Pidato Subchan ZE Pada Kongres Sarbumusi Tahun 1969: Kenangan Diskusi dengan Presiden Amerika Serikat [Bag-1]

Pidato Subchan ZE Pada Kongres Sarbumusi Tahun 1969: Kenangan Diskusi dengan Presiden Amerika Serikat [Bag-1]

Tulisan berikut merupakan salinan ulang naskah pidato H.M. Subchan ZE pada Kongres Akbar ke-3 SARBUMUSI (Sarikat Buruh Muslimin Indonesia). Kongres diadakan pada tanggal 5 sampai 10 September 1969. Kongres ini merespons berbagai masalah nasional dan internasional, masalah sosial ekonomi, kebudayaan, politik, dan masalah lainnya yang penting dilihat dalam kaca mata perjuangan kaum buruh.

Pidato Subchan ZE Pada Kongres Sarbumusi Tahun 1969: Kenangan Diskusi dengan Presiden Amerika Serikat [Bag-1]
H Subchan ZE (kedua dari kanan berbaju putih) mendampingi Presiden Soeharto dalam sebuah acara [Poto diambil dari NU Online]

Tulisan berikut merupakan salinan ulang naskah pidato H.M. Subchan ZE pada Kongres Akbar ke-3 SARBUMUSI (Sarikat Buruh Muslimin Indonesia). Kongres diadakan pada tanggal 5 sampai 10 September 1969. Kongres ini merespons berbagai masalah nasional dan internasional, masalah sosial ekonomi, kebudayaan, politik, dan masalah lainnya yang penting dilihat dalam sudut pandang perjuangan kaum buruh.

Disebutkan dalam pengantar dokumen Keputusan Kongres Akbar ke-III Sarikat Buruh Muslimin Indonesia, ada beberapa masalah yang menjadi pokok perhatian SARBUMUSI pada zaman itu.

Pertama, kehidupan ekonomi yang juga masih parah di mana pengangguran terus bertambah, karena belum terciptanya lapangan kerja baru dan pemecatan masal masih terus berlanjut. Adanya gejala ketergantungan kehidupan ekonomi Indonesia kepada bantuan asing, dan kondisi lain yang menyebabkan belum terwujudnya kehidupan yang wajar bagi perekonomian nasional.

Kedua, bahaya laten dari G.30 S/PKI juga dipersubur oleh kehidupan ekonomi yang parah, penyelewengan juga terjadi hampir di seluruh sektor kehidupan.

Ketiga, penerapan hukum belum berjalan dengan baik. Hal ini ditandai dengan diinjak-injaknya Hak Asasi Manusia. Ditambah lagi dengan belum sehatnya kehidupan demokrasi.

Akibat dari kondisi kehidupan sosial-politis tersebut, perjuangan kaum buruh di mana-mana mendapatkan tekanan yang berat, bukan saja tekanan yang bersifat sosial, ekonomi, dan politik, tetapi juga tekanan yang bersifat mental psikologis.

Dalam dokumen Keputusan Kongres  dilampirkan beberapa dokumen pidato dan sambutan, mulai dari Presiden Soeharto, sambutan Menteri, Ketua Umum SARBUMUSI, Ketua Umum PBNU, Ketua I PBNU, dan ketua IV PBNU.

Seperti disebutkan di awal, berikut salinan lengkap dari ketua I PBNU, H.M. Subchan ZE. Untuk memudahkan, pidato akan dibagi menjadi dua bagian.

Dokumen Keputusan Kongres Akbar Ke III Sarikat Buruh Muslimin Indonesia [Koleksi Perpustakaan Universitas Leiden]
Dokumen Keputusan Kongres Akbar Ke III Sarikat Buruh Muslimin Indonesia [Koleksi Perpustakaan Universitas Leiden]

Pidato Ketua I PBNU H.M. Subchan ZE

Saudara-saudara pimpinan dan para peserta kongres yang berbahagia. Jauh sebelum kongres ini berjalan telah diadakan konsultasi terlebih dahulu antara DPP dan Pengurus Besar tentang materi apakah yang dapat disumbangkan sebagai prasaran kepada kongres Akbar ini. Tapi rupanya kita mempunyai kebiasaa khas khusus yang kurang baik, termasuk partai sendiri, yaitu bahwa biasanya dalam kongres atau mukmatar yang menjadi topik pembicaraan adalah masalah kepengurusan. Soal materi kongres itu sendiri soal belakangan.

Menyadari soal ini semua, maka kertas kerja yang semula saya siapkan untuk kongres ini, tidak jadi saya bagikan. Saya hanya akan berbicara soal-soal yang langsung menyangkut kongres ini saja.

Saudara sekalian, ini adalah kesalahan yang sangat fundamental sekali dalam cara-cara kita berorganisasi. Kita semua menghendaki hilangnya penyalahgunaan kekuasaan, menghendaki disiplin, kita menghendaki tertibnya gerak organisasi, tetapi secara tidak sadar kita telah meletakkan dasar-dasar supaya penyalahgunaan kekuasaan itu tetap berlangsung.

Hal ini jelas karena dalam setiap kongres dan muktamar kita tidak sempat memberkan garis apa yang harus dilaksanakan DPP/PB yang akan datang. Kita Cuma berbicara soal pengurus saja, akhirnya setiap kongres yang terjadi ialah menyalahkan DPP-PB karena tidak melakukan ini, tidak melakukan itu. Tapi kita lupa bahwa kita tidak pernah memberikan garis-garis apa yang harus dilaksanakan oleh PB/DPP dapat berbuat apa saja yang menurut pendapatnya baik.

Dengan demikian secara tidak sadar kita mengikuti falsafah yang dinamakan diktator proletariat, suatu doktrin yang timbul dari Marxisme Leninisme, bahwa kedaulatan menurut paham ini hanya terdapat pada waktu memilih pemimpin saja. Sesudah pemimpin itu terpilih untuk masa periode tertentu, maka dia berhak melakukan apa saja sekehendaknya.

Saudara sekalian, saya minta maaf kalau dalam uraian ini saya mulai dengan hal-hal yang agak tajam. Tapi hal ini sengaja kemukakan karena kita harus segera mengubah tradisi-tradisi semacam ini. Muktamar haruslah dapat meletakkan dasar bagi pemecahan problem nasional, muktamar haruslah dapat membuat strategi baru yang diperlukan di antara dua muktamar, antara muktamar yang satu dan yang lain, dan muktamar haruslah membuat prognosa-prognosa apa yang akan terjadi sekarang sampai muktamar yang akan datang. Muktamar terlebih-lebih harus dapat meletakkan garis apa yang dilaksanakan oleh pimpinan baru yang harus dipertanggungjawabkan pada muktamar yang akan datang.

Inilah yang ingin saya kemukakan dalam prasan saya malam ini, supaya kita mulai membiasakan diri untuk lebih teratur dalam perjuangan kita. Jadi muktamar harus dapat memberikan keputusan yang instruktif tentang apa yang harus dilaksanakan oleh pimpinan. Karena ada garis-garis yang diletakkan dan atas dasar inilah beleid pengurus dinilai pada kongres yang akan datang.

Marilah kita hindari cara kita selama ini, untuk menghindarkan fitnah yang lebih besar, sehingga pimpinan harus berbuat sesuatu menurut kehendak kongres dan bukan berbuat sesuatu yang menurut anggapannya baik. Kalau kita belum bisa mulai cara-cara baru ini, maka yang terjadi adalah kekisruhan-kekisruhan kongres ini. Jangan difokuskan kepada soal pengurus saja, siapa yang harus dipilih, dan sebagainya.

Baiklah saudara-saudara sekalian, itulah yang saya ingin kemukakan sebagai mukadimah pada prasaran malam ini.

Yang kedua, saya tadi mendengar dari pimpinan bahwa soal tata-tertib merupakan pembicaraan yang sulit dicapai kata sepakatnya.

Ya, lagi-lagi tata tertib dan ini menyangkut soal-soal pengurus. Pemilihan pengurus inilah topik kongres saudara-saudara.

Kita harus sudah membiasakan bahwa pergantian pimpinan itu harus dianggap sebagai soal-soal yang wajar, sama wajarnya dengan orang makan, minum, orang lahir, mati, dan sebagainya. Soal yang biasa, sehingga tidak perlu terjadi dengan menimbul ketegangan.

Saya jadi ingat sewaktu berdiskusi dengan mendiang Presiden Kennedy pada waktu beliau baru terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat. Pada waktu itu Bung Karno masih berkuasa, dan kita mulai tidak senang dengan Bung Karno. Presiden Kenedy mengatakan, “Mr. Subchan, your problem is you want a superman to be a president.” Kesulitan tuan-tuan di Indonesia ialah bahwa hendak menjadikan seorang superman sebagai presiden. Seorang dengan kemampuan yang luar biasa, bahkan seorang Presiden itu harus semacam setengah Nabi.

Sebenarnya seorang presiden tidak lain kecuali sekedar sebagai regulating officer, semata-mata seorang yang mengatur dan mempimpin tata kerja administrasi biasa saja, mengangkat atau memberhentikan kerja, menandatangani keperluan-keperluan, jadi dia harus menjadi alat dari suatu mekanisme pemerintahan.

Kalau kami di Amerika Serikat katanya, untuk seorang presiden kita cuma butuh orang yang effisien, patriotis dan relatif jujur, dan selanjutnya syarat yang terpenting ialah bahwa ia bersedia didepak keluar empat tahun kemudian. Itu presiden yang baik.

Yang ketiga, saudara sekalian, kita sering mendapat pertanyaan bahwa NU itu partai terbesar, pelopor penganyangan Gestapu, jadi ketua DPR, di MPR kita berperan, tetapi mengapa apabila pembentukan cabinet kita cuma mampu memegang Departemen Agama saja. Ini adalah pertanyaan yang tepat dan mengena. Kemudian timbul analisa di kalangan intelektual bahwa NU ini partai tradisional, partai orthodox yang tidak mempunyai tenaga-tenaga yang mampu untuk mengatur pemerintah. Jelasnya suatu masyarakat yang cukup baik untuk diperintah, tapi tidak cukup baik untuk memerintah.

Anggapan ini terang salah sama sekali. Apa benar kita tidak cukup mempunyai tenaga? Apa benar kita tidak cukup mempunyai kader? Pengkaderan yang secara sistematis saja sudah dilaksanakan oleh NU sejak tahun 1960. Jadi paling sedikit sudah sembilan tahun kita mempuntai proses pengkaderan.

Terus terang saja saya selalu mengatakan bahwa tidak benar kalau kurang cukup tenaga. Yang benar ialah bahwa kita kurang berani memberikan kesempatan pada kader-kader kita sendiri, kurang berani untuk menampilkan seseorang di kalangan sendiri. Kalau kita mau berperan, maka tidak cukup punya pimpinan yang baik saja, tapi juga pimpinan yang baik dalam jumlah banyak pula. Jadi saya menganjurkan saudara-saudara supaya tidak hanya memproduksi calon pemimpin, tapi harus berani mengorbitkan calon pemimpin agar kita kualitas dan kuantitas mempunyai pemimpin yang kita butuhkan.

Saudara-saudara sekalian, masalah seperti tata-tertib ini sebaiknya ditertibkan menurut proporsinya. Tata-tertib itu Cuma mengatur jalannya persidangan. Kalau rules ini ditaati, saya kira kongres saudara-saudara akan sempat membicarakan/melaporkan karya-karya perburuhan yang “bociend”, yang menarik dan mengikat perhatian, yang bisa memenuhi arena politik perburuhan dewasa ini.

Jadi bermusyawarahlah dengan baik. Forum ini adalah forum tertinggi dalam bermusyawarah. Menurut Islam, musyawarah itu bukan mencari banyak-banyakan, atau menang-menangan, tetapi mencari kebenaran. Yang salah, taslim pada yang benar. Musyawarah yang hakiki tunduk pada hujjah, argumentasi, yang kuat. Apabila hujjah sama kuat baru atas dasar suara yang terbanyak. Maka saya mohon pesan, jangan menang-menangan, berikanlah argumentasi yang logis dan mantap.