Salah satu anak kandung reformasi adalah lahirnya suara-suara identitas vocal yang sebelumnya digembok dalam ‘sel’ bernama Orde Baru. Berbagai identitas ini muncul membawa bendera yang berbeda-beda, seperti agama, etnis, dan budaya. Menurut Michael Foucault, sebuah identitas akan menentukan nasibnya sendiri. Sebuah identitas akan berjuang memperjuangkan kepentingannya, meskipun harus menafikan identitas lain di sekitarnya. Karakter ini melekat pada setiap identitas. Kabar buruknya, karakter ini juga yang selalu melahirkan konflik.
Teranyar, konflik identitas terjadi di Kota Bitung, Sulawesi Utara, pada 25 November 2023 yang melibatkan massa pro Israel dan Palestina. Dalam video yang viral di media sosial, sejumlah warga peserta aksi damai Palestina diserang oleh massa pro Israel yang membawa senjata tajam dan bendera zionis. Mengutip detik.com, terdapat satu korban jiwa dan dua orang dilaporkan luka-luka akibat tensi panas ini.
Dilansir Kompas, bentrokan terjadi saat kelompok massa yang menggelar acara budaya untuk memperingati ulang tahun salah satu organisasi kemasyarakatan berpawai keliling kota. Menurut jadwal, acara akan ditutup pada pukul 19.30 Wita dengan doa untuk perdamaian dunia.
Dalam pawai itu, massa bertemu dengan kelompok lain yang menggelar unjuk rasa bela Palestina. Bentrokan terjadi diduga karena ada provokasi. Kelompok massa yang menggelar acara budaya itu dituding mendukung Israel.
Jika ditarik ke belakang, konflik ini mengakar pada konflik Kristen-Islam di Sulawesi Utara. Massa pro Yahudi direpresentasikan oleh komunitas Kristen, sedangkan aksi bela Palestina digawangi oleh kelompok Islam.
Beberapa warganet mengatakan, penyerangan ini berakar dari gejala islamofobia. Penyerangan itu bukan murni karena mereka mendukung Israel, namun hanya karena mereka tidak menyukai Islam. Artinya, isu konflik Israel-Palestina ditunggangi untuk melampiaskan kebencian Kristen Minahasa kepada komunitas Muslim. Namun, anggapan ini masih diperdebatkan.
Yang jelas, konflik tersebut sudah mereda. Wali Kota Bitung Maurits Mantiri langsung berkumpul dengan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Bitung, Polres Bitung, serta Komando Distrik Militer (Kodim) 1310/Bitung. Deklarasi perdamaian pun diserukan anggota FKUB dengan mengatasnamakan Makatana Minahasa dan BSM di Gelanggang Olahraga Manembo-nembo.
Deklarasi damai itu mencakup tiga poin. Pertama, Bitung telah dalam keadaan aman dan damai. Kedua, semua pihak wajib menangkal berita hoaks dan provokasi. Ketiga, masyarakat Minahasa dan BSM bersatu padu dan menyatakan tidak ada konflik lagi, serta mengedepankan kedamaian di atas segala-galanya.
Namun demikian, konflik antar identitas di Sulawesi Utara nyatanya tak pernah usai. Sebuah riset dari Balitbang Agama Makassar mengatakan bahwa kerukunan yang tercipta di Sulut sebenarnya adalah kerukunan simbolik atau passive harmony. Mereka masih dalam tataran ‘dirukunkan’, bukan rukun atas inisiatif sendiri.
Mereka akhirnya rukun karena ketika terjadi keributan atau timbul gejala konflik, ada lembaga resmi dan informal yang “memaksa” untuk rukun, yakni pemerintah setempat, tokoh agama, aparat keamanan, serta Badan Kerjasama antarumat beragama (BKSAUA) dan FKUB.
Dalam hal ini, kerukunan mereka akan sangat bergantung kepada seberapa cepat pemerintah setempat dan lembaga informal merespon konflik atau persoalan yang bisa mengancam lahirnya perpecahan. Beruntung, berbagai lembaga informal dan formal cekatan dalam merespon konflik di Kota Bitung dan melahirkan resolusi damai sebelum intensitas konflik meningkat.
Gesekan identitas di Sulut ini bisa diidentifikasi pasca pecahnya reformasi. Kelompok identitas pertama di Manado adalah Brigade Manguni Indonesia (BMI) yang terbentuk pada 2002. BMI di awal berdirinya ingin mengasosiasikan diri sebagai organisasi Kristen, yang ditujukan untuk menyaingi maraknya berdiri organisasi Islam di awal 2000-an. Selain BMI, kelompok identitas lain di Manado adalah Legium Christum, Makapetor, Laskar Manguni, Milisi Waraney, dan lain-lain, yang kesemuanya berbasis ‘Minahasa’ dan ‘Kristen’.
Kekayaan identitas di Sulawesi Utara di satu sisi bisa menegaskan persatuan, namun di sisi lain justru rentan melahirkan perang. Kelompok-kelompok ini saling berkontestasi satu sama lain sebagai upaya memenuhi kebutuhan kelompoknya meski terkesan ‘menyingkirkan’ identitas lain. Pada 2015, misalnya, terjadi penyerangan terhadap Masjid As-Syuhada di Bitung, Sulawesi Utara, yang kembali menaikkan tensi konflik rumah ibadah di Indonesia. Tak hanya itu, jika mengacu pada satu dekade ke belakang, ada lebih dari lima pembangunan masjid yang digagalkan oleh oknum komunitas Kristen di sana.
Konflik seperti ini akan terus berlanjut selama ada identitas lain yang dianggap mengancam supremasi ‘Minahasa’ dan ‘Kristen’ yang menjadi identitas dominan di Sulawesi Utara. Dalam pengertian ini, ‘Minahasa’ diperebutkan oleh kedua agama untuk menegaskan eksistensi mereka di Sulawesi Utara. Klaim ini tampak terlihat sebagai sebuah persatuan dua agama di bawah etnis Minahasa. Padahal, satu sama lain saling menafikan untuk memenangkan ‘Minahasa’.
Karena inisiatif damai tidak muncul secara bottom-up, maka fungsi pengawasan secara top-down perlu diintensifkan. Salah dua yang bisa dilakukan adalah edukasi moderasi beragama Utara dan komitmen bangsa tentang anti-kolonialisme. Moderasi beragama dalam hal ini tidak melulu merujuk pada konsep Islam saja, namun juga Kristen sebagai identitas dominan di Sulawesi Utara.
Mengingat masyarakat Minahasa sangat erat memegang tradisi etnisnya, para tokoh agama dan pemerintah perlu mengoptimalkan peran budaya lokal, seperti Mapalus dan terus mempromosikan ‘Torang Samua Basudara’. Mapalus merupakan suatu sistem kerja sama untuk menjaga kepentingan bersama dalam budaya Suku Minahasa. Teknik kerja sama lazim diartikan dengan kebersamaan atau gotong royong. Dalam segala sektor hubungan sosial dan keagamaan, Mapalus berfungsi secara baik. Pendekatan kultural ini bisa diintensifkan untuk mentrigger kesadaran akan hidup damai, bahkan bersama ribuan identitas sekalipun.