Islami.co (London) — Pangeran Turki Al-Faisal, mantan kepala intelijen Arab Saudi, menegaskan bahwa normalisasi hubungan antara Arab Saudi dan Israel tidak akan terwujud sebelum berdirinya negara Palestina yang merdeka.
Pernyataan tersebut disampaikan dalam diskusi di lembaga think tank Chatham House yang berbasis di London. Saat itu, Pangeran Turki juga menyinggung peran Amerika Serikat dalam proses perdamaian, terutama di tengah peringatan satu tahun perang Gaza.
Menurut Pangeran Turki, meskipun AS mendorong dialog antara Israel dan Saudi untuk memperkuat keamanan regional dan membangun hubungan ekonomi, Riyadh tetap pada posisinya.
“Jika negara Palestina yang diakui Israel terbentuk, maka barulah kita bisa berbicara tentang normalisasi dengan Israel,” tegasnya dilansir dari Arabnews.
Dia menambahkan, sebelum konflik pecah pada 7 Oktober, pembicaraan antara kedua negara berkembang positif. Namun, serangan Hamas terhadap Israel pada tanggal tersebut telah menghentikan semua pembicaraan yang sedang berlangsung. “Kerajaan selalu memegang prinsip bahwa kami tidak akan berbicara atas nama Palestina. Mereka harus mewakili diri mereka sendiri,” kata Pangeran Turki.
Dia juga menekankan bahwa berdirinya negara Palestina bukan hanya syarat penting untuk hubungan Saudi-Israel, tetapi juga bagi seluruh dunia Muslim. Bagi Saudi, negara Palestina yang diinginkan mencakup wilayah sesuai batas tahun 1967, termasuk Yerusalem Timur.
Pangeran Turki mengingatkan bahwa Saudi telah lama menjadi pendukung utama upaya perdamaian, dengan mengajukan beberapa inisiatif, seperti Rencana Perdamaian Raja Fahd pada 1981 dan Inisiatif Perdamaian Arab yang diajukan oleh Raja Abdullah pada 2002.
Selama konflik yang tengah berlangsung di Gaza, Arab Saudi memimpin dunia Muslim dalam upaya mengakhiri pertempuran, termasuk melalui diplomasi intensif yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Saudi. Pangeran Turki juga mengkritik negara-negara Barat, termasuk AS dan Inggris, karena kurangnya tekanan terhadap Israel untuk menghentikan perang.
Dia mendesak Inggris untuk segera mengakui negara Palestina dan mendorong AS untuk menggunakan pengaruhnya terhadap Israel melalui berbagai cara, termasuk penghentian bantuan militer dan insentif finansial.
“Amerika memiliki banyak alat yang bisa digunakan untuk memengaruhi Israel, tetapi pertanyaannya adalah apakah mereka siap melakukannya,” pungkasnya.
(AN)