“Jangan Anda lakukan hal itu, karena akan menimbulkan reaksi sangat besar” ucap Gus Dur dalam hati suatu ketika bertemu dengan Munir (Buku Keberanian Bernama Munir, 2008).
Kata-kata itu muncul ketika Munir berkata ke Gus Dur akan menulis disertasi di negeri Belanda yang berisikan sejumlah orang yang Munir duga menjadi otak pelanggaran HAM di negeri Indonesia.
Apa yang ditakutkan Gus Dur benar terjadi, pada 7 September 2004 lalu perjuangan heroik Munir berakhir tragis, Munir dibunuh dengan racun arsenik di dalam pesawat Garuda GA-974 yang ditumpanginya pergi dari Jakarta menuju Amsterdam, Belanda. Di ketinggian 40.000 kaki di udara, napas Munir direnggut di sana.
Menurut laporan dari Kontras.org, pembunuhan Munir dilakukan secara sistematis dan melibatkan beberapa pihak, termasuk orang-orang yang ada di lingkaran pemerintahan dan pejabat tinggi dari Garuda Indonesia.
Baca juga : Cita-Cita Fungsi Masjid yang Dilupakan, Rumah Bagi Disabilitas dan Ramah HAM
Pollycarpus Budi Priyanto, pilot Garuda, disebut sebagai pelaku yang mencampur racun arsenik ke tubuh Munir. Padahal sebenarnya saat hari itu adalah hari liburnya. Mantan Direktur Utama Garuda Indonesia, Indra Setiawan juga diduga terlibat dalam kasus pembunuhan Munir.
Munir Said Thalib adalah pria kelahiran Batu di Kota Malang, yang oleh Gus Dur disebut ia telah menjadi “kekayaan bangsa”.
Sekian tahun lamanya, Munir mengisi ruang-ruang perjuangan menegakkan hak asasi manusia di negara kita. Ia telah membuktikan bahwa perjuangan menegakkan HAM adalah satu hal yang mulai meski bayang-bayang kematian mengintai dirinya. Adalah jarang kiranya, menemukan orang bersedia untuk mengorbankan diri bagi perjuangan yang diyakininya.
Munir menegakkan kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997-1998 dan bermacam tragedi HAM berat di masa lalu.
Kematian Munir adalah kehilangan besar, bukan hanya bagi dunia aktivisme, tetapi juga bagi mereka yang selama ini memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, termasuk Gus Dur.
Sebagai Presiden Indonesia dan tokoh pluralisme, Gus Dur memahami betul risiko yang dihadapi Munir. Namun, ia juga menyadari pentingnya keberanian seperti Munir untuk melawan ketidakadilan.
Gus Dur pun mengalami hal yang sama yakni perjuangannya menegakkan sistem politik yang demokratis.
“Saya merasa harus memperjuangkan hal itu, walau harus berhadapan dengan teman-teman dan saudara-saudara sendiri. Yang lebih berat adalah keharusan menghadapi bangsa dan negara,” tulis Gus Dur.
Prinsip perjuangan yang digenggam oleh Gus Dur terletak pada kata keadilan dan kemakmuran, yang dalam kitab suci Al-Quran telah disebutkan ‘Dan janganlah kamu campuradukkan yang benar dengan yang salah dan janganlah kamu sembunyikan yang benar, sedang kamu mengetahui.” (al-Baqarah 42)
Dalam kebijakannya sebagai Presiden, antara lain Gus Dur mencabut aturan-aturan diskriminatif yang telah lama membelenggu, seperti penghapusan Inpres No. 14 Tahun 1967 yang melarang ekspresi budaya Tionghoa. Gus Dur juga membela hak-hak minoritas lainnya seperti jamaah Ahmadiyah, kelompok adat hingga penganut kepercayaan.
Baca juga : Di Hari HAM Sedunia, Mari Telusuri Pacifisme Jemaat Ahmadiyah Indonesia: Upaya Perlawanan Tanpa Kekerasan
Gus Dur dan Munir mungkin memiliki pendekatan yang berbeda dalam perjuangan HAM, tetapi visi mereka saling melengkapi. Gus Dur memberikan landasan moral dan politik untuk menegakkan keadilan, sementara Munir berjuang langsung di lapangan, mengungkap pelanggaran, dan menuntut pertanggungjawaban.
Kematian Munir adalah pengingat pahit bahwa perjuangan melawan pelanggaran HAM masih menghadapi tantangan besar di Indonesia. Hingga hari ini, kasus pembunuhan Munir belum sepenuhnya terungkap, dan pelanggaran HAM masih terjadi di berbagai wilayah. Munir menjadi simbol perlawanan Sementara itu, warisan perjuangan Gus Dur dan Munir tetap hidup dalam setiap upaya melawan ketidakadilan.
Terlepas dari itu semua, meneruskan jejak-jejak perjuangan mereka berarti mereka berarti berani melawan segala bentuk penindasan, tanpa memandang siapa yang menjadi korban atau pelaku.
Gus Dur dan Munir mengajarkan kepada kita bahwa keadilan bukanlah hak istimewa, melainkan milik semua orang. Di tengah dunia yang penuh dengan ketidakadilan, keberanian dan nilai-nilai mereka adalah lentera yang terus menyala.