Usianya 8 minggu 2 hari ketika kami mengintipnya lewat alat USG di Rumah Sakit Khusus Ibu dan Anak (RSKIA) di Yogyakarta. Panjangnya masih 1.78 cm. Kira-kira seukuran beras biryani. Si kecil sudah terlihat tumbuh di sudut rahim yang semakin terlihat membentuk semacam sangkar.
Dokter Eko (bukan nama sebenarnya) yang memeriksanya, seorang dokter laki-laki berusia sekitar 45-50 tahun. Kami bersepakat untuk tidak memperketat kriteria dokter, laki-laki atau perempuan. Atas saran beberapa teman, baik dokter laki-laki ataupun perempuan juga sama saja. Saya juga berkonsultasi ke beberapa orang tentang pilihan dokter ini. Yang penting, ibu hamil merasa nyaman.
Ini adalah pemeriksaan kedua. Kalau istri cocok, pemeriksaan rencananya tetap di sini. Kalau tidak, kami sudah coba nge-list beberapa tempat lain.
Sebenarnya, seminggu setelah dari klinik, kami sudah berencana periksa di sini. Namun suhu istri saat itu dianggap terlalu panas. Apalagi ia juga sedang tidak enak badan. Karenanya, istri dibawa ke UGD dan dites Covid. Ternyata, positif. Pihak rumah sakit memberikan resep dan menyarankan untuk kembali setelah tes negatif. Sekitar sepuluh hari, kami tes ulang. Sudah negatif.
“Bagus. Sebulan lagi kontrol, ya,” ujar Dokter. Ia memberikan beberapa resep.
“Dok, ada makanan yang perlu dihindari?” tanyaku.
“Kamu muslim kan?”
“Iya, dok.”
“Ya sudah, jangan makan babi dan hal-hal yang diharamkan,” ujarnya sembari bercanda. Menurut Dokter, apa saja boleh dimakan, selama diperbolehkan agama. Ealah, sa ae dokter bercanda lagi.
Kesan hamil menyeramkan dengan larangan ini itu langsung sirna. Dokter hanya menyarankan konsumsi makanan sehat. Bentuknya seperti apa diserahkan ke masing-masing. Pertemuan pertama yang santai dan tidak banyak ‘jangan’ ini membuat saya cocok.
Di perjalanan pulang saya bertanya ke istri terkait kecocokannya. Ternyata, istri juga cocok. Jadi tidak perlu keliling untuk mencari dokter lainnya. Meski beberapa teman tetap menyarankan agar mencoba mencari untuk menambah pengalaman. Hanya saja saya dan istri kebetulan sama-sama mager hehe.
Selang beberapa hari, teman istri saya bercerita pernah melakukan perawatan kehamilan di rumah sakit yang sama. Katanya, Dokter Eko termasuk punya reputasi bagus. “Di sebelahku ada yang ditangani Dokter Eko jahitannya jauh lebih cepat kering daripada punyaku,” ujarnya memberi testimoni. Meski tanpa testimoni pun kami sudah merasa punya kecocokan.
Usia kehamilan istri memasuki minggu kedelapan. Artinya, ini adalah masa-masa di mana kami harus lebih berhati-hati. Sebagai suami, saya juga punya tanggung jawab untuk turut menjaga kesehatan istri. Agenda domestik yang biasa kami kerjakan berdua, harus mulai saya kerjakan lebih banyak.
Oh, ya. Sejak membina rumah tangga, kami melakukan banyak tugas bersama-sama. Istri biasanya memasak lauk, saya memasak sayuran. Tugas menyapu dan merapikan lemari dikerjakan oleh istri, sementara saya mencuci baju, mencuci piring, dan sejenisnya. Rumah kontrakan kami yang kecil membuat adaptasi kehidupan kami berdua menjadi lebih mudah.
Kebetulan jadwal ngantor selama pandemi berkurang. Kebanyakan pekerjaan dilakukan di rumah alias work from home. Hal ini cukup membantu kerja-kerja domestik yang ternyata banyaknya luar biasa. Saya tidak bisa membayangkan betapa letihnya seorang perempuan yang memutuskan menjadi ibu rumah tangga, sementara suaminya tidak mau membantu karena menganggap semua urusan dalam rumah adalah urusan istrinya.
Padahal hampir semua urusan domestik adalah basic skill, bukan gender role. Memasak, mencuci, dan merapikan lemari sama sekali bukan tugas perempuan yang tidak bisa dilakukan oleh lelaki. Hal yang sama sekali tidak bisa digantikan ya hamil, menyusui ASI, dan peran lain yang terkait dengan reproduksi. Dalam garis tertentu, beberapa peran itu bahkan bisa digantikan dengan konsekuensi biaya.
Setelah periksa, kami semakin bersemangat untuk mengonsumsi hal-hal yang menyehatkan. Kami pun mulai rajin memasak, meski sesekali tetap njajan di luar. Entah kenapa makanan dari luar kok rasanya lebih enak. Hanya saja memasak sendiri bisa mengontrol bumbu, tingkat kebersihan, dan mengasah skil memasak. Kebetulan kami berdua sama-sama jarang memasak saat ngekos. YouTube dan telpon orang tua menjadi cara kami belajar mengolah bumbu.
Lucunya, kami baru belajar membedakan mana jahe, lengkuas, dan bumbu akar lain. Kami juga belajar mengenal merica, kemiri, dan nama-nama familiar lain yang bisa menyedapkan masakan. Pada awal pandemi, sebenarnya saya memasak dengan teman-teman asrama. Namun ya bumbunya cuma bawang putih, bawang merah, dan cabai.
Beberapa hari setelah periksa, istri mulai mengalami perubahan hormonal. Ia mulai selektif dalam mengonsumsi makanan. Beberapa menu sangat dihindari karena bisa memicu mual. Katanya, seringkali mulutnya pahit. Di sisi lain, ia harus tetap makan agar asam lambung tidak naik.
Istri pun mulai mengalami mual yang berujung muntah. Di situasi ini, suami dituntut untuk sabar dan memberi perhatian lebih. Kita tidak pernah tahu apa yang dimau dan tidak tahu apa yang tiba-tiba ditolak. Terkadang bau badan yang sepertinya tidak bau saja bisa memicu mual. Permintaannya pun mulai aneh-aneh, seperti disuruh mandi jam 11 malam.
Apa pun itu, turuti saja. Toh, lelaki tidak pernah tahu bagaimana rasanya hamil.