Sore itu, di tengah keramaian trotoar Sudirman, Jakarta, saya bertemu dengan sekelompok siswa yang tengah bersemangat membuat konten. Tangan salah satu dari mereka seperti lekat sekali dengan ponsel. Beberapa kali tangan itu digoyang, ponsel yang dipegangya tak jatuh. Tawa dan riang menghiasi wajah mereka.
Beberapa siswa yang terekam layar telepon pintar terlihat bergoyang ceria mengikuti beat musik populer yang sering terdengar saat scrolling media sosial. Karena penasaran, saya pun mendekat dan bertanya, “Sedang buat video apa?” Salah satu dari mereka menjawab dengan senyum lebar, “Buat lomba moderasi beragama, Pak!”
Saya tertegun. Joget-joget ini, sepertinya kurang cocok dengan tema serius seperti moderasi beragama? Dalam pikiran saya, ada kontradiksi yang menarik antara yang fun dan keseriusan. Namun, di sinilah letak keunikan anak-anak muda zaman sekarang: mereka menemukan cara-cara kreatif untuk mengungkapkan pesan penting, meskipun kadang terlihat “kurang masuk” bagi generasi yang lebih tua.
Di balik keceriaan itu, ada tantangan besar yang kita hadapi saat ini—bagaimana menanamkan nilai-nilai moderasi beragama di kalangan generasi muda yang semakin terhubung dengan dunia digital. Saya semakin penasaran dengan ragam konten seputar moderasi beragama di platform media sosial para anak muda: Tiktok dan Instagram. Konten-konten seperti apa yang terjadi di dua platform ini? Mari kita telusuri jejak moderasi beragama yang terekam dalam hashtag #moderasiberagama di dua platform populer ini.
Saya mengumpulkan semua konten terkait #moderasiberagama, baik di Tiktok maupun Instagram. Konten-konten dengan hastag tersebut lalu dianalisis dan dikelompokkan berdasarkan kategori dan substansi. Dari penelusuran ini saya menemukan hal menarik terkait moderasi beragama di dua platform yang tengah mengunggulkan video potrait singkatnya.
Tiktok, Moderasi, dan Kompetisi
Konten dengan hastag #moderasiberagama di Tiktok bisa dibilang masih sedikit. Hasil penelusuran kami menunjukkan, ada sekitar 19 ribu postingan. Konten dengan penonton terbanyak diraih oleh influencer keislaman “Kadam Sidik”. Pada video yang ditonton sekitar 256 ribu pengguna itu Kadam tidak menjelaskan secara eksplisit terkait moderasi beragama. Ia juga terkesan seperti tidak memahami konsep moderasi beragama.
Selain konten Kadam, mayoritas konten #moderasiberagama di Tiktok berhubungan dengan kompetisi yang diadakan oleh Kementerian Agama. Berbeda dengan Kadam, konten-konten yang disajikan dalam rangka lomba itu lebih banyak menjelaskan arti, definisi, indikator, bahkan contoh-contoh moderasi beragama. Beberapa bahkan mencoba mengomentari isu terbaru seputar keragaman dalam prespektif moderasi beragama.
Sebagaimana konten yang diproduksi para siswa yang saya temui di atas. Kebanyakan konten #moderasiberagama untuk lomba ini disajikan dengan packaging yang lebih fun, dengan joget-joget misalnya, atau mengikuti tren yang sedang viral di platform dengan logo mirip note balok ini.
Sayangnya, meskipun di-package dengan fun dan kekinian, konten yang dihasilkan sering kali terjebak dalam format yang monoton. Isu komplek seputar moderasi beragama tidak digali mendalam dan dikontekstualisasikan, namun lebih terkesan seperti memindahkan konsep-konsep dan teori seputar moderasi beragama yang ada di buku menjadi konten video.
Berbagai kompetisi yang digelar, cukup berhasil menarik minat para siswa sekolah untuk antusias berlomba membuat konten seputar Moderasi Beragama. Alhasil konten-konten dengan hastag #moderasiberagama ini pun semakin bejibun di Tiktok.
Di satu sisi, upaya mereka untuk menyampaikan pesan yang positif patut diapresiasi. Namun, pada akhirnya banyak konten yang mengabaikan kedalaman dan kompleksitas tema moderasi beragama, membuatnya terlihat lebih sebagai jargon yang diulang-ulang tanpa benar-benar menggugah hati audiens.
Di Tiktok juga banyak ditemukan konten-konten yang kontra dengan terma Moderasi Beragama. MB dianggap mengubah ajaran Islam dan menciptakan inovasi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dasar. Video Kadam Sadam yang diposting pada 2021 di atas misalnya. Ia membuat konten moderasi beragama tapi malah menyamakannya dengan liberalisme. Konten-konten seperti ini akhirnya kontraproduktif dengan konten seputar teori dan konsep yang telah diciptakan oleh para peserta lomba moderasi.
Instagram: Moderasi Lebih dari Sekedar Teori
Berbeda dengan TikTok, Instagram menunjukkan “palet warna” yang lebih kaya. Ada sekitar 91 ribu postingan dengan hashtag yang sama, #moderasiberagama. Berbeda dengan Tiktok, di platform milik Meta ini, konten seputar Moderasi Beragama dipenuhi dengan pengalaman dan perspektif yang lebih beragam. Pengguna Instagram memanfaatkan foto, video, dan cerita untuk mengekspresikan gagasan tentang moderasi beragama dengan substansi yang lebih kaya.
Di antara berbagai gambar dan video, kami menemukan cerita-cerita yang menyentuh. Banyak pengguna yang membagikan pengalaman pribadi mereka tentang penerapan sikap toleran dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, konten-konten seputar #moderasiberagama di Instagram lebih natural dibanding Tiktok.
Keberadaan organisasi non-pemerintah (NGO) dan lembaga swadaya masyarakat yang sudah lama bergerak di isu keberagaman juga sangat berpengaruh pada ‘warna’ di Instagram. Mereka memperkaya konten dengan perspektif yang lebih kritis dan beragam, menciptakan variasi yang tidak kaku. Moderasi beragama di Instagram menjadi lebih dari sekadar teori; ia adalah pengalaman hidup yang menginspirasi dan menyentuh hati banyak orang.
Mengapa Konten #ModerasiBeragama di Tiktok dan Instagram Berbeda?
Gap mencolok antara kedua platform ini mencerminkan karakteristik unik masing-masing. TikTok, dengan format video pendeknya, berfokus pada hiburan dan penyampaian informasi yang cepat. Dalam konteks moderasi beragama, hal ini terkadang mengakibatkan konten yang terjebak dalam kerangka edukasi yang terlalu formal dan teoritis. Karena bisa disampaikan dengan cepat dan singkat.
Meskipun demikian, daya tarik TikTok di kalangan anak muda, ditambah dengan lomba-lomba yang diadakan oleh kementerian tersebut, dapat menambah lebih banyak konten yang berfokus pada tema ini.
Sebaliknya, Instagram menawarkan ruang yang lebih fleksibel untuk berkreasi. Pengguna dapat memilih untuk berbagi visual yang menggugah, memperkaya konten dengan nuansa emosional dan personal. Dengan audiens yang lebih beragam, konten di Instagram menjadi etalase dari berbagai pengalaman hidup yang menambah warna pada tema moderasi beragama. Selain itu, keberadaan NGO dan lembaga swadaya masyarakat di Instagram memberikan suara tambahan yang kritis dan beragam, memperkaya diskusi seputar moderasi beragama.
Lomba-lomba Cipta Konten #ModerasiBeragama di Tiktok Perlu Kedalaman Substansi
Penting bagi para pembuat konten dan lembaga pemerintah untuk merenungkan pendekatan yang lebih inklusif dan kreatif dalam menyampaikan pesan moderasi beragama. TikTok, dengan potensi kreatif yang dimilikinya, dapat mengadopsi gaya yang lebih menarik, interaktif, dan deep. Lembaga yang menghelat perlombaan Cipta Konten #ModerasiBeragama perlu memberikan wawasan seputar #ModerasiBeragama yang berbeda kepada para peserta. Bukan hanya sekedar diktat atau buku moderasi beragama, beyond konsep dan teori.
Sementara itu, Instagram sudah berada di jalur yang tepat dengan keberagaman konten yang ditawarkan. Mengedepankan pengalaman nyata dan dialog yang terbuka, Instagram memberikan ruang bagi pengguna untuk menjelajahi dan mendalami tema moderasi beragama tanpa batasan yang kaku.
Dalam perjalanan menelusuri jejak moderasi beragama di TikTok dan Instagram, kita menemukan dua dunia yang berbeda namun saling melengkapi. TikTok, dengan pendekatan formalnya, perlu beradaptasi agar pesannya lebih relevan dan inspiratif. Di sisi lain, para kreator di Instagram juga perlu beradaptasi dan merambah ke Tiktok agar pesan-pesan keberagaman bisa disampaikan dengan lebih kreatif dan dapat menciptakan ruang bagi dialog yang lebih bermakna.
(AN)