Di media sosial, perdebatan soal menikah tak pernah usai. Terlebih ketika kabar perselingkuhan artis mengemuka. Orang jadi bertanya-tanya, semengerikan itukah berumah tangga? Beberapa orang bahkan merasa putus asa. Jika menikah hanya membawa luka, buat apa dilakukan?
Saya pernah berada di posisi dilematis serupa. Beberapa tahun yang lalu, saya pernah mendapat pengalaman meragukan itu.
“Ini kapan mau menikah? Adikmu sudah punya anak dua, lho?!” ujar ibunya Laila, alias neneknya dua anak kecil yang bertamu di rumah saya di hari raya lebaran. Ibunya Laila usianya kurang lebih sama usia ibu saya.
Sesekali ia ikut menenangkan si kecil yang rewel, seolah tidak mau berlama-lama bertamu. Sementara Laila, adik angkatan saya di SD, tampak berusaha menghibur anaknya yang tengah mengeluarkan gerakan akrobatik.
“Doanya, Bu,” jawab saya.
Saya haqqul yaqin pertanyaan itu memang cuma basa-basi. Tapi jujur saja rasanya begitu dongkol.
“Ya tidak usah pilih-pilih. Yang penting cocok, langsung menikah saja,” katanya menyambut permintaan doa saya.
Hmmm… Tidak perlu memilih, yang penting cocok? Wah, lha justru karena belum ada yang cocok sehingga belum bisa memilih?
“Anak sekarang pada sibuk memilih. Padahal di zaman dulu orang dijodohkan nyatanya cocok-cocok saja,” sambungnya.
Saya sengaja hanya nyengir, meski perasaan waktu itu sangat panas. Ingin rasanya saya menjawabnya dengan berbagai argumen yang fafifu wasweswos. Tentang pernikahan yang butuh kematangan (maturity) secara fisik, psikis, dan tentu saja fulus. Tentang keinginan untuk mengejar banyak hal. Tentang mengerjakan hal-hal sendirian. Semua hanya berputar di kepala.
Setelah itu, saya merenung. Sekian lama saya menyiapkan mental untuk bisa melalui pertanyaan kapan kawin di hari raya, ternyata tetap saja bikin kesal. Saat itu saya tengah dekat dengan seseorang (yang alhamdulillah sekarang menjadi istri saya). Namun waktu itu belum sekalipun saya menceritakan hubungan kepada orang tua.
Saya terbebani dengan pikiran sebelum menikah harus bisa mature secara finansial. Apalagi ketika menyimak akun-akun financial planner. Kita harus punya tahapan-tahapan agar hidup layak. Syukur-syukur bisa menyediakan rumah untuk ditinggali. Keinginan yang tentu saja terbentur dengan kondisi upah minimum yang merambat, sementara harga-harga properti meroketnya na’udzubillah.
Njuk bagaimana caranya agar matang?
Bagi anak kelas ekonomi menengah ke bawah, mengikuti nasihat para penganjur financial planning adalah perkara sulit. Bayangkan saja. Belum apa-apa mereka sudah mengatakan seseorang dianggap siap menikah jika ada tabungan ratusan juta. Harus mulai memikirkan cicilan rumah. Harus mulai bisa berpikir punya mobil sebagai sebuah kebutuhan. Harus mulai berinvestasi di sana sini.
Walah pak dhe… Jangankan investasi, untuk bayar kos saja harus ngamen sana sini.
Di saat saya gagal mencapai kematangan ala-ala pemuda urban di usia nyaris kepala tiga itu, saya berupaya mencari pembenaran untuk menikah. Mulai alasan yang paling tidak saya sukai hingga opini-opini di lingkungan masyarakat, saya coba dengarkan.
Seorang kiai memberi petuah bahwa menikah itu soal melengkapi separuh keimanan. Soal rejeki, tak perlu khawatir. Allah selalu akan membantu hamba-Nya yang menjalani sesuatu atas dasar iman.
Seorang ibu penjual sayur menyebut menikah itu untuk melengkapi status orang tua dari ibu bapak menjadi kakek nenek. Bagi orang tua, itu adalah sesuatu yang sangat berharga.
Seorang yang menikah di usia 17 tahun dan anaknya sudah masuk SD menganggap pernikahan sebagai jalan mendewasakan diri.
Ada pula nasihat yang datang dari teman beranak tiga bahwa menikah harus dengan orang yang tepat. Tak perlu terburu-buru.
“Jangan seperti saya, ketika saya sedang butuh suami, dia malah minggat entah ke mana.” Sedih!
Saya juga meminta pendapat orang tua, mengapa harus menikah? Katanya, sewajarnya manusia itu menikah. Saya hadir karena pernikahan. Saya bisa memiliki orang tua ya karena ada dua insan yang menikah. Saya pun bertanya lagi, apa kriteria menantu idaman mereka? Dengan sangat diplomatis, orang tua menjawab yang penting seiman dan mau menerima kondisi keluarga.
Sejak saat itu, pembahasan pernikahan mulai hadir di percakapan saya dengan seseorang yang sekarang menjadi istri saya. Tentu saja, ada banyak dinamika dalam hubungan ketika pernikahan mulai dibicarakan. Ada resistensi yang diakibatkan rasa takut dan trauma pada pengalaman masing-masing sebelumnya.
Namun saya mencoba melawan keraguan itu dengan meyakinkan diri bahwa saya sudah cukup matang untuk menikah. Setelah diri sendiri yakin, saya menularkan keyakinan itu pada pasangan.
Percakapan pun lebih terarah. Yang awalnya mengalir tanpa tujuan, mulai bisa membayangkan mau dibawa kemana hubungan ini. Yang awalnya bodo amat dengan opini keluarga, mulai menegosiasikan hal-hal yang jadi potensi kegagalan. Terlebih, saya orang Jawa dan calon istri adalah orang Minang. Di kampung, orang Jawa dan Minang ini kerap memiliki garis perbedaan yang luar biasa.
Karena keyakinan, Jawa Minang tidak lagi menjadi soal di antara kami berdua. Selanjutnya, kami memiliki tugas meyakinkan keluarga masing-masing bahwa sosok yang kami ajukan adalah sosok terbaik bagi kami. Selanjutnya, kami perlu mendapatkan tiket untuk melanjutkan hubungan di tahap berikutnya. Tiket itu bernama restu.
Pada akhirnya, menikah tidak punya alasan spesifik. Ia tersusun dari berbagai peristiwa kesejarahan dua insan yang saling menerima satu sama lain. Ia hadir karena munculnya keyakinan menatap masa depan. Keyakinan inilah modal seseorang untuk menjadi matang sebagai manusia.
Mengukur kematangan itu sulit. Sebab kematangan adalah proses seumur hidup.