Kiranya banyak yang sepakat bahwa Jawa hari ini mengalami krisis ekologi. Pohon-pohon ditebang, lahan persawahan dijadikan pabrik dan perumahan. Hutan tersisa sebagai fungsi penunjang yang marjinal: resapan air dan pemasok udara segar. Bertujuan untuk menghindari banjir, ketersediaan taman kota, dan sedikit pepohonan rindang di kanan kiri jalan dengan cericit burung yang menentramkan hati—sebagai cerminan kota peduli lingkungan.
Data Badan Pusat Statistik dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Indonesia, mulai 2015 hingga 2020 luas hutan kita berkurang 2,1 juta hektar. Ini tentu masih banyak yang belum terdata. Luas hutan di Indonesia 95,6 juta hektar, sedangkan di Jawa 12,9 juta hektar saja.
Alam, termasuk juga lingkungan, menurut para filsuf Yunani klasik seperti Aristoteles dan Plato adalah produk realitas non-material, ruh, dan spiritual. Alam adalah bagian tak terpisah dari jiwa yang menurut mereka merupakan esensi fundamental yang mendasari dan mengawali kosmos atau alam semesta. Jiwa itulah prinsip dasar segala kehidupan.
Bangunan kosmos yang dipercaya tersusun dari jiwa itu, diperkuat lagi dengan pandangan teologis bahwa alam semesta ini sebagai sesuatu yang dihadirkan dari yang non-fisik. Bahwa, dasar atau asal usul alam semesta ini disebabkan bukan oleh sesuatu yang fisik, melainkan oleh substansi metafisik. Para filsuf Islam seperti Al-Kindi, Ibnu Rusyd, dan Ibnu Sina yang banyak dipengaruhi pemikiran Aristoteles dan Plato ikut membenarkan bahwa keberadaan alam disebabkan oleh realitas metafisik. Alam semesta tidak bersifat kekal. Allah adalah penggerak pertama segala sesuatu di dalam alam.
Krisis ekologi hari ini terwujud dari ketidakpedulian manusia pada kualitas nilai-nilai spiritual, etika, dan estetika. Ernest Haeckel, salah seorang pemikir pertama yang memperkenalkan ekologi, menyebut gejala tersebut sebagai fasisme ekologis: manusia yang hanya mencari nilai ekonomis-material saja untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Pandangan tersebut berdampak pada alam yang dianggapnya sebagai objek material atau realitas material saja. Pandangan ini juga menganggap realitas sejati atau kenyataan berasal dari materi. Dampaknya, manusia kini bersikap mekanistis dan pragmatis.
Kebanyakan manusia hari ini, disadari atau tidak, telah menggunakan prinsip positivisme logis: memisahkan pengetahuan dari nilai. Logika lebih digunakan ketimbang etika dan estetika. Fisik lebih penting dari non-fisik, spiritual, dan ruh.
Disiplin pengetahuan seperti yang saya sebutkan itu menjadikan manusia sekuat tenaga berusaha menyejahterakan dirinya di satu sisi, tetapi di sisi lain melakukan tindakan eksploitatif atas alam dan menjadikan alam sebagai objek. Manusia menganggap alam sebagai sesuatu yang hanya diam lalu mereduksi keutuhan alam sebagai bagian dari realitas linier manusia dan jagat raya.
Mengandaikan Ekologi Spiritual Jawa-Islam
Islam sebagai agama mayoritas dan secara otomatis membentuk nilai-nilai kebudayaan Jawa telah mengajarkan manusia untuk hidup berdampingan dengan alam. Namun, kebudayaan Jawa yang kita kenal hari ini sebenarnya adalah konstruksi kebudayaan kolonialisme beserta seluruh aspek pengetahuan, sistem, dan perubahan-perubahannya.
Sejarawan University of Oxford, Peter Carey, Jawa dan Islam (Jawa-Islam) sebagai identitas yang menyatu pertama kali tersebar luas secara politis sejak Pangeran Diponegoro diangkat sebagai Sultan Abdul Hamid Erucokro (Ratu Adil) pada awal perang Jawa di Gua Sriti (Kulon Progo) dan berlanjut Perang Jawa (1825-1830). Sedangkan secara kultural, Jawa Islam sudah terjalin sejak dakwah Walisanga pada abad 14-16.
Penyebaran tersebut kemudian terputus ketika Perang Jawa usai, dan sang Pangeran diasingkan Belanda. Di masa-masa ini Islam di Jawa secara ajaran dan tradisi terkoyak oleh aturan-aturan pemerintah kolonial. Sehingga yang bergerak di masa itu hanya sisa-sisa murid sang Pangeran yang secara diam-diam membawa misi harmonisasi Islam beserta nilai-nilai ekologis di dalamnya. Tak boleh lupa bahwa kedatangan Belanda ke Jawa sesungguhnya adalah untuk menguasai alam, manusianya, dan kebudayaannya.
Di tengah bayang-bayang kolonialisme itulah Jawa-Islam kemudian tidak bisa secara padu dipertahankan. Keadaan tersebut, perlu diingat, memiliki pengaruh cukup besar dalam pemahaman orang-orang Jawa tentang pendefinisiannya terhadap Tuhan, alam, dan manusia. Superioritas yang bersifat menindas ala kolonialisme telah membentuk kebudayaan baru dan menyisakan riuh rendah lelaku kebudayaan hari ini yang tarik-ulur. Masyarakat Jawa hari ini menjadi sangat susah untuk mengetahui identitas lama mereka—karena terkoyak Politik Etis di masa lalu, dan paradigma mekanis di masa kini—dan tidak dapat ditautkan secara koheren.
Di sisi lain, masyarakat Jawa Islam hari ini masih menjumpai tradisi dan produk-produk kebudayaan di masa lalu. Sebut saja sedekah bumi, sedekah laut, ritual banyu panguripan, kenduri, selametan dan lainnya, dan seterusnya, yang masih erat kaitan dengan alam.
Masyarakat Jawa-Islam menjadikan alam sebagai sarana untuk menghadap dan mengantarkan mereka kepada Sang Pencipta. Bumi dipandang sebagai pengingat bahwa orientasi hidup manusia tidak boleh hanya sekadar kesegaran dan kebugaran ragawi, tetapi juga kepekaan rohani. Kepekaan rohani hanya muncul ketika manusia menjauhi sikap adigang, adigung, dan adiguna (sok kuasa) atas alam. Inilah sikap reflektif sebagai bagian tazkiyatun nafs.
Bila kita melihat jauh sebelum Politik Etis, masyarakat Jawa-Islam pernah memiliki “kontrak dengan alam”. Bermula dari kegelisahan yang dialami oleh Danang Sutawijaya atau Panembahan Senapati tentang eksistensi diri dan amanat politik untuk menjadi sultan di kerajaan Mataram Islam yang diwariskan dari ayahnya, Ki Ageng Pamanahan atau Ki Ageng Mataram.
Kegelisahan itu terjawab ketika Ki Juru Martani menasihatinya untuk berjalan ke Laut Selatan sedangkan beliau ke gunung Merapi. Panembahan Senapati di Laut Selatan bertemu dengan Ratu Kidul dan Sunan Kalijaga. M. Jadul Maula memaknai perjumpaan dengan Ratu Kidul dan perginya Ki Juru Martani ke gunung Merapi secara personifikatif. Ia menyebutnya sebagai perkawinan (perjanjian suci) manusia—sebagai khalifah fil ard—dengan alam. Sedangkan perjumpaan dengan Sunan Kalijaga adalah pemahaman syariat menuju tarikat, hakikat, dan makrifat kepada Allah.
Adagium Jawa telah mengingatkan manusia untuk tidak rumangsa bisa, nanging ora bisa rumangsa: sifat merasa bisa, merasa tahu, dan merasa mampu tetapi tindakannya tidak bertenggang rasa. Tidak mau mawas diri, alias sok kuat. Bagi budaya Jawa-Islam, aspek cipta, rasa, dan karsa sangat dianggap penting. Faktor rasio seringkali dikalahkan oleh pe-rasa-an. Itulah mengapa orang Jawa lebih sering menggunakan istilah “saya rasa” daripada “saya pikir” ketika menanggapi pemikiran atau perbuatan tertentu. Dengan begitulah ekologi spiritual ala Jawa-Islam yang dulu pernah ada, masih mungkin kita andaikan hari ini. [NH]