Seorang istri paruh baya mengeluh. Ia merasa selama ini telah melaksanakan hampir segala ibadah dan amal shaleh. Bahkan dalam kondisi tidak berkecukupan pun, kalau urusan membantu orang lain, walau misalnya dalam bentuk tenaga, hampir selalu siap setiap saat. Namun, entah mengapa, ibadahnya yang rajin, zikir, amal shaleh dan lainnya yang ia lakukan itu seperti tidak berkorelasi lurus dengan rezekinya atau lebih spesifik dalam bentuk uang atau harta lainnya. Tidak seperti kebanyakan orang yang ia lihat tampak begitu mudah dalam mendapatkan apa yang diinginkan.
Harus diakui memang kisah nyata ini tidak mudah dipecahkan, apalagi diamalkan untuk kemudian bisa membuat pikiran dan hati menjadi tenang. Tetapi yang jelas bahwa kita harus berupaya sedari awal bahwa ibadah itu kebutuhan kita, bukan sekadar menggugurkan kewajiban, apalagi sambil ada embel-embel sesuatu atas ibadah yang kita lakukan. Tidak sepenuhnya keliru bahwa ibadah karena Allah bisa menjadi jalan dimudahkannya rezeki.
Tetapi tidak bijak apabila kita mengeluh, menuntut dan apalagi menyerah karena keinginan kita seolah-olah belum dikabulkan oleh Allah.
Saya khawatir ibadah dan amal shalehnya dilaksanakan bukan semata-mata karena Allah, tetapi karena ingin uang atau harta yang lain.
Bisa dibayangkan kalau segala apa yang kita inginkan selalu dikabulkan Allah, jangan-jangan nanti kita akan meninggalkan ibadah dan menjauh dari Allah. Lalu bagaimana solusi ikhtiarnya? Tetap dalam keistikamahan beribadah dan beramal shaleh. Mengeluh itu memang manusiawi, tetapi jangan sampai larut dalam keluhan. Fokus pada nikmat yang ada, yang selama ini luput dari syukur kita.
Sadarkah kita betapa kesehatan ini merupakan rezeki yang begitu berharga dari Allah?
Setiap saat bisa bernafas secara gratis, tanpa bantuan alat pernafasan? Belum seminggu ini, saya ada keperluan ke sebuah Rumah Sakit Umum Daerah, mulai dari parkiran hingga lantai 4 RSUD tersebut semuanya penuh sesak oleh lalu-lalang orang yang sakit dan sebagian keluarga yang mengantarnya.
Saya yakin, banyak di antara mereka, dari sekian banyak pasien yang hidupnya terus dirundung sakit, padahal uangnya banyak. Seandainya orang sakit tersebut ditanya apakah akan memilih uang banyak tapi sakit atau uang pas-pasan tapi dalam keadaan sehat?
Sering kali kita silau oleh orang lain, oleh sesuatu yang sifatnya sawang-sinawang, oleh sesuatu yang menipu.
Kita tidak fokus dengan apa yang terkandung dalam potensi diri, malah sibuk memperhatikan hidup orang lain sampai kemudian membuat kita menjadi tidak bersyukur dan merasa menjadi orang yang paling menderita.
Apalagi sampai terdorong untuk melakukan perbuatan yang curang. Hidup itu mudah, gengsi dan iri yang biasanya membuat kita susah. Apanya yang salah apabila ada yang masih tinggal bersama orang tua/mertua atau misalnya masih tinggal di rumah kontrakan?
Boleh-boleh saja kita punya keinginan untuk punya rumah dan lainnya, tetapi ikhtiarnya harus realistis.
Misalnya dalam kondisi tetap beribadah dan beramal shaleh, mulailah berjualan kecil-kecilan. Tekuni dengan sabar dan sepenuh hati. Laku atau kurang laku pasrah saja kepada Allah. Bijak-bijaklah mengelola keuangan, upayakan untuk bisa menabung berapapun nominalnya. Keberhasilan yang besar biasanya dimulai dengan konsistensi yang kecil.
Sambil terus berjualan, teruskan mengikuti pengajian demi pengajian seperlunya. Libatkan ide-ide kreatif dengan anak dan suami. Ajak mereka terlibat untuk bangkit bersama.
Kalau pun tidak berjualan dengan modal sendiri, kita bisa menjualkan produk orang lain. Ada ide lain juga misalnya membuka jasa mencuci pakaian, bersih-bersih rumah panggilan, dll, bisa juga dengan mengoptimalkan media sosial. Kembangkan potensi diri, jangan fokus pada pencapaian orang lain yang akan membuat kita semakin mengeluh dan terpuruk.
Dengan begitu, insya Allah seiring ibadah dan amal shaleh yang terus istikamah, meskipun dengan perlahan rezeki kita akan terus dimudahkan dan diberkahi Allah.
Penting juga kita memupuk keyakinan dan tauhid kita kepada Allah, sebab hanya Allah saja tempat bergantung, jangan menggantungkan hidup pada manusia. Sebab setiap orang sudah diberi jatah ujian hidupnya masing-masing.
Wallahu a’lam
Mamang M Haerudin (Aa),Pesantren Tahfidz Al-Qur’an Al-Insaaniyyah,