Islami.co (Haji 2024) — Benyamin Sueb, seorang seniman legendaris Indonesia, bukan hanya dikenal karena bakat komedinya yang menghibur. Di balik tawa dan candaan yang sering ia sampaikan, tersimpan kisah menarik saat ia menunaikan ibadah haji.
Dari sembilan kali pengalaman berhaji, haji pertama bersama ibunya adalah yang paling berkesan baginya. Beberapa cerita Bang Ben dalam artikel ini disarikan dari buku Haji Sebuah Perjalanan Air Mata (Pengalaman Beribadah Haji 30 Tokoh), Mustofa W. Hasyim & Ahmad Munif, (Yogyakarta: Bentang, 1993).
Menggendong Ibu saat Sa’i: Tanda Bakti dan Kasih Sayang Bang Ben
Perjalanan haji pertama Benyamin Sueb bersama ibunya meninggalkan kesan mendalam yang tak terlupakan. Salah satu momen yang paling menyentuh adalah ketika Benyamin harus menggendong ibunya saat melakukan sa’i, perjalanan bolak-balik antara bukit Safa dan Marwah. “Waktu saya menggendong ibu, banyak orang yang meledek saya seperti onta. Tapi biarlah mereka ngomong apa saja,” kenangnya.
Meski candaan tersebut mungkin dilontarkan karena profesinya sebagai pelawak, Benyamin sama sekali tidak bermaksud melucu pada saat itu. “Saya benar-benar terpanggil untuk membantu ibu. Walaupun sebenarnya juga tidak mau,” ungkapnya jujur.
Ia menganggap menggendong ibunya sebagai bentuk bakti seorang anak terhadap ibunya. Benyamin menyadari bahwa perjuangan seorang ibu dalam mendidik, membesarkan, dan melahirkan anak-anaknya jauh lebih berat dibandingkan apa yang ia lakukan saat itu.
Momen menggendong ibunya saat sa’i menjadi simbol kasih sayang dan pengabdian yang tulus. “Meski berat, tapi saya tetap gembira, karena saya lakukan dengan niat tulus ikhlas,” ujar Benyamin.
Dalam hatinya, ia merasa belum bisa membalas semua jasa ibunya, namun ia berusaha memberikan yang terbaik. Ketulusan hati dan niat suci itulah yang membuat momen tersebut begitu berkesan.
Pengalaman Spiritual di Tanah Suci
Bagi Benyamin, perjalanan haji bukan hanya sekedar menjalankan rukun Islam kelima, melainkan juga perjalanan spiritual yang mendalam. “Ada semacam pengalaman batin yang rasanya sulit untuk digambarkan dengan kata-kata,” katanya.
Saat berada di depan Ka’bah, Benyamin merasakan kedekatan yang luar biasa dengan Allah. Semua urusan duniawi seakan sirna, yang ada hanya pikiran tentang kebesaran-Nya.
Momen-momen spiritual ini memberikan ketenangan batin yang luar biasa. Ia merasakan seolah-olah semua beban hidupnya terangkat.
“Saat ini saya tidak berpikir sama sekali hal-hal yang sifatnya duniawi, harta benda, anak, dll. Pokoknya yang ada di Indonesia tidak sempat terpikirkan. Yang ada hanya pikiran ke arah sana (Allah),” ungkapnya.
Kehilangan Istri: Ujian Kesabaran dan Keimanan
Namun, perjalanan suci ini tidak hanya diwarnai oleh kebahagiaan dan ketenangan. Benyamin juga menghadapi ujian berat saat ia kehilangan istrinya. “Saya merasa kehilangan istri itu pada waktu selesai Tawaf. Selesai Tawaf istri saya tidak kelihatan. Saya cari di tempat semula istri saya tidak ketemu,” kenangnya. Ia merasakan kebingungan dan kegelisahan yang luar biasa.
Dalam situasi tersebut, Benyamin hanya bisa pasrah dan berdoa kepada Allah. “Di saat gelisah itulah saya pasrah, saya panjatkan doa kepada Allah,” ujarnya. Doa tersebut ia panjatkan dengan penuh harap, memohon petunjuk dan bantuan dari-Nya.
“Aneh setelah saya berdoa, mata saya dengan jelas dapat melihat istri saya yang ternyata masih setia menunggu di tempat itu,” tambahnya.
Benyamin tidak tahu mengapa hal tersebut bisa terjadi, namun ia yakin bahwa semuanya adalah kehendak Allah. “Yang jelas semua itu karena Allah semata. Apakah itu sebagai pertanda peringatan kepada saya atau apa, saya tidak tahu. Tetapi saya yakin, bahwa semua itu karena Allah,” tuturnya. Peristiwa ini semakin menguatkan keimanannya dan membuatnya semakin berserah diri kepada Allah.
Refleksi dan Hikmah dari Perjalanan Haji
Perjalanan haji pertama Benyamin Sueb membawa banyak pelajaran dan hikmah bagi dirinya. Ia menyadari betapa pentingnya bakti kepada orang tua dan keikhlasan dalam beribadah. Momen menggendong ibunya menjadi simbol kasih sayang yang tulus dan pengorbanan tanpa pamrih. “Menurut pikiran saya dengan menggendong ibu sekaligus sebagai tanda bakti seorang anak terhadap ibu kandungnya,” katanya.
Selain itu, pengalaman kehilangan istri mengajarkannya tentang kesabaran dan kepasrahan kepada Allah. Dalam situasi sulit, doa menjadi satu-satunya penghibur dan penolong. “Saya panjatkan doa kepada Allah,” kenangnya. Benyamin merasakan betapa kuatnya kekuatan doa dalam memberikan ketenangan dan jawaban atas segala masalah.
Bagi Benyamin, haji pertama ini menjadi perjalanan spiritual yang penuh makna. Ia merasakan kedekatan yang luar biasa dengan Allah dan menemukan kekuatan dalam iman dan doa. Pengalaman ini tidak hanya memperkuat keimanannya, tetapi juga memberikan pelajaran berharga tentang kasih sayang, pengorbanan, dan kepasrahan.
(AN)