Salah satu era penting dalam sejarah Islam adalah era khalifah empat setelah Nabi Muhammad SAW meninggal. Inilah era ketika Islam bukan semata-mata sebagai agama, tapi juga sebagai praktik politik yang mengalami konsolidasi dan pengembangan. Di bawah khalifah empat inilah, kekuasaan Islam meluas ke berbagai kawasan di dunia Islam.
Tulisan ini akan membahas salah satu dari keempat khalifah sepeninggalan Nabi, yakni Abu Bakar al-Siddiq. Beliau adalah salah seorang sahabat yang paling berjasa dalam mengembangkan politik Islam, yang dikemudian hari akan dikenang oleh para teoritisi Islam sebagai pelopor agen pembaharu di bidang agama dan politik.
Abu Bakar lahir pada tahun 573 M dan meninggal pada 23 Agustus 634 M/13 Hijriah. Kita tahu bahwa Abu Bakar adalah sahabat pertama yang memeluk agama Islam di waktu Nabi pertama kali menyebarkan agama Islam di Makah.
Saat Nabi sakit menjelang wafat, Nabi memberikan semacam isyarat kepada Abu Bakar – tentu ini menurut versi mazhab Sunni – , bahwa beliaulah yang akan menjadi penerus setelah Nabi. Isyarat itu berupa meminta Abu Bakar menjadi imam shalat.
Tindakan Nabi meminta Abu Bakar menjadi imam shalat ini dipandang oleh para ulama Sunni sebagai pertanda bahwa itulah isyarat Nabi yang menghendaki Abu Bakar menjadi khalifah pertama dalam Islam, yakni mengantikan Nabi sebagai penguasa agama sekaligus politik.
Dalam sejarah pemikiran politik dalam Islam, ada dua mazhab yang saling bertentangan; pertama, mazhab yang diikuti oleh kaum Sunni yang mengatakan bahwa Nabi tidak pernah meninggalkan wasiat apapun terkait siapa yang akan menggantikan beliau. Kedua, mazhab yang diikuti oleh Syiah, yang berpandangan bahwa Nabi memberikan wasiat (nash) tentang siapa pengganti beliau, yakni Imam Ali bin Abi Thalib.
Terlepas dari pertentangan dua mazhab itu, singkat cerita, Abu Bakar diangkat menjadi khalifah melalui proses baiat dan sumpah kesetiaan yang diberikan oleh umat Islam di Madinah ketika itu, Abu Bakar di baiat oleh sahabat Umar di rumah Saqifah ibnu Saidah. Meskipun sempat terjadi perdebatan soal siapa yang akan menjadi khalifah pengganti Nabi.
Selama menjadi khalifah, tercatat Abu Bakar memiliki beberapa kebijakan yang menarik, di antaranya kebijakan beliau untuk melakukan perang Riddah, yakni memerangi orang-orang murtad. Sebab, setelah Nabi wafat, ada ribuan orang Arab-Islam murtad atau keluar dari Islam.
Mereka menganggap bahwa ketika Nabi wafat, maka kesetiaan itu hilang, jadi tidak perlu lagi memeluk agama Islam. Abu Bakar lalu memerangi mereka semua.
Belakangan, tindakan Abu Bakar memerangi orang-orang murtad ini dipakai oleh sebagian umat Islam sebagai hujjah atau dalil untuk mendukung kebijakan memerangi orang-orang yang dianggap murtad di kalangan umat Islam sendiri.
Saya kira ini tafsiran yang tidak tepat. Sebabnya, Abu Bakar memerangi orang murtad bukan karena mereka murtad, justru tindakan ini bertentangan dengan prinsip dalam Islam bahwa umat Islam tidak boleh memaksa keyakinan seseorang (tidak ada paksaan dalam agama).
Orang-orang murtad diperangi oleh Abu Bakar karena mereka melakukan pembangkangan politik (kegiatan separatisme), yakni tidak mau membayar zakat, tidak mau tunduk pada penguasa, dan lain sebagainya.
Selama kurang lebih dua puluh tujuh bulan Abu Bakar berkuasa, waktunya hampir dihabiskan untuk memerangi orang-orang murtad ini. Perang ini dilakukan bukan karena memerangi keyakinan, tetapi karena orang-orang ini melakukan kegiatan pembangkangan politik dan tidak mau tunduk pada kekuasaan Islam.
Selain itu, kebijakan Abu Bakar yang patut dikenang adalah inisiatif beliau untuk mengumpulkan al-Qur’an. Hal ini dilakukan karena ketika Nabi wafat, al-Qur’an belum menjadi satu buku atau kitab yang disatukan secara lengkap. Al-Qur’an masih terserak-serak dalam berbagai catatan, ada di kayu, kertas, tulang-tulang, dan seterusnya. Belum menjadi sebuah dokumen yang utuh.
Abu Bakar, atas usulan Umar bin Khattab – karena melihat banyak sekali penghafal al-Qur’an yang meninggal – , mulai melakukan pengumpulan al-Qur’an dalam satu mushaf, di mana tugas pengumpulannya diserahkan kepada seorang sahabat bernama Zaid bin Sabit.
Proyek pengumpulan al-Qur’an ini terus berlangsung mulai dari Abu Bakar, Umar, dan puncaknya di masa khalifah Usman bin Affan. Sehingga al-Qur’an menjadi mushaf yang utuh sebagaimana yang kita kenal sekarang. Kiranya, berkat inisiatif Abu Bakar ini, kita sebagai umat Islam mempunyai al-Qur’an yang terbukukan dan dapat dipelajari dengan murah.
Terakhir, sahabat Abu Bakar merupakan satu-satunya khalifah di antara khalifah empat setelah Nabi yang meninggal secara alami. Yang lain, seperti Sayidina Umar, Usman, dan Ali meninggal dalam tragedi politik yang berdarah-darah.
Rohmatul Izad. Dosen Filsafat di IAIN Ponorogo.