Eropa merupakan pelopor industrialisasi, pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi, serta penggagas sistem pendidikan yang mumpuni yang diakui dunia hingga saat ini. Di balik kemajuannya, Bangsa Eropa ternyata pernah berada di fase yang sangat terpuruk. Fase itu melahirkan satu traumatik tersendiri bagi mereka. Sebuah cerita masa lalu yang kelam, yang tidak ingin mereka ulangi lagi. Sebuah trauma terhadap agama.
Banyak sejarawan mencoba mengklasifikasi periodesasi lini masa bangsa Eropa berdasarkan kondisi sosial politiknya. Salah satu yang familiar adalah tiga periodesasi; Eropa Abad Klasik, Abad Pertengahan, dan Abad Modern.
Pada masa klasik, Eropa sebenarnya pernah mengalami kemajuan peradaban digawangi oleh Yunani dan Romawi yang menjadi simbolnya. Peradaban Yunani Kuno memiliki keistimewaan karena kemajuannya di bidang filsafat, sastra, astronomi, dan ilmu-ilmu lainnya. Eropa klasik semakin unggul berkat kehadiran tokoh-tokoh seperti Sokrates, Aristoteles, dan Platon yang berhasil meletakkan dasar-dasar keilmuwan filsafat di Yunani Kuno.
Setelah Yunani Kuno runtuh, Romawi kemudian berkembang sejak abad ke-2 Masehi. Kekaisaran Romawi tumbuh menjadi kekaisaran terbesar di seantero Bumi pada saat itu. Pada masa jayanya, kekaisaran Romawi berdaulat atas kawasan pesisir utara Afrika, kawasan selatan Eropa, sebagian besar kawasan Barat Eropa, wilayah Balkan, dan sebagian besar kawasan Timur Tengah.
Peradaban Romawi banyak mengadopsi peradaban Yunani Kuno. Mereka membangun teater, arena pertunjukan, hingga taman-taman. Mereka juga sangat mahir dengan seni ukiran patung dan gambar. Selain itu, sastra juga berkembang dengan pesat dalam perjalanan Romawi.
Pada masa Konstantinus Agung, tepatnya pada 330 M, ia memindangkan ibukota Romawi ke Konstantinopel. Keputusannya menyebabkan kekuasan Romawi terbagi menjadi dua bagian, imperium Romawi Barat dengan ibukota Roma dan imperium Romawi Timur dengan ibukota Konstantinopel atau Bizantium.
Selama masa pemerintahan Romawi Barat, wilayah kekuasaan Romawi Barat terus menerus mengecil. Hal tersebut disebabkan kerugian militer yang terjadi akibat dari serangan-serangan oleh bangsa Jermanic, yang menghuni wilayah di sebelah utara Danube, kini merentang di sekitar Ukraina, Moldova, dan Rumania.
Semenjak awal abad ke-4, bangsa bar-bar Jermanic, seperti suku Goth, mulai berani menyerang perbatasan daerah kekuasaan Romawi Barat. Sejarawan Inggris Peter Heather, dalam Empires and Barbarians: The Fall of Rome and the Birth of Europe, mencatat bahwa serangan itu nyatanya sudah dimulai sejak 238 M. Bangsa Goth berhasil menaklukkan Histria. Bersama dengan serangan itu, bangsa Goth mulai menetap di wilayah Romawi. Intensitas serangan yang masif itu terus mengancam wilayah Romawi Barat dari abad ke-4 hingga ke-5. Hingga akhirnya, Raja Goth, Alaric, berhasil menembus pertahanan dinding kota Roma dan menjarah kota tersebut untuk pertama kalinya pada tahun 410 M.
Setelah pertahanan Roma ditembus, penduduk Romawi menjalani kehidupan yang tidak tenang dan di bawah ancaman serangan bangsa Jerman selama bertahun-tahun. Hingga pada tahun 455 M, kota Roma kembali diserang bangsa Jermanic tepatnya oleh suku bangsa Vandal. Penghancuran dan penjarahan lagi-lagi terjadi di kota Roma dan sekitarnya. Pada akhirnya, pemimpin Jermanic bernama Odoacer berhasil memaksa kaisar Romawi, Romulus Augustus menyerah.
Jatuhnya kaisar Romulus dianggap sebagai faktor utama runtuhnya kekuasaan Romawi Barat. Jatuhnya Romawi Barat ini meninggalkan Romawi Timur atau Bizantium sebagai satu-satunya imperium Romawi yang masih berkuasa. Bizantium kemudian menjadi satu kerajaan besar bersama dengan Kerajaan Persia yang mempunyai pengaruh terhadap peradaban Islam awal.
Runtuhnya Romawi Barat pada tahun 476 M merupakan awal dimulainya Abad Pertengahan. Abad Pertengahan adalah kurun waktu di Eropa antara jatuhnya kekaisaran Romawi Barat sampai lahirnya Renaissance. Ciri Abad Pertengahan adalah feodalisme dan dominasi gereja.
Feodalisme adalah sebuah sistem sosial politik yang didasarkan pada penguasaan dan pengelolaan tanah. Pengelolaan tanah dilakukan dengan imbalan kesetiaan politik dan militer. Hal ini menyebabkan orientasi perekonomian berpindah dari perdagangan ke pertanian, sehingga aktifitas perdagangan di Laut Mediterrania menjadi sepi.
Pada akhir abad ke-8 M, Kerajaan Franka (cikal bakal dari Prancis), yang dipimpin oleh Charlemagne, menaklukan wilayah-wilayah Eropa.
Flashback sejenak, di sepanjang abad ke-8 M, sebagian besar wilayah Eropa adalah daratan yang luas dan gelap. Wilayah itu dipenuhi begitu banyak hutan rimba. Keadaan geografis yang demikian, membuat Charlemagne memulai peradaban dengan sebuah kerajaan Jermanik kecil yang ia kembangkan dengan bendera Kristen. Ia mengklaim bahwa kekuasaannya adalah daulat resmi yang diberikan Tuhan dalam nama Kristus. Klaim ini didukung oleh para penyair kerajaan yang semakin memantapkan statusnya sebagai wakil Tuhan di dunia. Charlemagne berusaha menyatukan semua orang Jerman menjadi satu kerajaan, dan mengubah rakyatnya menjadi Kristen.
Dalam waktu singkat, ia mendominasi medan-medan pertempuran fisik dan meja-meja perundingan. Satu persatu kerajaan kecil di sekitarnya mulai tunduk dan mengakui Charlemagne. Beberapa dari mereka adalah Aquitaine di Prancis Selatan, Lombardy di Italia Utara, Bayern, Britania, dan Sachsen.
Di sisi lain, Gereja Katolik Roma yang dipimpin oleh Paus Leo III berupaya memanfaatkan kekuasaan Charlemagne untuk melindunginya dari serangan bangsa-bangsa Barbar, dan kudeta musuhnya. Sementara di lain pihak, Charlemagne membutuhkan legitimasi Gereja untuk memperkokoh kekuasaannya sembari melakukan ekspansi. Dari sinilah, kedua institusi ini saling mempengaruhi dan terkait satu sama lain.
Pada tahun 800 M, tepat di hari Natal, Paus Leo III menobatkan Charlemagne sebagai Kaisar Romawi di Saint Peter Basilica, Roma. Ia dianggap sebagai suksesor Kekaisaran Romawi yang runtuh pada abad ke-5 M. Kerajaannya pun mendapatkan gelar “The Holy Roman Empire” atau Kekaisaran Romawi Suci.
Sejak peristiwa itu, Gereja perlahan mulai mendominasi Eropa. Abad Pertengahan, dengan demikian, juga bisa disebut dengan abad kebangkitan agama di Eropa. Pada masa ini, agama berkembang dan mempengaruhi hampir seluruh kegiatan manusia, terutama aspek sosial politik. Fase inilah yang kemudian menjadi gerbang masuk menuju istana kegelapan Eropa.