Penggunaan media sosial oleh anak di bawah umur masih dianggap persoalan bagi banyak orang tua, apalagi di Indonesia. Konten-konten niredukatif masih jarang ditemui, ketika linimasa media sosial mempertontonkan beragam simulakra pacuan adrenalin dan peningkatan hormon dopamin dalam kadar yang destruktif bagi mereka yang belum aqil baligh.
Pada gilirannya, anak-anak pengguna media sosial berpotensi mengalami kencanduan gawai, perundungan siber, misinformasi, dan konten ekstrem lainnya.
Jika demikian, biasanya screen time akan dibatasi oleh pemegang otoritas yang menaungi anak-anak. Orang tua atau pengasuh akan mengkambinghitamkan perangkat digital karena dianggap biang kerok penurunan kesejahteraan mental dan sosial, terutama pada anak dan remaja.
Melarang bukan Solusi!!
Dr. Melissa L. Gould, Dosen Senior bidang Studi Media Kritis di Auckland University of Technology, punya pandangan lain. Katanya, setiap generasi memiliki zamannya sendiri. Demikian halnya dengan generasi digital native. Mereka memiliki peluang sekaligus tantangannya sendiri.
“Psikolog sosial dari Amerika, Jonathan Haidt, menyebut mereka sebagai ‘generasi cemas’, dan para politisi serta pembuat kebijakan bergegas untuk merespons kebutuhan mereka,” tulis Gould dalam sebuah artikel berjudul Banning social media for under-16s won’t help – teaching digital media literacy will .
Di Amerika Serikat, Kepala Ahli Bedah Vivek Murthy telah meminta Kongres untuk menempatkan label peringatan pada media sosial, mirip dengan label kesehatan pada bungkus rokok.
Langkah serupa juga dilakukan oleh beberapa negara lain seperti Australia, Kanada, Inggris, Italia, China, dan beberapa bagian di Amerika Serikat. Mereka mengusulkan pembatasan penggunaan ponsel di sekolah.
Gloud lalu menyebut sebuah petisi di Australia yang bertujuan untuk meningkatkan usia minimum pengguna akun media sosial dari 13 menjadi 16 tahun. “Kini telah mendapatkan lebih dari 100.000 tanda tangan,” ujarnya.
Langkah itu rupanya didukung oleh perdana menteri Australia dan Inggris. Di Selandia Baru, anggota parlemen dari Partai Buruh Priyanca Radhakrishnan dan pemimpin Partai ACT David Seymour juga mendukung eksplorasi opsi tersebut.
Meskipun demikian, menurut Gould, penelitian tentang “batasan remaja dalam penggunaan media sosial” sebagian besar belum konklusif.
“Yang kita ketahui adalah langkah-langkah ini tidak membekali remaja dengan keterampilan yang mereka butuhkan untuk membangun hubungan sehat dengan smartphone dan media sosial,” jelasnya.
Edukasi Adalah Kunci
Salah satu langkah yang kerap diabaikan dalam kebijakan resmi negara adalah mengajarkan literasi media kepada para pengguna internet. Di Indonesia sendiri proyek literasi media masih belum cukup merata, seiring dengan problem infrastruktur layanan internet.
Padahal, menurut Asosiasi Nasional untuk Pendidikan Literasi Media (NAMLE) di AS, literasi media memberikan keterampilan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, menciptakan, dan bertindak menggunakan semua bentuk komunikasi.
Senada dengan itu Gould menekankan pentingnya literasi media dalam menghadapi tantangan generasi mutakhir dalam mengonsumsi media sosial.
“Dengan menjadikan literasi media sebagai keterampilan hidup, ini memungkinkan remaja beralih dari konsumen media pasif menjadi pengguna media kritis,” kata Gould. “Ini juga membantu mereka memahami bagaimana mereka menggunakan–dan digunakan oleh–platform media.”
Medsos Gak Melulu Negatif
Gould juga berbicara tentang pentingnya mengajarkan literasi media sosial untuk memberikan anak dan remaja cara sehat dan produktif dalam berinteraksi dengan smartphone. Ini membantu mereka menavigasi sisi gelap dan buruk dari dunia online.
“Dengan memahami sejarah, mekanisme, kepemilikan, dan model pendanaan media sosial, siswa dapat menganalisis peran dan pengaruhnya dalam hidup mereka,” jelas Gould.
Terpisah, seorang advokat literasi media, Renee Hobbs dari US Media Education Lab mengatakan, “ada hubungan timbal balik antara perlindungan dan pemberdayaan.”
Percakapan tentang media sosial, dengan begitu, tidak hanya terbatas pada risiko dan bahaya potensial. Media sosial juga memberikan peluang bagi orang untuk menjadi kreatif, menemukan komunitas, dan terlibat dalam pembelajaran, diskusi, dan debat.
Media Sosial: Taman Bermain Virtual
Psikolog sosial Inggris Sonia Livingstone menyarankan bahwa perdebatan tentang batasan screen time harus fokus pada kualitas daripada kuantitas.
Selain itu, sarjana Universitas Southern California, Ethan Bresnick menggambarkan dunia online sebagai “taman bermain virtual”. Ada risiko, Anda bisa terluka, tetapi juga ada kegembiraan, koneksi, bermain, kreativitas, dan tawa.
“Seperti halnya taman bermain, perlu ada langkah-langkah kesehatan dan keselamatan,” uajrnya. “Namun, kita juga harus mendukung remaja untuk menilai dan menangani risiko agar mereka dapat berkembang dan bersenang-senang.”
Yah, tampaknya generasi pendahulu harus menerima kenyataan bahwa penting sekali untuk tidak melupakan fakta remaja hari ini bisa jauh lebih canggih dalam hal bermedia sosial.
Mendidik dan membesarkan mereka dengan mencerabut anak-anak dari zamannya bisa sangat menakutkan. Sebab, semesta internet dan media sosial itu kompleks dan multifaset–demikian pula pendekatan kita untuk belajar bagaimana menavigasi dan memahaminya.