Makna Hakikat Pernikahan, Pelakor Syar’i dan Berbagi Suami

Makna Hakikat Pernikahan, Pelakor Syar’i dan Berbagi Suami

Makna Hakikat Pernikahan, Pelakor Syar’i dan Berbagi Suami

Pernah nonton film-film Suara Hati Istri di Indosiar nggak? Ya Allah, saya pernah beberapa kali, lama-lama bikin kesel juga eh.

Saya saja laki-laki, kok ya di film itu akhlaknya gitu-gitu amat. Saya sadar, kalau itu hanya film, tetapi saya justru meyakini bahwa film-film itu cerminan dari realitas sosial kita tentang kehidupan rumah tangga.

Film maupun realitas yang sering kali–untuk enggan mengatakan selalu–menyudutkan perempuan atau istri. Istri yang selalu disalahkan, diperlakukan secara zalim, dikhianati, termasuk realitas berbagi suami.

Saya sendiri pernah melakukan riset kecil-kecilan, tidak formal sih, juga tidak terlalu lama, hanya 2 tahun 4 bulan.

Saya tanya kepada banyak perempuan Muslimah, soal apakah ia akan rela manakala setelah menikah, lalu diajak berbagi cinta dengan perempuan lain oleh suaminya, dengan atau tanpa izin? Perempuan yang saya tanya itu lintas Ormas, lintas komunitas, bahkan lintas agama (maksudnya perempuan non-Muslim). Hampir para perempuan Muslimah yang saya tanya itu, semuanya memang menolak jika kemudian berbagi suami, berbagi cinta dengan banyak istri.

Saya jadi merenung. Dan merasa perlu memaknai kembali hakikat pernikahan.

Sependek yang saya pahami, bahwa pernikahan itu adalah akad perjanjian dan persaksian yang berat, antara mempelai perempuan dan laki-laki, begitu pun sebaliknya, kepada masing-masing orang tua dan mertua, kepada sanak keluarga, masyarakat dan terutama kepada Allah Swt., untuk setia dengan satu pasangan, minimal sampai ajal menjemput, dengan apapun risikonya, baik suka maupun duka, risiko yang pahit maupun manis.

Ingat selalu makna hakikat pernikahan ini. Sehingga tidak mungkin akan terjadi, jika sejak akad pernikahan akan ada ikrar untuk rela berbagi suami. Bahkan dalam hal ini, sebelum menikah, perempuan boleh mensyaratkan kepada calon suaminya untuk tidak menduakan cinta.

Maka jelas sekali istilah pelakor syar’i menyakitkan hati saya. Pelakor itu kan kepanjangan dari perebut laki-laki orang kan? Lalu diembel-embeli syar’i agar seolah-olah upayanya merebut suami orang lain dibenarkan agama. Astaghfirullah.

Saya mengajak agar kita tidak melakukan praktik semacam ini. Sebab saya jadi ingat dengan salah satu maqalah Arab: Laisa fi qalbi hubbani kama laisa fil wujud Rabbani. Tidak ada dalam satu hati dua cinta, sebagaimana tidak ada dalam satu wujud dua Tuhan.

Jadi saya ingin menegaskan bahwa kesetiaan adalah ruh pernikahan. Siapapun yang tidak setia, berarti ia telah mengingkari janji suci pernikahan!

Saya laki-laki ya. Punya akal pikiran dan hati nurani. Mana mungkin tega menyinggung dan apalagi menyakiti hati perempuan yang menjadi istri saya, untuk kemudian mengajaknya dan mengajak perempuan lain untuk berbagi cinta. Ya Allah.

Saya punya ibu kandung, saya punya kakak kandung perempuan, mau ditaruh di mana “muka” saya kalau saya tega menduakan cinta. Saya pernah belajar di Pesantren, saya beruntung jika para ulama dan kiai panutan saya adalah sosok laki-laki dan suami yang setia. Padahal paham fikih dan syariat Islam, tetapi tidak melulu mengatakan bahwa berbagi suami itu sunah Nabi. Komitmen dan ucapan saya ini akan menjadi doa bukan? Sehingga yakin Allah akan mengabulkan doa saya, untuk menjadi laki-laki yang setia.

Istrinya sehat, punya anak sehat, rezeki nggak kurang-kurang, mau apalagi? Kalau alasannya sunah Nabi, saya keberatan. Tapi kalau alasannya karena nafsu birahi, ya silakan. Toh hidup itu pilihan.

Saya tidak membenci orang yang berbagi suami, menduakan cinta, tetapi saya punya pilihan hidup dong. Bahwa saya harus berdakwah tentang pentingnya makna kesetiaan dalam pernikahan, sebagaimana digariskan Islam.

Masa istrinya sakit, istrinya belum dikaruniai momongan, istrinya belum bisa memasak, dan lain serupanya, masa solusinya berbagi suami, masa menduakan atau mentigakan cinta? Kembali pada makna hakikat pernikahan ya, harus siap setia dengan segala risikonya. Kalau istri sakit ya berobat dan berdoa agar sembuh, bukan malah berbagi suami. Ya kan?

Menjadilah istri yang merdeka! Tegakkan bahumu! Saya mendoakan agar semakin banyak para istri yang mandiri, yang hanya bergantung kepada Allah dan tidak menggantungkan hidupnya kepada siapa-siapa, termasuk kepada suaminya sekalipun. Pelajaran bagi yang belum menikah, jemputlah jodoh karena akhlaknya yang: mau saling memuliakan, tidak mudah main larang, mau setia alias tidak mendua.

Buat apa mempertahankan rumah tangga, kalau ada kezaliman: KdRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga), berkhianat (banyak bentuknya), tercuci otak ideologi ekstrem (seperti melarang istri untuk bersilaturahim dengan keluarganya, ini kejadian, saya menemukan).

Suami itu titipan, istri juga titipan. Istri dan suami tidak boleh saling memiliki secara berlebihan dan menekan, sebab kita semua milik Allah. Istri harus sabar dan bersyukur, suami juga harus. Istri harus salehah, suami juga harus saleh. Istri dan suami harus terus belajar untuk saling setia. Prostitusi itu satu hal, perilaku berbagi suami itu hal lain. Jadi tidak bijak jika kemudian disamaratakan.

Hidup memang tidak lama, tapi bukan dengan berbagi suami juga. Masih banyak cara untuk lebih produktif beribadah dan beramal saleh. Jadi tidak perlu menakut-nakuti atau mengancam para istri dengan berbagai penyakit ganas: stroke, kanker, tumor dan lain serupanya, sementara jangan-jangan yang menyebabkan istri stres itu malah kita, suaminya. Hayo?!

Wallaahu a’lam