Syekh Sulaiman Arrasuli (1871-1970) termasuk salah satu tokoh penting di Minangkabau. Beliau mendirikan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) pada 5 Mei 1928 di Sumatera Barat, organisasi keagamaan yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, dan dakwah. Beliau juga mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah di Candung, yang sampai sekarang masih eksis dan menjadi salah satu pusat pembelajaran Islam di Sumatera Barat.
Syekh Sulaiman Arrasuli semasa hidupnya tidak hanya fokus mengajar di Madrasah, beliau juga aktif dalam gerakan sosial dan politik untuk mewujudkan Indonesia yang berkeadilan dan sesuai dengan nilai-nilai syariat Islam. Pada tahun 1957, beliau bersama para ulama lainnya, yang tergabung dalam Majelis Syura wal Fatwa Sumatera Tengah, menginisasi Kongres Alim Ulama se Sumatera untuk mendiskusikan problem kebangsaan.
Salah satu masalah yang menjadi perhatian ulama pada waktu itu adalah kemungkaran semakin menjamur di masyarakat dan korupsi menjangkit sebagian pemimpin. Berikut salinan ulang dari tulisan Syekh Sulaiman Arrasuli yang didokumentasikan dalam buku Kongres Alim Ulama se-Sumatera yang diadakan di Bukittinggi pada 14-17 Maret 1957. Naskah hasil kongres ini ditemukan dalam koleksi Perpustakaan Universitas Leiden Belanda. Tulisan beliau terdapat di halaman 4 sampai 5 dengan judul “Pandangan Alim Ulama terhadap Perkembangan Negara dan Masyarakat Dewasa ini.
Kemungkaran dan Kemaksiatan
Mengembang dan membalik perkembangan tanah air kita dewasa ini, di dalam masyarakat umat Indonesia, mata hati kita dikejutkan oleh kemungkaran dan kemaksiatan yang telah berleluasa sekali.
Kemungkaran dan kemaksiatan itu bukan sadja terdapat di kota ramai, tetapi telah menjalar ke dusun sepi, sehingga sulit dan rumit lagi membatasinya. Bukan saja terdapat pada manusia-manusia yang bejat dan nakal, tetapi telah menular kepada pemimpin-pemimpin yang berpengaruh dan mengendalikan negara kita.
Dahulu di saat bangsa Indonesia masih menghargakan budi pekerti, masih takut kepada alam ghaib, Tuhan seru sekalian alam, mereka merasa malu kalau berbuat kemungkaran dan kemaksiatan, mereka hina kalau disebut krisis akhlak dan demoralisasi.
Ajaran junjungan Nabi besar Muhammad SAW dengan tegas mengatakan:
من رأى منكم منكرًا فليغيرْه بيدِه فإن لم يستطعْ فبلسانِه . فإن لم يستطعْ فبقلبِه . وذلك أضعفُ الإيمانِ
Artinya:
“Orang yang melihat kemungkaran dan kemaksiatan hendaklah dirobahnya dengan tangannya, jika tidak kuasa maka dirobahnya dengan lidahnya, jika dia tidak kuasa, maka dirobahnya dengan hatinya, ketahuilah bahwa yang terakhir ini adalah yang selemah-lemah iman.”
Apabila kita meneliti dengan agak mendalam, maka Nabi besar Muhammad SAW memberi pedoman pokok perjuangan kaum muslimin di dalam membasmi dan membongkar kejahatan dan kemungkaran itu harus terlebih dahulu dengan sejara radikal revolusioner atau dalam bahasa Arabnya bi-yadihi, dan apabila di dalam negara itu tidak mungkin dengan gerak yang radikal revolusioner itu haruslah dengan protes, demonstrasi, atau dalam bahasa Arabnya bi-lisanihi, dan apabila kekuasaan telah bersewenang sehingga biyadihi dan bilisani tidak mungkin dilaksanakan barulah dilakukan gerakan anti kemungkaran itu dengan diam atau lijdelijk verzet atau dalam bahasa Arabnya bi-qalbihi.
Djika kita memberi kesimpulan pedoman perjuangan umat Islam, secara bertingkat dapatlah kita simpulkan sebagai berikut:
Tingkat pertama: radikal revolusioner
Tingkat kedua : protes, rapat, dan demonstrasi
Tingkat ketiga : Lijdelijk verzet, memprotes secara diam-diam.
Nabi besar Muhammad SAW telah memberi nilai bahwa tingkat yang ketiga ini adalah perjuangan dari kaum muslimin yang selamah-lemahnya.
Sesungguhnya apabila kaum muslimin di Indonesia dapat mendalami sejarah perjuangan Nabi Muhammad SAW ini dan memperbandingkan dengan cara perjuangan kita sendiri, tampaklah perbedaan yang sebesar-besarnya.
Apabila kita berani mengoreksi (menghisab) diri kita sendiri, maka nyatalah bahwa kita telah mengembalikan tingkat-tingkat perjuangan itu.
Kita telah menempatkan tingkat yang ketiga menjadi tingkat yang pertama dan tingkat pertama itu diletakkan pada tingkat yang ketiga. Karenanya itu pulalah perjuangan kaum muslimin tidak mengejutkan masyarakat di Indonesia, apalagi tidak menakutkan bagi pihak atau golongan yang anti agama.
Bolehkah kita namakan dengan kemunduran Islam?
Bolehkah kita namakan kelemahan iman?
Maka untuk menempatkan kaum muslimin kepada kedudukan yang sebenarnya, yaitu kedudukan khilafah yang dijanjikan Allah SWT haruslah kita dengan berani dan tegas menukar cara perjuangan yang sekarang, yaitu memprotes dengan diam-diam atau doa semata, kepada cara bertindak dan berbuat yang radikal revolusioner, sehingga kekuatan umat Islam itu nyata dapat dilihat dengan terang.
Mempercampurkan yang hak dengan yang bathil.
Di dalam persoalan negara kita dewasa ini selain dari kemaksiatan dan kemungkaran yang tidak dapat dibatasi lagi, juga dalam pimpinan negara kita, sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap keselamatan negara, orang-orang yang telah bercampur saja antara yang hak dengan yang bathil. Tidaklah dapat kita memperbedakan lagi mana hak dan mana pula yang bathil, kesemuanya sudah bercampur-aduk tenggelam dalam kehancuran yang dalam sekali.
Banyak pencuri besar, bukan ratusan, bukan ribuan, bahkan miliunan yang dicurinya. Pencuri uang negara, tetapi waktu diadili mereka dibebaskan dari tuntutan, mereka tidak dapat dihukum. Di samping itu banyak pula pencuri kecil, pencuri ayam dan ubi di beberapa rumpun, bukan pencuri uang negara, tetapi mereka dituntut dan dihukum, bahkan terkadang dihukum dengan hukuman berat.
Pencuri besar (Koruptor) bebas, tetapi pencuri kecil dihukum. Manakah yang hak dan manakah yang bathil? Hampir saja kita tidak dapat meliat lagi garis pembatas antara keduanya, karena dipercampur-baurkan saja oleh penguasa negara kita.
Tuham telah memberi ingat dengan firmannya dalam surat al-Baqarah ayat 42 yang berbunyi:
وَلَا تَلْبِسُوا۟ ٱلْحَقَّ بِٱلْبَٰطِلِ وَتَكْتُمُوا۟ ٱلْحَقَّ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya:
“Janganlah kamu berusaha untuk mencampur-baurkan antara yang hak dengan yanh bathil, dan kamu sengaja menyembunyikan yang hak, padahal kau sendiri mengetahui.”
Apabila di dalam suatu negara telah bercampur aduk saja antara yang hak daengan yang bathil, atau yang hak sudah dikatakan bathil. Yang bathil sudah dikatakan hak, demikianlah adalah bayangan sejarah yang menurun bagi negara itu sendiri.
Kenapa tidak, cobalah lihat betapa gampangnya bagi penguasa kita menghamburkan uang negara untuk N.V (Nammloze Vennotschap) ini, dan N.V itu, beli suara dalam pemilihan umum dan lain-lain. Di samping itu coba pula lihat betapa sulitnya bagi penguasa negara kita untuk mengeluarkan uang bagi perbaikan jalan-jalan, terutama jalan desa, betapa sukarnya bagi puasa negara untuk mengeluarkan uang bagi pendirian sekolah rakyat, sekolah agama, dan masjid.
Tuhan memberi ingat dengan firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 61 yang berbunyi:
وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ ٱلذِّلَّةُ وَٱلْمَسْكَنَةُ وَبَآءُو بِغَضَبٍ مِّنَ ٱللَّهِ ۗ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا۟ يَكْفُرُونَ بِـَٔايَٰتِ ٱللَّهِ وَيَقْتُلُونَ ٱلنَّبِيِّۦنَ بِغَيْرِ ٱلْحَقِّ ۗ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَوا۟ وَّكَانُوا۟ يَعْتَدُونَ
Artinya:
“Dirasakan kepada mereka kehinaan dan kemelaratan dan tenggelam mereka dengan kemarahan Allah, sebab yang demikian adalah karena mereka ingkar dengan kebesaran Allah, dan karena mereka membunuh/mensia-siakan Nabi (Ulama) dengan sewenang-wenang. Demikianlah tersebab oleh karena kedurhakaan mereka, dan telah melampaui batas.”
Kehinaan dan kemiskinan, kedua-keduanya adalahg akibat dari hati yang buta untuk mempersisihkan hak dengan yang bathil. Bagi kehidupan negara kita Indonesia, kehinaan dan kemiskinan sudah kita rasai, sudah meliputi kesegenap kehidupan manusia Indonesia.
Bukankah kaum tani mengeluh, bukankah kaum saudagar menderita, bukankah kaum pegawai hidup dalam lingkaran hutang yang tidak kunjung selesai? Pendeknya segenap lapisan masyarakat dengan tidak memandang bulu merasai kesusahan penghidupan itu.
Padahal negara kita kaya raya, ada tambang minyak, tambang timah, batu bara, dan emas, ada tanah luas yang ditanami padi, karet, kelapa, cengkeh, dan kopi, ada laut dan batang air tempat pelabuhan yang baik. Tetapi di atas segala kekayaan itu pula, kita hidup melarat dan merana, sebagai bunyi pepatah:
“Ayam bertelur di atas pada mati kelaparan, itik berenang di atas air mati kehausan.”
Inilah balasan dari kedurhakaan umat kepada Tuhan-Nya.
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُۥ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ أَعْمَىٰ
Artinya:
“Barangsiapa yang berpaling dair peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS: Thaha ayat 124)
Bersambung ke bagian selanjutnya, klik di sini