Setiap kota, dengan perpaduan budaya dan agama yang unik, menghadapi tantangan khusus dan menerapkan strategi yang beragam untuk memupuk saling percaya, dialog, dan pembelajaran.
Hal itulah yang mendorong Pusat Dialog Internasional KAICIID, menginisiasi Dialog Antarkota se-Asia Tenggara (Dialogue Cities Southeast Asia) untuk membahas dialog antaragama dan antarbudaya di kalangan masyarakat urban.
Untuk diketahui, KAICIID merupakan sebuah lembaga antarnegara (inter-governmental institution) yang berpusat di Lisbon, Portugal. Lembaga ini didirikan oleh pemerintah Austria, Arab Saudi, dan Spanyol, serta Tahta Suci Vatikan sebagai Founding Observer.
Adapun acara tersebut berlangsung di Thailand dari tanggal 28-31 Mei 2023. Kegiatan yang berlokasi di Hotel Sheraton Bangkok tersebut juga mendapat dukungan dari Thailand’s Institute of Buddhist Management for Happiness and Peace yang berpusat di Bangkok.
Tujuan pertemuan di Bangkok kali ini tak lain untuk mempromosikan pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana kota-kota di Asia Tenggara memanfaatkan potensi dialog untuk mencapai harmoni dan kerjasama, menjembatani perbedaan budaya, etnis, dan agama.
Hadir dalam forum tersebut pimpinan National Human Rights Commissioner Thailand; Center for Peace and Conflict, Studies Chulalangkon University, Faculty of Political Science, Chulalongkorn University; dan KAICIID Deputy Secretary General untuk memberikan pandangannya tentang urgensi dialog antarkota.
Sekitar 60 praktisi dialog, ahli kajian interdisiplin, pengambil kebijakan, pemimpin dari komunitas agama, serta tokoh-tokoh pemuda dan perempuan dari lima kota di Asia Tenggara: Yogyakarta di Indonesia, Kuala Lumpur di Malaysia, Davao di Filipina, Singapura, dan Bangkok di Thailand. Perwakilan dari masing-masing negara tersebut berkumpul untuk menciptakan ruang dialog pertukaran pengetahuan dan praktik dalam dialog antaragama (interreligious dialogue) dan dialog antarbudaya (intercultural dialogue).
Para partisipan konferensi menyoroti peran penting IRD dan ICD di kota masing-masing, serta berusaha semakin kuat mendorong perlunya komitmen publik yang lebih besar terhadap dialog. Kegiatan ini juga menjadi ruang pertemuan regional tahunan bagi para pemimpin, praktisi, dan ahli untuk mengeksplorasi peluang dalam meningkatkan budaya dialog di kota-kota masing-masing.
Dalam siaran persnya, Rev. Mike Waltner, Manajer Program Senior untuk Program Wilayah Asia KAICIID menjelaskan, “Kami melihat Konferensi Dialogue Cities Southeast Asia sebagai platform kritis untuk meningkatkan pemahaman kami tentang bagaimana kota-kota berfungsi sebagai inkubator dan laboratorium di mana pembangunan komunitas antaragama dan antarbudaya mempengaruhi jutaan orang di wilayah ASEAN.”
Selain itu dia juga menegaskan, “Setiap kota memiliki struktur dan metode unik untuk mempromosikan harmoni, kesalingpengertian, dan kerjasama. Tujuan kami adalah memfasilitasi dialog regional tentang pendekatan-pendekatan yang paling efektif untuk saling berbagi tentang pengetahuan dan praktik dialog.”
Dalam forum ini peserta menjadi bagian dari kelompok kerja yang berfokus pada tema-tema dialog seperti peran dialog dalam kebijakan publik, perempuan dan dialog antaragama, riset untuk dialog, serta peran pemuda dalam dialog.
Tema-tema tersebut menekankan pentingnya dialog terbuka dan saling menghormati, partisipasi aktif dari semua sektor masyarakat, dan langkah-langkah konkret menuju dialog dan kehidupan yang damai. Para peserta juga menyoroti potensi kota-kota di Asia Tenggara sebagai pemimpin dunia dalam mempromosikan dialog antariman dan antarbudaya serta pentingnya kerjasama regional.
Sebagai respon terhadap konferensi pertama Dialog Antarkota se-Asia Tenggara di Bangkok, belasan praktisi dan akademisi dari Yogyakarta hadir dan berpartisipasi aktif. Dari unsur praktisi dialog hadir antara lain Nur Solikhin (Gusdurian Yogyakarta), Ahmad Shalahuddin Mansur (Young Interfaith Peacemaker Community/ YIPC), Pdt. Kristi (Srikandi Lintas Iman/ SRILI), dan Yulianti (Vihara Budha Karangdjati). Termasuk di dalam praktisi tersebut adalah unsur perempuan dan pemuda.
Sedangkan dari akademisi turut hadir Iqbal Ahnaf (Center for Religious and Cross-cultural Studies, UGM), Wiwin Siti Aminah Rohmawati (UNU Yogyakarta), Suhadi Cholil (Pusat Studi Agama dan Isu-Isu Kontemporer, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga), Endah Setyowati (Pusat Studi dan Pengembangan Perdamaian, UKDW), dan Dicky Sofjan (Indonesian Consortium for Religious Studies/ ICRS-Yogyakarta).
Empat orang dari pemerintah turut hadir, yaitu Vano Aprilio (Biro Mental Spiritual Provinsi Setda Yogyakarta), Nur Ahmad Ghojali (Kementerian Agama Provinsi Yogyakarta), Gregorius Sri Nurhartanto (Forum Kerukunan Umat Beragama/ FKUB Yogyakarta), dan I Gede Suwardana (Penyuluh Agama Hindu Kemenag Bantul).
Setelah berpartisipasi aktif di dalam konferensi di Bangkok, para peserta dari Yogyakarta rencananya menjadi bagian dari kerjasama lima kota di Asia Tenggara yang menjadi bagian dari konferensi ini.