Dalam tataran makro (negara), di antara kenyataan yang menyedihkan adalah, pada tahun 2021, hanya 10,61% rakyat Indonesia yang menamatkan sekolah di perguruan tinggi (PT), kalah jauh oleh Korea Selatan yang 69,8% penduduknya tamat PT. Indeks Inovasi Global 2023, termasuk inovasi ilmu pengetahuan, menempatkan Indonesia di peringkat 61 dari 132 negara, kalah inovatif dibanding Vietnam dan Filipina sekalipun.
Sementara pada tataran mikro (keluarga) saat ini terutama di Eropa Barat dan Jepang lahir fenomena perkawinan yang berkomitmen untuk tidak punya anak, karena membesarkan dan investasi untuk pendidikan anak sangat tinggi, sementara saat tua, belum tentu anaknya baik. Karenanya, topik di atas penting, terutama untuk pemerintahan yang baru terbentuk.
Perspektif Konseptual
Secara konseptual, keharusan investasi pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam Islam, baik dalam tataran negara maupun keluarga bisa dilihat dari QS. al-‘Alaq/96:1-5 dan QS. Al-Mujadalah/58: 11. Dalam al-‘Alaq/96:1-5 itu, Allah memerintahkan membaca dua kali, karena membaca adalah kunci peradaban. Ayat ini juga menyebut tiga jenis ilmu yang harus dikembangkan, tentu berinvestasi untuk ketiganya harus dilakukan, yaitu: ilmu empiris (tajrîbî), rasional/burhânî, dan intuitif/‘irfânî. Alasannya karena kata iqra di dalamnya memiliki arti: bacalah, telitilah sesuai fakta, dan dalamilah apa saja selama atas nama Tuhanmu atau bermanfaat untuk manusia. Dan hal itu harus dilakukan secara berulang, karena penemuan baru hanya bisa diperoleh, jika pembacaan terhadap objek yang menjadi bahan bacaan dilakukan secara berulang dan seksama.
Ilmu empiris dan rasional juga disebut dalam 5 ayat itu dengan kata pena (qalam) sebagai ilmu kasbî (ilmu yang diperoleh lewat usaha), karena keduanya membutuhkan pena. Sementara ilmu intuitif/‘irfânî dijelaskan dalam ayat ke-5 dimana wahyu yang didapat seorang Rasul dari Allah langsung atau lewat perantara Jibril sebagai pancaran Tuhan. Intuisi/wahyu pun harus membimbing ilmu empiris dan rasional. Ilmu empiris dalam Islam bisa juga dilihat dari 750 ayat (seperdelapan al-Qur’an) yang mendorong kaum Muslimin untuk menelaah alam semesta.
Keharusan investasi dalam pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam Islam juga bisa dilihat dari QS. Al-Mujadalah/58: 11. Berdasarkan ayat ini, kunci kedigdayaan suatu bangsa/negara dan keluarga adalah ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, dengan sains dan teknologi saja tidak cukup, tetapi harus dibarengi dengan keimanan (kemampuan menjaga nilai-nilai etis [berintegritas]). Bahkan, yang menarik, kata âmanû, keimanan (integritas), lebih dahulu disebut ketimbang ûtul ‘ilma, penguasaan ilmu. Ayat ini sebanding dengan QS. Ali Imran/3: 190-191 yang mengidealkan manusia yang memadukan kekuatan pikir dan zikir.
Dalam ilmu modern, pernyataan dua ayat di atas tampak sejalan dengan pandangan Peter F. Drucker. Meski kedua ilmu dan iman penting untuk bisa hidup yang bermartabat, jika harus dipilih mana yang lebih penting, maka baginya, integritas/iman lebih penting. Hal ini karena orang yang berilmu, tetapi tidak punya integritas (keimanan) akan merusak dirinya, kelembagaannya, dan masyarakat sekitarnya. Juga sejalan juga dengan pandangan Einstein yang berujar: “Ilmu tanpa agama adalah buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh”.
Keharusan investasi dalam pendidikan dan ilmu pengetahuan juga tentu saja terdapat hadis Nabi. Di antaranya hadis riwayat Ibnu Majah: “Mencari ilmu merupakan kewajiban setiap Muslim”, dan hadis riwayat Ibn Abd al-Bar: “Carilah ilmu walaupun di negeri Cina”. Berdasarkan hadis terakhir, Islam jelas memerintahkan umatnya untuk menguasai sains dan teknologi, karena pada abad ke-7, pada saat Nabi Muhammad hidup, Cina terkenal dengan teknologinya. Misalnya teknologi kertas pertama ditemukan oleh Cina, yaitu oleh Ts’ai Lun pada tahun 105 M, yang belakangan, pada masa Usman bin ‘Affan menjadi khalifah (pengganti) Nabi, Umat Islam membuat al-Qur’an yang dicetak menjadi sebuah mushhaf (buku) dengan kertas impor dari Cina. Pada tahun setelah 751 M, kaum Muslim Arab dengan belajar dari orang-orang Cina sudah bisa memproduksi kertas sendiri untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.
Keharusan investasi dalam pendidikan dan ilmu pengetahuan juga tampak dalam hadis riwayat Ahmad: “Barang siapa yang menempuh jalan menuju ilmu pengetahuan, maka sama saja dengan menempuh jalan menuju Surga”. Berdasarkan hadis ini, menurut para ulama, baik orang yang mencari ilmu maupun orang tua/orang kaya yang membiayainya, ruhnya sama-sama akan diangkat Allah ke surga. Ini sebagaimana yang dilihat oleh mata batin al-Huffar, seorang penggali kuburan di Suriah yang kemudian beralih dari awalnya tukang gali kuburan menjadi pencari ilmu hingga menjadi ulama besar.
Berinvestasi untuk pendidikan dan ilmu pengetahuan bagi anak memang butuh biaya besar. Namun, dalam Islam itu adalah bagian dari ibadah, bagian dari jihâd fî sabîlillâh yang pahalanya surga. Apalagi, dalam Islam, memberi nafkah, memenuhi kebutuhan dasar dan menyekolahkan anak adalah bagian dari kewajiban orang tua. Lihat misalnya QS. al-Baqarah/2: 233. ”Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka (anak-anak) dengan cara yang patut, (meski) setiap orang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya”. Ayat ini diperkuat QS. An-Nisa/4: 9: ”Hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka, yang mereka khawatirkan (kesejahteraan)-nya”.
Seorang anak saat ditinggal mati orang tuanya bukan saja harus sejahtera secara material melainkan juga harus kaya ilmu pengetahuan. Dalam hadis sahih disebut meninggalkan anak dalam keadaan kaya lebih baik ketimbang dalam keadaan miskin. Maka, meninggalkan anak yang berpendidikan/berilmu tinggi jauh lebih baik ketimbang yang rendah, karena ilmu lebih baik daripada kekayaan dan sebagai kunci kehidupan.
Keharusan membesarkan anak yang menuntut biaya besar inilah yang membuat pernikahan dalam Islam antara lain dipandang sebagai ibadah sepanjang hidup. Karena peran dalam membesarkan anak yang berat inilah, berbuat dosa terhadap orang tua dalam Islam dipandang sebagai dosa besar. Dengan disekolahkan/dididik, maka seorang anak manusia sebagai makhluk berbeda dengan hewan, meski belum bisa melampaui capaian orang tuanya. Kepala Negara dalam hal ini diposisikan seperti ayah/orang tua dengan tugas membesarkan rakyatnya.
Perspektif Historis (Praktik)
Selain tampak dari kenyataan sejarah Islam yang memproduksi kertas sendiri untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan pada abad ke-7/8 M, keharusan investasi dalam pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam sejarah/praktik umat Islam juga bisa dilihat kenyataan masjid sebagai lembaga pendidikan pertama sejak masa Nabi.
Ahmad Syalabi dan Ibnu Zubair menceritakan, di sebuah masjid di berbagai belahan dunia Muslim pra modern biasa terdapat lingkaran kajian keislaman yang berbeda mazhab di berbagai pojok yang berpusat di tiang masjid. Mereka yang belajar bahkan mendapat gaji yang lumayan, bukan hanya para pengajarnya saja, karena setiap tiang/pojok masjid yang memiliki lingkaran pengajaran Islam itu memiliki tradisi wakaf yang baik. Dari masjidlah berkembang madrasah hingga universitas seperti Madrasah-Universitas al-Azhar di Mesir dan Madrasah-Universitas Nizhamiyah di Baghdad, Naisyafur, dan lainnya. Di Univ. Nizhamiyah ini, seorang guru besar digaji 40 dinar (uang emas) per bulannya.
Juga tampak dari kelembagaan Bait al-Hikmah (“Gedung Ilmu”) pada abad ke 9 M sebagai lembaga penerjemahan, perpustakaan, pusat riset, dan observatorium. Bahasa Arab pun kemudian menjadi bahasa ilmiah dan peradaban berkat perannya antara lain dalam penerjemahan karya-karya ilmiah yang ada dalam bahasa Yunani, Suryani, Persia, dan India. Manuskrip-manuskrip yang diterjemahkan lembaga ini berasal dari pusat-pusat ilmiah di Timur Tengah dan sebagiannya dibeli dari wilayah kerajaan-kerajaan Eropa. Para penerjemah yang bekerja dihargai oleh khalifah secara profesional dengan digaji sebanyak 500 dinar setiap bulannya dan emas seberat buku yang diterjemahkan. Ini sebanding dengan gaji Jibrail ibn Bikhtusyu, seorang dokter pendiri rumah sakit Bagdad pada masa Harun ar-Rasyid, yang pendapatan per tahunnya adalah 4.9 juta dirham (uang perak), meski ia memberikan pengobatan gratis. Di lembaga inilah al-Razi (w. 925 M) seorang sarjana kedokteran misalnya menulis 200 risalah dan buku untuk Bait al-Hikmah.
Dalam sejarah Islam muncullah para ilmuan empiris Muslim yang sebagiannya sudah mencapai taraf teknologi. Misalnya: Jabir bin Hayyan (w 808) ahli kimia yang salah satu temuannya adalah bisa membuat tinta yang bisa dibaca saat gelap; Muhammad bin Zakariya al-Razi (w.313/925) yang mampu menciptakan emas dari bahan metal dan menemukan teknik pembedahan untuk jenis penyakit tertentu; al-Khawarizmi (w 236/850) memperkenalkan angka Arab (1, 2, 3 dst) yang kita gunakan hari ini; dan Umar Khayyam yang menemukan dinamit yang membuat gerakan terorisme Qaramithah bisa diatasi.
Wallâhu a’lam.