Menyimak perkembangan perang Israel di tanah Palestina rasanya semakin pilu dibuatnya. Kolonialisme zionis seolah makin menjadi-jadi, kendati protes warga dunia terhadapnya semakin masif. Padahal, dampak perang yang ditimbulkannya sangat serius.
Perang bukan hanya soal pertempuran dan kemenangan. Di balik ledakan dan deru senjata, ada bentangan kisah kelam tentang dampak perang, khususnya berkaitan dengan kerusakan lingkungan yang sering kali terabaikan.
Situs The Conversation pernah merilis artikel hasil riset tentang seberapa horor bayang-bayang perang terhadap lingkungan. Ongkosnya ternyata mahal sekali. Orang sekaya apapun tak akan sanggup melunasinya, sekalipun dengan cicilan.
Hantu Penunggu Tanah
Setiap ledakan di medan perang meninggalkan racun yang meresap ke dalam tanah dan air. Uranium terdeplesi dari amunisi, misalnya, menyebar ke tanah atau terbawa air, bergeming, dan pada gilirannya mencemari lingkungan serta ekosistem yang ada di dalamnya.
Jika pernah menonton film Godzilla, kita mungkin bisa sedikit berimajinasi betapa ngerinya dampak senjata biologis untuk kepentingan perang terhadap biota laut. Atau, pada serial Spongebob Squerpants yang merupakan hiburan satire terhadap uji coba nuklir di pulau Bikini Atoll.
Dalam konteks kultur agraria, bentangan tanah di Verdun, Perancis, punya cerita yang tak kalam mencekam. Tanah pertanian yang semula subur itu kini berubah menjadi zona terlarang (Zone Rouge) sejak Perang Dunia II.
Sisa-sisa amunisi perang yang tertinggal di sana laksana hantu yang tak pernah pergi, terus menjadi penunggu tanah tersebut dan siap meledakkan siapapun yang melintas secara random.
Sejarawan British, Christina Holstein, meyakini Zone Rouge tidak akan pernah terbebas sepenuhnya dari persenjataan yang belum meledak. Pemerintah Perancis sebenarnya memiliki badan khusus pembersih amunisi limbah perang, disebut dengan Department du Deminage.
“Mereka berpendapat bahwa mereka masih memiliki pekerjaan 300 tahun ke depan sebelum mereka dapat menyelesaikan seluruh medan perang,” kata Holstein. “Dan mereka tidak akan pernah melakukannya.”
Ranjau Darat: Ancaman Tersembunyi
Ranjau darat adalah ancaman lain yang juga tak kasat mata. Ia dengan setia menunggu di atas permukaan tanah untuk mengakhiri langkah siapa saja yang melakukan kontak fisik.
Tak hanya manusia, kawanan hewan juga menjadi daftar santapan ranjau darat. Selain itu, konflik bersenjata (teknologi mutakhir) juga membuat biodiversitas kehilangan habitat.
Buktinya adalah di Afrika. Konflik yang berlangsung dari 1946 hingga 2010 dikabarkan membuat populasi satwa liar setempat menurun drastis.
Terkadang ranjau-ranjau limbah perang itu juga bisa ‘bermigrasi’, menunggangi arus sapuan banjir. Ini terjadi di Libya, Ukraina, Lebanon, dan Bosnia Herzegovina hingga merusak lahan dan membatasi akses masyarakat ke tanah yang aman.
Pemanasan Global dan Ledakan Bom Waktu
Tak berhenti sampai di situ. Dampak buruk perang juga bisa menjadi kiamat sugra saat suhu bumi meningkat. Bom yang terlupakan atau gagal meledak bisa menjadi bom waktu dalam arti sebenarnya.
Di Timur Tengah, gelombang panas ekstrem (fast-heating) dianggap sebagai penyebab ledakan di gudang senjata Irak (2019) dan Yordania (2020).
Di lautan, senjata kimia dan amunisi yang dibuang sejak Perang Dunia I hingga 1970-an juga menjadi ancaman dan siap meledak kapan saja.
Praktik pembuangan amunisi itu tampaknya seperti solusi gampang. Namun daya ledak bom-bom tersebut rupanya belum hilang. Lebih dari sejuta ton sampah amunisi berserakan di dasar palung laut alami antara Irlandia Utara dan Skotlandia. Amunisi ini terkadang meledak di bawah air, sementara senjata kimia dapat terdampar di pantai.
Selama Perang Dunia II, pertempuran intens juga berlangsung di Kepulauan Solomon. Sampai sekarang, para nelayan harus berhati-hati dengan bom yang mengendap di dalam air. Orang-orang di sana juga dikabarkan meninggal atau minimal terluka setiap tahunnya akibat bom-bom yang meledak tanpa aba-aba.
Eksploitasi Alam di Tengah Konflik
Perang rupanya juga membuka jalan bagi eksploitasi ilegal sumber daya alam seperti kayu dan permata untuk mendanai pertempuran.
Menurut PBB, 40% perang sipil sejak 1946 terkait betul dengan sumber daya alam. Alam yang seharusnya menjadi penyembuh, malah dijadikan alat untuk memperpanjang penderitaan. Kalau masih kurang jelas, kamu bisa nonton film Blood Diamond.
Sumber daya alam kadang kala menjadi sasaran tembak, seperti penembakan membabi buta ke sumur minyak di Kuwait ataupun penghancuran bendungan Kakhovka di Ukraina. Taktik bumi hangus itu jelas bukan saja mencabut nyawa banyak orang, tetapi juga kasat mata menyebabkan kerusakan lingkungan.
Yah, andaikata dunia tak punya tentara, tentu tak ada perang yang makan banyak biaya. Oh, ya andaikata tak punya tentara, tentu tak ada perang yang makan banyak biaya. Dan, ya, andaikata dana perang buat diriku, tentu kau mau singgah bukan cuma tersenyum. Itu kata Bang Iwan Fals dalam lagu Pesawat Tempur.