Sudah berkali-kali berkunjung ke Ibu Kota, seingatku baru kunjungan terakhir ini aku menyempatkan diri untuk jalan kaki selepas salat subuh. Niat hati ingin menikmati suasana pagi yang hening, sejuk dan syahdu. Apalagi saat itu aku menginap di area wisma kampus UI yang masih dikepung banyak pohon besar, hijau, dan asri. Berjalan keluar komplek wisma masih ditemani lalu lalang pohon yang umurnya mungkin sudah hampir ratusan tahun. Tapi selepas 1 sampai 2 kilo, dan akhirnya melihat jalan raya yang persis ada di sekeliling UI, situasinya jungkir balik, berbeda total.
Aku terkejut melihat kondisi jalan sudah padat merayap. Ternyata Ibu Kota sudah bangun saat matahari masih ogah menampakkan diri. Ya meskipun UI tidak ada di daerah kekuasaan DKI, ya, karena dia ada di Depok, tapi mungkin situasi dan rasanya dah bisa mewakili DKI secara umum.
Harusnya aku sudah tidak begitu kaget, karena 2014 sudah sempat PKL di Jakarta, menetap di Ibu Kota satu bulan dan memang begitu kondisinya, namun bedanya karena ini adalah situasi yang persis setelah subuh. Saat PKL pengalaman menyebalkanku hanya terkait lamanya melalui gedung-gedung pencakar langit hanya untuk perjalanan yang tidak sampai berpuluh-puluh kilo.
Dari sepenggal pengalaman yang mungkin tidak cukup mewakili semua situasi tapi mungkin sudah lumayan bisa mengeneralisir kondisi di Jakarta, konsep hidup slow living yang dikampanyekan sebagian orang agaknya memang cocok untuk sobat-sobat yang tinggal di Jakarta. Karena dari sekilas melihat, Ibu Kota memang sangat berkejar-kejaran. Semua ingin berlari, semua harus cepat meskipun berdesak-desakan, dan semua saling rebut jumlah oksigen yang masih tersisa di udara.
*
Diriwayatkan bahwa Abu Sa’id al Khudri berkata: Rasulullah bersabda, “Seluruh bumi adalah masjid, kecuali kuburan dan tempat pemandian.” (Sunan Ibn Majah 745, Buku 4, Hadis 11)
Apa ini tiba-tiba hadits, tanpa prolog tanpa bridging, dan apa hubungannya dengan hidup slow living? Mari kita mulai pelan-pelan, tapi kita taruh sejenak urusan slow living. Kita berpindah dulu ke hadits yang dikabarkan Abu Sa’id ini.
Saat membaca hadits ini, langsung muncul pertanyaan di kepala. Kenapa ada larangan tidak boleh salah di kuburan dan tempat pemandian atau kamar mandi? Katanya semua hamparan bumi adalah masjid, tempat sujud, tempat salat, tempat kita ingat Allah yang maha besar dan menebar keselamatan, kenapa ada tempat yang kita dilarang salat? Apakah di tempat-tempat ini kita bisa mengalfakan menebar keselamatan seperti yang diharapkan dari ibadah salat?
Oh ternyata terdapat hadits lain yang menjelaskan kenapa terdapat tempat-tempat yang tidak direkomendasikan untuk digunakan salat. Dan ternyata yang dilarang bukan hanya kuburan dan kamar mandi, tetapi ada tujuh tempat yang kita tidak boleh dijadikan lokasi salat. Haditsnya diriwayatkan Ibnu Umar, sebagai berikut:
Sesungguhnya Rasulullah saw. melarang menunaikan salat di tujuh tempat; tempat pembuangan sampah, tempat penyembelihan (hewan), kuburan, di tengah-tengah jalan, di kamar mandi, di kandang unta dan di atas (bangunan) ka’bah.
Kemudian penjelasan lanjutannya terdapat dalam Kitab Subulussalam:
Dikatakan bahwa larangan salat di kuburan, tempat penyembelihan, tempat pembuangan sampah dan kamar mandi adalah dikarenakan terdapat najis, untuk shalat di tengah-tengah jalan karena di situ terdapat hak-hak orang lain (pejalan), maka tidak sah shalat di tempat tersebut, entah jalan itu luas maupun sempit karena keumuman hadits, untuk kandang unta dikarenakan itu adalah tempat berkumpulnya setan, sedangkan untuk salat diatas ka’bah dikarenakan tidak terpenuhinya menghadap kiblat.
Sehingga pelarangan salat di tempat-tempat khusus ini tidak datang dari ruang hampa karena memang beralasan. Ada yang beralasan karena dikhawatirkan najis, ada yang karena akan mengganggu orang lain, ada yang dikhawatirkan berpotensi syirik, dan ada yang karena tidak bisa menghadap ka’bah.
Bahwa kita juga tahu syarat wajib salat adalah tempat dan pakaian yang suci, sehingga kita perlu berusaha semaksimal mungkin menempati tempat yang suci selama ritual salat, bukan malah sebaliknya.
Sehingga larangan yang diberikan sebenarnya bukan dalam koridor membatasi tapi malah itu adalah buah cinta dari Allah yang disampaikan melalui Rasul Muhammad saw.
Bahwa karena banyak kehawatiran-kehawatiran yang muncul dan akibatnya akan membuat kualitas salat yang ditinjau dari sudut pandang jasmaniah dan rohaniah akan terganggu, maka tempat-tempat itu perlu dihindari.
Sehingga logika yang digunakan bukan seperti ini “kalau ada tempat yang dilarang digunakan salat, sehingga di sana kita tidak wajib menebar keselamatan?”
O malah bukan, kita dilarang karena sayangnya Tuhan dan Nabi Muhammad, dan karena kita disayang ya kita perlu untuk melanjutkan sayang itu. Yakni dengan tetap tidak berbuat mungkar meskipun berada di tempat-tempat yang kita dilarang melaksanakan “ritual salat”.
Contohnya seperti membuang air dan limbah sabun secara berlebihan saat kita berada di kamar mandi. Kita tetap perlu dalam koridor secukupnya. Karena dengan kita boros air dan sabun, artinya kita berperan dalam membuang limbah lebih banyak ke lingkungan.
Limbah sabun -yang tersusun atas surfaktan, dan dalam surfaktan ada fosfor dan nitrogen- yang dibuang secara berlebihan di lingkungan akan memunculkan fenomena alga blooming yang menjadi starting point kerusakan kehidupan air.
Dengan alga blooming air akan terhalang mendapatkan sinar matahari, dan ketika air terhalang mendapatkan sinar matahari, tidak akan terjadi proses produksi oksigen dalam badan air melalui sistem fotosintesis. Karena fotosintesis tidak terjadi pada badan air, implikasinya adalah jumlah oksigen dalam air turun. Dan saat jumlah oksigen dalam air turun, biota akan sekarat.
Nah hanya urusan kita membuang sabun berlebihan, kita bisa membuat mati biota air sekolam.
Dan kalau kita mau “zoom out”, satu prinsip yang selalu muncul pada setiap larangan tempat salat adalah prinsip soal berlebihan. Nyaris kesemuannya setelah saya cek tidak ingin kita terjebak dalam kondisi berlebihan.
Misal saja kita tidak boleh salat di jalan, nuansanya sangat kental tentang kita jangan berlebihan dalam ibadah ritual apalagi sampai mengganggu orang lain. Ibadah ritual pun tetap harus secukupnya.
Nah, urusan hidup tidak berlebihan ini nadanya sama antara jangan berlebihan dalam beribadah, jangan berlebihan dalam membuang sabun, pun jangan berlebihan dalam terburu-buru mengurus jalanan sejak pagi.
Sehingga, konsep slow living yang dikampanyekan ini bisa jadi adalah bagian dalam menebar “salam selepas salat” baik langsung atau tidak langsung.
Wallahu A’lam