Kasus terkait pemimpin Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Zaytun, Panji Gumilang memasuki babak baru. Setelah Panji dilaporkan terkait tindak pidana penistaan agama, Bareskrim Polri mengindikasikan adanya dugaan tindak pidana ujaran kebencian yang dilakukan pimpinan ponpes di Indramayu, Jawa Barat itu.
Dilansir Kompas, pihak Polri membuka peluang untuk menelusuri adanya dugaan tindak pidana lainnya, termasuk keterkaitan Al-Zaytun dengan Negara Islam Indonesia (NII) jika ditemukan keterkaitannya dengan kasus yang tengah didalami.
Kasus Panji berawal dari adanya kontroversi ajaran menyimpang yang diduga dilakukan Panji Gumilang di Ponpes Al-Zaytun. Buntutnya, sejumlah pihak termasuk Ketua Forum Advokat Pembela Pancasila (FAPP) Ihsan Tanjung melaporkan Panji ke Bareskrim atas dugaan penistaan agama sebagaimana Pasal 156A KUHP.
Ihsan berpandangan, ajaran Panji terkait memperbolehkan perempuan menjadi khatib serta pernyataan Panji yang menyangkal bahwa Al-Qur’an bukan firman Tuhan telah menistakan ajaran agama Islam.
Tuduhan penistaan agama ini menarik. Ia mampu men-trigger massa dan menekan Polri untuk segera menindaknya. Barangkali, jika tuduhan awal yang dilayangkan adalah soal keterkaitannya dengan NII, exposure-nya tidak sebesar ini. Namun, karena Panji Gumilang diduga menciderai identitas sakral salah satu agama di Indonesia, maka namanya langsung di sorot sedemikian rupa.
UU No.1/PNPS/1965: Benturan Hak Asasi dan Kepentingan Arus Utama
Sejak dimulainya era hak asasi manusia modern, kebebasan beragama atau berkeyakinan adalah sebuah hak fundamental. Kebebasan ini merupakan satu dari hak-hak fundamental yang paling penting (non-derogable rights).
Fungsi mendasar negara adalah menghormati dan menjamin hak kebebasan beragama atau berkeyakinan bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan yang tunduk pada wilayah
yurisdiksinya. Negara tidak boleh mengurangi hak kebebasan beragama atau berkeyakinan, bahkan dalam keadaan darurat publik sekalipun.
Di saat yang sama, agama memiliki peran penting dalam kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia dan kehidupan berbangsa. Sebegitu kuatnya, agama bahkan diberi imunitas penuh lewat UU No.1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama yang disahkan Presiden Soekarno.
Makin ke sini, banyak pihak menilai bahwa UU No.1/PNPS/1965 justru bertentangan dengan semangat kebebasan beragama dan berkeyakinan. UU No.1/PNPS/1965 dipandang sebagai landasan legal yang diskriminatif untuk mengeliminasi segala kepercayaan yang menyimpang dari ideologi mainstream.
Dalam praktiknya, pasal ini efektif digunakan dalam konteks perebutan pengaruh antar-kelompok yang berbeda pemahaman. Kelompok mayoritas seringkali “tak rela” bila dominasinya digerogoti oleh apa yang mereka sebut sekte sempalan atau aliran sesat.
Buktinya, dalam beberapa dekade terakhir, UU No.1/PNPS/1965 berhasil mengkriminalisasi sejumlah penganut kepercayaan lokal, sekte-sekte “aneh”, dan minoritas-minoritas baru yang kerap dilabeli “sesat” atau “menodai agama”.
Peraturan tersebut rancu, apakah sunguh-sungguh melindungi kesucian tiap-tiap agama dan menjaga ketertiban, atau justru memberi justifikasi kebencian dan permusuhan terhadap kelompok lain yang dianggap menyimpang.
Jika betul-betul hendak melindungi pemeluk agama, undang-undang yang hadir semestinya adalah yang mencegah agitasi permusuhan terhadap mereka, bukan pemberangusan perbedaan yang sebagian besar berkisar pada wilayah tafsir agama yang masih bisa dikaji di ruang dialog.
Kasus Panji Gumilang, Politik Penistaan atau Menjaga Kemurnian Ajaran?
Seorang pernah berkata, “persatuan ada karena keberagaman, bukan karena keseragaman”. Semangat ini tampak kontras dengan apa yang ditampilkan UU No.1/PNPS/1965. Dalam salah satu pasalnya disebutkan bahwa warga negara dilarang menafsirkan paham agama yg dianut di Indonesia sehingga “menyimpang”.
“Menyimpang” dalam pengertian ini berarti menyelisihi ideologi mainstream yang dianut di Indonesia. Artinya, negara sudah memberi koridor soal mana paham yang boleh dipercaya, mana yang tidak. Sangat bebas bukan?
Baru-baru ini, pasal tersebut kembali terdengar usai kontroversi Panji Gumilang dan Pondok Pesantren al-Zaytun naik ke permukaan. Hingga saat ini, Panji Gumilang masih diperiksa Bareskrim atas tuduhan pasal penistaan agama sebagaimana Pasal 156 A Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Salah satu poin penistaan yang dituduhkan adalah pernyataannya yang beranggapan bahwa Al-Qur’an adalah karangan Nabi Muhammad, kemudian mencampur saf salat antara laki laki dan perempuan.
Seperti yang telah disinggung, UU No.1/PNPS/1965 bersifat ambivalen. UU Penodaan Agama banyak dianggap sebagai penjaga “kemurnian” sebuah paham keagamaan. Namun, ia juga efektif untuk “mengarusutamakan” aliran keagamaan.
Dalam kasus Panji Gumilang, perlu rasanya mengidentifikasi motif di balik pelaporannya atas nama penodaan agama. Memang susah mengukur, apakah tuduhan itu berbasis sentimen atau berdasar ketaatan terhadap agama.
Tuduhan berbasis kebencian rawan melahirkan diskriminasi dan persekusi. Jika ia mengacu pada nilai-nilai agama yang diyakini, apakah bijak jika buru-buru menyesatkan?
Jika salat bercampur ala Al-Zaytun mengacu pada kitab Rahmah al-Ummah fī Ikhtilāf al-A’immah yang masih dianggap sah, apakah masih dianggap sesat? Atau hanya karena ia menyelisihi paham mainstream saja lalu ia dianggap sesat?
Menjembatani Dua Arus ala Negara
Hingga tulisan ini ditulis, pasal penodaan agama masih menjadi satu-satunya instrumen hukum yang kuat dalam mempidanakan segala bentuk tindakan penyimpangan. Pasal ini terbukti efektif menghabisi karir politik Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok melalui people power 212 tahun 2016. Ahok dinyatakan terbukti menista agama Islam oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan dituntut dua tahun penjara. Sejak itu, kata penistaan agama menjadi lumrah terdengar di media-media.
Mempertimbangkan konteks UU No.1/PNPS/1965, negara sebenarnya sedang berada di persimpangan. Negara mempunyai tanggung jawab untuk menghormati, menjamin, dan memfasilitasi perbedaan pendapat. Di sisi lain, negara juga menjadi bagian dari politik agama resmi di awal masa kemerdekaan. Konsekuensinya, negara menjadi “berpihak” pada agama yang diakui saja.
Pada akhirnya, negara membuat sintesa dengan mengatakan bahwa negara berhak membatasi hak beragama satu orang demi menjaga hak beragama orang lain. Hal itu tertuang pada Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi,
“Dalam menjalankan hak dan kewajibannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Di satu sisi, mengabaikan suara agama tampak mustahil dilakukan. Agama menjadi identitas individu, identitas etnis, dan identitas politik sehingga menjadi bagian integral dari Bangsa Indonesia. Karena itu, yang bisa diupayakan adalah mengasah kebijaksanaan agar semangat yang muncul dalam penggunaan UU No.1/PNPS/1965 minimal tidak berangkat dari sentimen dan kebencian.
Di sisi lain, Panji Gumilang juga perlu terbuka kepada publik. Dalam konteks keberagaman, ruang dialog sangat penting dihadirkan di publik. Ruang ini berfungsi mengkonfirmasi segala pra-duga sekaligus menjadi ruang bagi Panji Gumilang untuk memberi penjelasan atas semua sudut pandang keagamaannya.
Jika bisa merangkul, kenapa harus memukul?