi “saling curiga”. Karna, keberagamaan kita dijadikan identifikasi pilihan politik, sehingga batas antara ajaran agama dan aksi politik menjadi sangat buram. Pilihan politik seakan menjadi “tiket” kita ke surga atau neraka, atau Islam atau bukan.
Di tengah keadaan tersebut, kita “kembali” disibukkan soal relasi pertemanan yang harus dibatasi demi keimanan. Anjuran Habib tersebut memang tidak dapat dipastikan memiliki tendensi atau tidak, namun tersebarnya potongan tersebut cukup “membahayakan” keinginan kita untuk keluar dari keadaan yang menempatkan kita menjadi saling curiga.
Saya tidak mendapatkan apa respon sang Habib atas potongan video tersebut. Sebab, jika dibiarkan, implikasi dari video tersebut semakin sulit dikendalikan. Apalagi jika video tersebut sudah menjadi konsumsi publik, maka ia rentan turut berperan dalam membentuk opini dan memori kolektif masyarakat kita, yang belum benar-benar imun atas isu-isu segregatif tersebut.
Hubungan di masyarakat kita yang menjadi pertaruhan jika video tersebut semakin viral. Sebab, video tersebut dapat “mendorong” emosi kita, untuk menempatkan pertemanan dengan non-muslim pada relasi transaksional. Kita hanya berteman jika menguntungkan, dalam video tersebut malah hanya memberi hubungan bisnis yang dibolehkan.
Imaji transaksional tersebut dekat sekali dengan logika “Mayoritarianisme”, di mana umat Islam harus ditempatkan di posisi istimewa, bahkan kelompok liyan harus dieksklusi atau dipinggirkan. Bisa dibayangkan bagaimana kita dapat membangun hubungan yang adil dan setara, jika imaji tersebut masih melekat di kepala kita.
Hubungan kita dengan teman-teman non-muslim seharusnya tidak ditimbang dengan standar untung-rugi. Malah, sebaiknya kita membangun dan memperjuangkan relasi yang adil dan setara bersama-sama. Saat kita menjumpai kebaikan dari penganut agama lain yang dihadapkan dengan perilaku buruk dari seorang muslim, seharusnya malah menjadi pelajaran bagi kita untuk jadi muslim yang lebih baik.
Jika kita memakai apa yang dianjurkan sang Habib dalam potongan video tersebut, malah mengesampingkan satu pelajaran penting, yakni kita sebagai seorang muslim harus belajar kebaikan dari siapapun. Selain itu, bukankah kita memang seharusnya memperbaiki diri jika memang ada yang tidak baik dalam diri, bukan malah melihat apa agamanya terlebih dahulu.
Ketegangan pasca prosesi politik kemarin masih belum menjadi antibodi di masyarakat kita, diantaranya disebabkan masih sering diganggu dengan permasalahan seperti video potongan ceramah Habib tersebut. Seorang muslim yang baik adalah seseorang yang menebarkan kebaikan kepada siapa saja, bukan merasa paling baik hanya karena kita memeluk agama Islam.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin