Nama aslinya Abdullah Zayn bin Salam, beliau merupakan putra dari Kiai Abdussalam, seorang keturunan Syaikh Mutamakkin al-Hajaini. Kiai Abdullah Zayn merupakan paman dari Kiai Sahal Mahfudh, yang pernah menjadi Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kiai Sahal dalam usia remajanya, diasuh dan digembleng oleh Mbah Dullah, nama lain dari Abdullah Zayn.
Mbah Dullah merupakan sosok Kiai Dermawan. Meski, jika melihat secara fisik bangunan rumah beliau, kelihatan tidak kaya. Pondok pesantren tempat Mbah Dullah mengajar santri, awalnya hanya bangunan gothakan bambu—biasa disebut angkruk, yang membujur di samping kediaman beliau. Dalem (rumah) Mbah Dullah sederhana, yang biasa menampung jamaah ratusan hingga ribuan pengajian.
Mbah Dullah memiliki pengajian rutinan untuk warga, yang beliau ungkapkan dengan sangat tawadlu, sebagai ‘belajar bersama’—cara beliau untuk terhindar dari riya’ dan sombong diri. Warga dan santri yang mengaji tidak hanya diberikan limpahan ilmu dan keberkahan, sekaligus juga makan bersama setelah mengaji.
Kisah waskita dan ngelmu hikmah Mbah Dullah Salam melegenda. Suatu ketika, pernah ada seorang tamu yang ikut pengajian, dan melihat ribuan jamaah setelah mengaji dikasih makan oleh Mbah Dullah. “Orang sebanyak ini dikasih makan semua? Apa tidak kasihan kiainya,?” tamu bergumam.
Lalu, setelah hiruk pikuk pengajian usai, sang tamu diajak tuan rumah, Mbah Dullah untuk melihat ke dapur rumah, melihat gabah dan karung beras yang bertimbun menggunung. Si tamu hanya bisa bengong, melihat betapa kaya Mbah Dullah. Bagi Mbah Dullah, kekayaan bukan untuk ditampakkan di muka publik, namun hanya disedekahkan, ditasharufkan untuk kemaslahatan umat.
Kisah lain, ada serombongan nelayan yang ingin minta doa dan ngalap berkah Mbah Dullah. Nelayan masygul dan gundah gulana, karena berhari-hari susah menangkap ikan di laut. Nelayan menceritakan segala gundah ke Mbah Dullah, berharap dapat petuah sejuk yang menyiram kerontang jiwa.
“Apakah pernah menabur benih di laut?” tanya Mbah Dullah.
Sontak, nelayan kaget tak keruan. “Mboten, Kiai,”
“Ya sudah,” “Apakah pernah memberi makan ikan?” ungkap Mbah Dullah.
“Mboten, Kiai”.
“Ya sudah,” Mbah Dullah masuk ke ndalem.
Nelayan gelagapan tidak bisa bicara, terdiam seribu bahasa, tercekam kebingungan yang menyeramkan. Seumur-umur nelayan tidak mendapat pertanyaan seperti itu. Nelayan masih sangat bingung, meminta penjelasan. Lalu, tamu lain yang duduk satu majelis, memberi penjelasan bahwa sudah semestinya nelayan bersyukur dan tidak tenggelam dalam kebingungan.
Bahwa, Allah sudah memberi rizki ikan di laut yang bebas ditangkap tiap hari, tanpa nelayan menabur benih dan memberi ikan. Rezeki, ya kadang mendapat banyak, kadang sedikit, bahkan terkadang tidak mendapat sama sekali, itulah petuah simbolik yang disampaikan dari ungkapan Mbah Dullah.
Mbah Dullah tidak sekedar mengajar sisi lahir, namun menempa batin dan ruhani.
Mbah Dullah tidak sekedar mengajar sisi lahir, namun menempa batin dan ruhani. Seorang santri Mbah Dullah, diberi wirid dan “kewajiban” mudarasah yang berbeda dengan santri lain. Ada yang ditugaskan mendaras 20 juz al-Qur’an per hari, ada juga yang diwajibkan 10 juz. Berbeda-beda, tergantung kemampuan dan wadah spiritual santri masing-masing. Kelihatan, betapa Mbah Dullah mengerti sisi lahir batin santri-santrinya.
Tak hanya itu, Mbah Dullah juga memiliki kepedulian tinggi terhadap Nahdlatul Ulama, organisasi yang diprakarsai para kiai untuk menjadi benteng Islam dan Indonesia. Mbah Dullah aktif mengikuti agenda bahtsul masail di wakil cabang (Kecamatan), ataupun Cabang (Kabupaten).
Di kalangan kiai NU, Mbah Dullah dianggap sesepuh karena ilmu hikmah dan samudra cinta yang ditebarnya. Pada Muktamar NU ke-28 di Situbondo, Jawa Timur, panitia—atas usulan Kiai Syahid Kemadu—meminta beliau untuk membuka muktamar dengan memimpin pembacaan surat al-Fatihah sebanyak 41 kali. Mbah Dullah berjalanan kaki dari tempat parkir mobil ke tempat sidang yang cukup jauh, demi semata-mata karena tidak ingin menyusahkan panitia.
Dari petuah hikmah Mbah Dullah, kita dapat menyesap manisnya agama, dapat memahami teduhnya Islam. Islam, bagi Mbah Dullah, bukanlah sebagai jubah yang mengerikan dan menakutkan, namun sebagai wasilah untuk mendekat kepada Allah, dengan memancarkan cahaya agama yang teduh, ramah dan menjernihkan.
Rindu petuah Mbah Dullah, Alfaatihah.[]
*Munawir Aziz, peziarah dan peneliti, menulis beberapa buku Kajian Islam Nusantara, Aktif di Gerakan Islam Cinta, silaturahmi via: @MunawirAziz