Sertifikasi Halal dan Babe Haikal: Membongkar Syariatisasi dan Tantangan Pluralisme di Indonesia

Sertifikasi Halal dan Babe Haikal: Membongkar Syariatisasi dan Tantangan Pluralisme di Indonesia

Sertifikasi Halal dan Babe Haikal: Membongkar Syariatisasi dan Tantangan Pluralisme di Indonesia

Bagaimana melihat posisi sertifikasi halal di Indonesia dan kini dipimpin Haikal Hassan?

Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, dikenal akan keberagamannya yang menjadi salah satu pilar utama harmoni masyarakat. Namun, kebijakan publik yang terlalu mengutamakan norma-norma Islam berisiko merusak nilai-nilai pluralisme yang telah lama menjadi landasan bangsa. Kebijakan sertifikasi halal wajib yang baru-baru ini diterapkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah kepemimpinan Haikal Hassan, atau Babe Haikal, telah memicu perdebatan besar mengenai shariatization, political Islam, serta dampaknya terhadap masyarakat Indonesia.

Shariatization: Islamisasi dalam Kebijakan Publik

Shariatization, seperti dijelaskan oleh Syafiq Hasyim dalam bukunya The Shariatisation of Indonesia: The Politics of the Council of Indonesian Ulama (Majelis Ulama Indonesia, MUI), mengacu pada proses di mana nilai-nilai atau hukum Islam diintegrasikan ke dalam kebijakan publik oleh institusi negara (Hasyim, 2023).

Kebijakan sertifikasi halal wajib yang diterapkan BPJPH merupakan contoh nyata dari fenomena ini.

Dalam kebijakan tersebut, semua produk makanan dan minuman, termasuk yang diproduksi oleh usaha kecil, diwajibkan memiliki label halal atau non-halal. Kebijakan ini mencerminkan upaya negara untuk menyelaraskan kerangka regulasinya dengan prinsip-prinsip Islam.

Namun, Indonesia bukanlah negara Islam, melainkan negara yang didirikan di atas nilai-nilai pluralisme sebagaimana tertuang dalam Pancasila. Kebijakan sertifikasi halal wajib untuk semua produk berisiko menciptakan persepsi bahwa negara lebih mengutamakan norma-norma agama tertentu dibandingkan inklusivitas yang dijunjung Pancasila.

Pendekatan seperti ini tidak hanya mempersempit ruang bagi komunitas non-Muslim tetapi juga menimbulkan tantangan bagi pemilik usaha kecil yang harus menghadapi beban administratif tambahan.

Kritik terhadap Sertifikasi Halal dalam Perspektif Political Islam

Melalui pendekatan political Islam, kebijakan seperti sertifikasi halal dapat dilihat sebagai salah satu upaya memperkuat narasi Islamisasi negara.

Hal ini dapat dipandang sebagai bentuk politisasi agama, di mana regulasi yang seharusnya bersifat inklusif justru cenderung melayani nilai-nilai religius tertentu. Kebijakan semacam ini tidak hanya memengaruhi dinamika sosial tetapi juga memiliki dampak ekonomi yang signifikan.

Haikal Hassan atau Babe Haikal, sebagai kepala BPJPH, berpendapat bahwa kebijakan ini bertujuan melindungi konsumen Muslim dan memberikan kejelasan mengenai status halal produk (BPJPH, 2024). Namun, perlu dipertanyakan apakah kebijakan ini benar-benar dirancang untuk kepentingan konsumen Muslim ataukah mencerminkan upaya untuk memaksakan norma-norma Islam dalam sistem regulasi nasional.

Para akademisi seperti Greg Fealy telah menyoroti bahwa political Islam sering kali cenderung eksklusif, yang dapat mengancam kohesi sosial di negara dengan keragaman budaya seperti Indonesia (Fealy & White, 2008). Meskipun sertifikasi halal wajib tampak sebagai upaya melindungi konsumen, kebijakan ini juga dapat ditafsirkan sebagai bagian dari agenda Islamisasi yang lebih luas.

Dampak terhadap Pemilik Usaha

Belum lagi sebagai dampak sertifikasi halal yang direncanakan Babe Haikal adalah juga dapat menjadi beban administratif yang berat bagi pemilik usaha kecil, terutama usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Menurut Kementerian Koperasi dan UMKM, lebih dari 64 juta UMKM di Indonesia berkontribusi sekitar 60% terhadap PDB negara. Namun, banyak dari mereka tidak memiliki sumber daya untuk mendapatkan sertifikasi halal karena biaya dan prosedur yang rumit (Kementerian Koperasi dan UMKM, 2024).

Sebagai contoh, seorang produsen makanan kecil di pedesaan mungkin menghadapi proses birokrasi yang panjang dan biaya tambahan, yang pada akhirnya mengurangi daya saing mereka.

Pendekatan yang lebih fleksibel, seperti memberikan insentif kepada UMKM yang secara sukarela mengajukan sertifikasi halal, dapat menjadi solusi yang lebih efektif. Kebijakan ini juga perlu memastikan bahwa biaya sertifikasi tidak memberatkan pemilik usaha kecil. Alih-alih menambah kerumitan, pemerintah seharusnya memberikan pendampingan teknis dan subsidi kepada mereka yang membutuhkan.

Pluralisme dan Kebijakan yang Inklusif

Sebagai negara dengan mayoritas Muslim, memang, pentingnya sertifikasi halal tidak dapat disangkal. Kebijakan ini memberikan rasa aman bagi konsumen Muslim terkait produk yang mereka konsumsi. Namun, pelaksanaan kebijakan ini harus mempertimbangkan realitas sosial Indonesia yang beragam. Kebijakan sertifikasi halal wajib untuk semua produk, termasuk yang diproduksi oleh pelaku usaha non-Muslim, berisiko menciptakan eksklusi sosial dan diskriminasi ekonomi.

Di negara-negara dengan populasi Muslim yang besar seperti Malaysia, sertifikasi halal dilakukan secara sukarela dan berorientasi pasar. Kebijakan ini memungkinkan konsumen untuk membuat pilihan tanpa memberatkan seluruh pihak dengan regulasi yang bersifat memaksa. Indonesia dapat mengadopsi pendekatan serupa, dengan fokus pada edukasi konsumen dan promosi manfaat sertifikasi halal tanpa harus memberlakukan kewajiban yang bersifat koersif (CNN Indonesia, 2024).

Kompleksitas Tanpa Solusi Konkret

Salah satu kelemahan utama dari kebijakan ini adalah kompleksitas implementasinya. BPJPH menyatakan telah menyiapkan lebih dari 1.000 personel untuk memantau pelaku usaha yang belum memiliki sertifikasi halal. Namun, dengan jutaan pelaku usaha di seluruh Indonesia, jumlah ini jelas tidak memadai (BPJPH, 2024). Selain itu, kebijakan ini membuka peluang penyalahgunaan wewenang, terutama dalam proses pengawasan dan pemberian sanksi.

Kebijakan yang terlalu kompleks dan sulit diterapkan berisiko kehilangan tujuan utamanya, yaitu melindungi konsumen. Lebih buruk lagi, kebijakan ini dapat menimbulkan ketidakpuasan di kalangan pelaku usaha dan masyarakat umum, yang merasa bahwa regulasi ini lebih banyak merugikan daripada menguntungkan.

Menuju Kebijakan yang Lebih Efisien

Sertifikasi halal di Indonesia adalah kebutuhan yang sah, tetapi pelaksanaannya harus disesuaikan dengan konteks negara yang pluralistik. Kebijakan Babe Haikal tentang sertifikasi halal wajib untuk semua produk tidak hanya terlalu rumit, tetapi juga berisiko menciptakan ketidakadilan bagi pemilik usaha kecil dan komunitas non-Muslim.

Dalam negara yang bukan negara Islam, regulasi publik seharusnya mencerminkan inklusivitas dan keadilan bagi semua warga negara.

Untuk memastikan keberhasilan kebijakan ini, pemerintah harus mempertimbangkan pendekatan yang lebih pragmatis, seperti memberikan insentif kepada pelaku usaha yang secara sukarela mendapatkan sertifikasi halal serta menyederhanakan proses sertifikasi bagi UMKM. Selain itu, edukasi konsumen tentang pentingnya sertifikasi halal dapat menjadi langkah strategis untuk mendorong permintaan pasar tanpa memberatkan regulasi.

Indonesia bukanlah negara Islam, dan kebijakannya tidak boleh mencerminkan dominasi nilai-nilai agama tertentu. Keberhasilan bangsa ini terletak pada kemampuannya untuk mengelola keberagaman dengan bijaksana, menciptakan kebijakan yang inklusif, dan memastikan bahwa semua warga merasa dihormati dan dilindungi.

Sertifikasi halal seharusnya menjadi alat untuk memperkuat kepercayaan konsumen, bukan mekanisme yang memperumit kegiatan usaha atau menciptakan perpecahan sosial.