Hadits kedua dalam buku 40 hadits hijau yang ditulis oleh Kori Majeed dan Saarah Yasmin Latif sangatlah menarik. Kurang lebih seperti ini haditsnya:
Anas melaporkan: Rasulullah SAW akan melakukan wudhu dengan satu mudd dan akan melakukan ritual mandi dengan satu sha’ hingga lima mudd. (Sahih al-Bukhari 198, Sahih Muslim 325).
Hadits yang membicarakan soal air ini menampilkan beberapa satuan yang menarik dan membuat saya secara pribadi bertanya kenapa volume air yang tertulis sejumlah itu, ya?
Dalam buku kumpulan 40 hadits hijau dijelaskan bahwa 1 mudd setara dengan ⅔ liter; dan 1 sha’ sampai 5 mudd setara dengan 2 – 3,5 liter.
Kalau saya bayangkan, ukuran ⅔ liter air untuk wudhu dan 2 – 3,5 liter untuk mandi kayaknya cukup sedikit, apalagi jika dilihat dari kacamata Indonesia yang di beberapa tempat airnya melimpah, bahkan kadang berlebih sampai bikin bencana.
Tapi, saya juga masih yakin kalau memang air segitu tetap bisa membuat wudhu menjadi sah dan mandi sampai bersih. Ukuran sejumlah itu sepertinya memang disesuaikan dengan konteks Arab yang konon jumlah airnya tidak sebanyak di Indonesia. Sehingga inti penting dari hadits itu adalah mengajak kita untuk hidup dengan porsi cukup dan sederhana atau dalam falsafah jawa disebut sak madyo.
Sak Madyo adalah konsep di mana kita mengerti batas cukup dan tidak melewati garis berlebihan. Kalau cukup makan satu piring, ya tidak perlu dua piring. Kalau cukup dengan 1 baju dalam sekali pakai, ya tidak perlu 14 baju dikenakan bersama, kalau cukup wudhu dengan ⅔ liter air, ya tidak perlu wudhu sambil berenang.
Hidup dengan prinsip sak madyo sangatlah penting untuk diterapkan setiap manusia, karena dari proses hidup cukup ini akan mendatangkan banyak manfaat. Lebih-lebih konsep hidup sak madyo ini ternyata tidak hanya tersampaikan melalui pesan yang tertuang dalam hadits di muka. Konsep sak madyo juga dapat dijumpai pada proses kerja alam.
Seperti matahari, bulan, musim, siang dan malam, sampai materi kecil seperti atom, semuanya bergerak, bekerja dan berproses dengan konsep sak madyo.
Dr. Fahruddin Faiz pernah menyampaikan bahwa “Alam semesta tidak pernah terburu-buru, tapi semuanya tercapai. Matahari dari timur ke barat tidak pernah terburu-buru, dia sesuai dengan ritmenya.
Musim berganti juga sesuai dengan aturannya. Tidak pernah terburu-buru dan semuanya tercapai. Itu karena dia tau apa tujuannya dan dia tau kapasitas apa yang dibutuhkan untuk mencapai itu”
Redaksi tidak pernah terburu-buru yang digunakan Dr. Faiz senada dan sejalan dengan konsep sak madyo yang ada dalam hadits di atas. Kata tidak terburu-buru dapat dijelaskan sebagai sebuah kondisi “suatu materi” yang tetap bergerak tetapi tidak lantas ingin menyelesaikan tugasnya dengan segera atau kemrungsung. ‘Bukan secepat-cepatnya tetapi setepat-tepatnya.
Konsep tepat memang mengkredo kita untuk tahu apa tujuan dari apa yang kita lakukan. Akan saya lanjutkan pembicaraan ini di belakang, sekarang saya akan coba memberikan beberapa fakta dulu tentang alam bekerja dengan sak madyo, khususnya atom.
Salah satu tanda bahwa atom berperilaku sak madyo bisa kita lihat pada peristiwa ionisasi.
Mula-mula perlu saya sampaikan dulu tentang komponen utama atom. Atom memiliki 3 komponen utama yakni proton, neutron, dan elektron. Proton dan neutron bergabung dan membentuk gugusan inti atom, sementara elektron berkeliling di sekitar inti. Kalau diibaratkan sistem tata surya, inti atom yang tersusun dari proton dan neutron adalah matahari, dan elektron adalah sekumpulan planetnya.
Nah, fenomena ionisasi adalah peristiwa perubahan atom menjadi kation ketika kehilangan elektron atau anion ketika ketambahan elektron. Jumlah elektron atom tidak statis, ia dinamis dan terus bergerak.
Kadang-kadang elektron harus didonorkan dan kadang-kadang harus diterima sumbangan elektron dari atom lain, persis seperti harta yang “dititipkan” Tuhan pada manusia.
Alasan utama kenapa atom memberikan atau menerima elektron adalah untuk mencapai kestabilan, dan kestabilan itu dicapai ketika dia menyerupai atom dari golongan gas mulia. Sekedar info bahwa atom terdiri dari banyak golongan, dan golongan gas mulia adalah kelompok paling stabil.
Golongan-golongan lain perlu memodifikasi dirinya agar bisa menyerupai golongan gas mulia, tujuannya tidak lain agar ikut stabil seperti gas mulia, persis seperti umat Islam perlu meniru laku Rasul agar hidupnya lebih stabil. Sehingga, atom mendonorkan atau menerima elektron tujuannya adalah mencapai kestabilan.
Jangan-jangan situasi seperti atom juga terjadi pada manusia, bahwa kestabilan datang bukan saat memiliki harta tak terbatas, tetapi saat hidup sak madyo dengan tidak lupa melunasi kewajiban bayar zakat dan pajak. Jangan-jangan dengan harta dikurangi beberapa bagian malah membuat lebih stabil seperti tanda alam yang disampaikan lewat atom.
Seperti yang saya sampaikan di tengah tulisan ini, bahwa alam bergerak sak madyo karena ia tahu tujuannya. Atom melepas dan menerima elektron karena ia tahu bahwa dengan cara seperti itu, kondisinya akan lebih stabil.
Matahari pun demikian, ia tidak terburu-buru karena tahu bahwa perjalanan dari timur ke barat harus dilakukan selama siang. Sehingga menjadi penting juga untuk kita sebagai manusia menentukan tujuan tentang kenapa perlu hidup sak madyo.
Kalau dipikir-pikir, apa tujuan kita harus berhemat dalam menggunakan air wudhu? Jawaban yang bisa saya sodorkan kurang lebih ada 4 alasan: limbah, materi, energi, dan biaya.
Pertama, saat kita berwudhu dengan tidak menerapkan konsep sak madyo yang telah diajarkan atom, kita terjebak dalam memproduksi semakin banyak limbah air. Kita bisa cek kemana muara dari air wudhu yang digunakan? Bukankah akan masuk ke saluran pembuangan. Padahal tindakan yang lebih ramah lingkungan dari menggunakan ulang barang yang sudah digunakan adalah meminimalkan jumlah limbah yang dikeluarkan.
Kedua, dengan wudhu secara berlebihan kita juga akan membuang materi. Materi di sini saya artikan seperti benda atau sumber daya. Ketika kita berwudhu dengan hemat, satu toren anggaplah bisa digunakan 50 orang untuk bersuci dan beribadah. Tapi ketika kita membuang sumber daya, jumlah itu bisa berkurang, yang artinya kita akan turut andil dalam menurunkan jumlah orang yang dapat bersuci dan melakukan ibadah. Astagfirullah.
Ketiga adalah soal energi. Apakah dengan memakai air untuk wudhu kita akan buang energi? Jawabannya tentu ya. Salah satu sifat air adalah mengalir dari atas ke bawah, sementara air diambil dari bawah, sehingga pasti kita butuh pompa air untuk mengangkat air dari bawah sumur ke tempat penampungan air sementara.
Kita bisa hitung seberapa banyak energi listrik yang digunakan untuk mengaktifkan mesin pompa air, lebih-lebih listrik yang diproduksi dari energi kotor seperti batu bara. Artinya dalam wudhu yang berlebihan, kita juga turut membuang gas rumah kaca dan membuat bumi kita semakin panas. Ini baru soal energi untuk mengambil air, belum soal energi untuk meluruhkan besi sebagai bahan pembuat pompa air, energi untuk membuat pipa, dan perekat pipa.
Dan keempat adalah biaya. Saya kita ini sudah tidak perlu dibicarakan panjang-panjang. Karena jelas saat berlebihan, artinya kita perlu biaya lebih untuk mencukupi itu.
Sehingga pada akhirnya saya cuma bisa berandai-andai. Jangan-jangan dengan cara berhemat air wudhu, dengan menyedekahkan rezeki, dengan membayar pajak, dan dengan hidup sak madyo adalah jalan agar kita menjadi manusia yang lebih stabil, stabil seperti yang tersampaikan dalam Al-Fajr no 27 itu. Wallahu A’lam. []