Nama surah menjadi penanda bagi himpunan beberapa ayat, sehingga dalam mengutip sebuah ayat tidak terjadi kesalahpahaman. Seorang penulis dalam mengutip Al-Qur’an pasti menyebutkan nama surah dan ayatnya, agar pembacanya dapat melihat teks asli dari ayat tersebut. Seperti surah Al-‘Adiyat, yang namanya diambil dari ayat pertama surah tersebut.
Kemukjizatan Nama Surah
Setiap surah pasti memiliki nama, dan setiap nama merupakan representasi dari kandungannya. Hasil penelitian para ulama menyatakan bahwa ada beberapa surah yang memiliki nama yang berlipat. Penelitian yang mereka lakukan tentunya berbasis pada riwayat dan ijtihad ulama generasi sebelumnya.
As-Suyuthi menyampaikan bahwa surah al-Fatihah memiliki 25 nama. Lebih lanjut, as-Suyuthi berargumen bahwa ketika sesuatu memiliki nama yang berbilang itu menunjukkan kemuliaannya (ziyādah al-asmā’ tadullu ‘alā syarafi-l-musammā). (Al-Itqān, Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 83) Mengingat fakta bahwa ada beberapa surah yang memiliki nama lebih dari satu, menarik rasanya untuk mencari tahu alasan serta kemukjizatan di balik nama-nama tersebut.
Sebelum membahas lebih lanjut, perlu diketahui bahwa para ulama mengategorikan nama-nama yang dimiliki sebuah surah. Pertama, tauqifi, yakni ketetapan yang bersumber dari Nabi Saw. Kedua, ijthadi, yakni buah pikir dari para ulama. Pendapat ini dikemukakan oleh az-Zarkasyi secara implisit atau tersirat. (Al-Burhān, Dar al-Hadis, 190)
Kajian mukjizat nama surah berupaya untuk memperkaya khazanah kemukjizatan Al-Qur’an. Karena kajian tentang kemukjizatan Al-Qur’an biasanya masih seputar aspek linguistik maupun kandungannya. Kajian atas kemukjizatan dan rahasia nama surah tergolong minim. Setiap mukjizat tentu memiliki hikmah di baliknya. Ketika nama surah membuktikan kemukjizatannya, pasti ada hikmah dan pesan yang dikandungnya.
Pesan Tersirat Surah Al-‘Adiyat
Untuk menelusuri rahasia dan kemukjizatan sebuah nama dari surah, di antara langkahnya adalah menentukan satu orientasi yang berhubungan dengan nama tersebut. Misalnya, surah ke-100 dalam Al-Qur’an hanya memiliki satu nama, yaitu al-‘Adiyat saja yang berarti kuda perang. Kata al-‘Adiyat disebutkan dalam ayat pertama surah ini,
وَالْعٰدِيٰتِ ضَبْحًاۙ (1) فَالْمُوْرِيٰتِ قَدْحًاۙ (2) فَالْمُغِيْرٰتِ صُبْحًاۙ (3) فَاَثَرْنَ بِهٖ نَقْعًاۙ (4) فَوَسَطْنَ بِهٖ جَمْعًاۙ (5)
(1) Demi kuda-kuda perang yang berlari kencang terengah-engah. (2) yang memercikkan bunga api (dengan entakan kakinya). (3) Yang menyerang (dengan tiba-tiba) pada waktu pagi. (4) Sehingga menerbangkan debu. (5) Lalu menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh,
Tampak ayat pertama surah ini mendeskripsikan seekor kuda yang dipacu hingga melampaui batas kecepatan berlarinya ketika perang. Al-Baidhawi dalam tafsirnya, Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil (III/575), menafsirkannya sebagai sekelompok kuda perang yang berlari hingga terdengar nafasnya. Sudah maklum bahwa di antara kemampuan kuda adalah berlari. Lantas mengapa kata al-‘Adiyat ini disifati hingga terengah-engah?
Ali Radhi Abu Zuraiq dalam kitabnya, Mu’jizah Asmā’ as-Suwar Al-Qur’aniyyah (h. 759), berpendapat bahwa surah ini berorientasi pada segala sesuatu yang menyibukkan manusia dari Tuhan. Lebih spesifik, kecintaan manusia terhadap harta dunia. Karena kuda perang di ayat ini disifati hingga melampaui kemampuannya.
Artinya, ketika seorang manusia menghendaki sesuatu, ia akan terus-menerus mengejarnya. Tak peduli berapa batas kemampuan yang dimilikinya. Dalam kondisi ini, manusia biasanya lupa bahwa ada Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga segala kewajiban terhadap Tuhannya ia lupakan.
Setelah kita menemukan orientasi sebuah surah yang kita dapati dari namanya, langkah selanjutnya adalah mengkaji dan menganalisa satu persatu ayat yang termuat dalam surah tersebut. Jika surah Al-‘Adiyat ayat 1-5 hanya dipahami secara literal, maka akan sulit menangkap pesan yang ingin disampaikan oleh Allah melalui ayat-ayat tersebut.
Akan tetapi, dengan orientasi tadi, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dalam lima ayat tersebut adalah harta, kehormatan, dan kejayaan. Dan memang itulah hal-hal yang paling nikmat. Tapi ada hal lain yang lebih penting dan utama. (Mu’jizah Asma‘ as-Suwar Al-Qur’aniyyah, Maktabah Wahbah, 760)
Selanjutnya, ayat 6-8 yang berbunyi:
اِنَّ الْاِنْسَانَ لِرَبِّهٖ لَكَنُوْدٌ ۚ (6) وَاِنَّهٗ عَلٰى ذٰلِكَ لَشَهِيْدٌۚ (7) وَاِنَّهٗ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيْدٌ ۗ (8)
(6) Sesungguhnya manusia itu sangatlah ingkar kepada Tuhannya. (7) Sesungguhnya dia benar-benar menjadi saksi atas hal itu (keingkarannya). (8) Sesungguhnya cintanya pada harta benar-benar berlebihan.
Ayat 6-8 tersebut menerangkan tentang masalah yang dialami oleh kebanyakan manusia. Ayat keenam menyebutkan bahwa manusia sangat ingkar kepada Tuhannya. Kebanyakan ulama menafsirkan kata kanūd dengan kafūr, seperti al-Baidhawi dan an-Nasafi.
Akan tetapi, kata kanūd di sini tidak selalu berarti ingkar dalam hal keyakinan, melainkan juga bisa bermakna lalai terhadap Tuhannya. Mengingat ada sementara muslim yang lalai akan kewajibannya, tapi masih meyakini bahwa Allah Swt. itu Tuhannya dan Nabi Muhammad Saw. itu utusan Allah Swt.
Mengapa manusia lalai akan kewajibannya terhadap Tuhan? Dua ayat selanjutnya menerangkan bahwa manusia bisa lalai karena hatinya sudah dipenuhi dengan cinta dunia: harta, tahta, dan nafsu. Manusia pun tahu bahwa dia memiliki banyak ambisi yang membuatnya cinta dunia. Yang membedakan adalah, ada yang menyadari kekeliruannya, lalu ia kembali kepada cinta Tuhannya; ada yang menyadari kekeliruannya, namun belum mau berbenah diri; dan ada yang belum menyadari kekeliruannya.
Selanjutnya, ayat 9-11 yang berbunyi:
۞ اَفَلَا يَعْلَمُ اِذَا بُعْثِرَ مَا فِى الْقُبُوْرِۙ (9) وَحُصِّلَ مَا فِى الصُّدُوْرِۙ (10) اِنَّ رَبَّهُمْ بِهِمْ يَوْمَىِٕذٍ لَّخَبِيْرٌ (11)
(9) Maka, tidakkah dia mengetahui (apa yang akan dialaminya) apabila dikeluarkan apa yang ada di dalam kubur? (10) Dan ditampakkan apa yang tersimpan di dalam dada? (11) Sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu benar-benar Maha Teliti terhadap (keadaan) mereka.
Berdasarkan tiga ayat di atas, Allah memberi peringatan kepada para hamba-Nya yang masih disibukkan dunia. Kelak di hari akhir, setiap orang akan dibangkitkan dan ditampakkan isi hatinya. Seseorang yang hatinya diliputi cinta dunia belum tentu selamat. Karena kasih sayang-Nya, Allah pun mewanti-wanti sejak dini agar hamba-Nya selamat. Karena keselamatan di akhirat hanya untuk orang-orang yang hatinya bersih dan dipenuhi cinta kepada Tuhan dan Nabi-Nya.
Berangkat dari pemaparan di atas, penamaan sebuah surah bukan sekedar formalitas. Lebih jauh, nama sebuah surah menguatkan bahwa Al-Qur’an memang mukjizat. Terbukti, melalui nama sebuah surah, Al-Qur’an menjawab segala tuduhan mengada-ada tentangnya. Sekaligus memberi sinyal, bahwa Al-Qur’an dengan segala aspeknya memuat pesan dan hikmah.
Ketika kita mampu mengetahui rahasia di balik nama sebuah surah, kita akan mendapatkan pesan tersembunyi yang patut kita jadikan kemudi dalam menjalani kehidupan. Nama Al-‘Adiyat memberi hikmah agar kita tidak lalai terhadap Tuhan karena disibukkan dengan urusan dunia, yang kemudian membuat hati kita dipenuhi oleh cinta terhadap dunia. Itulah yang membuat kita lupa bahwa ada kewajiban yang harus ditunaikan, yakni kewajiban untuk senantiasa menghamba kepada Tuhan.
Surah Al-‘Adiyat juga mengajak kita untuk menjalani hidup dengan penuh semangat, dan agar tidak lupa untuk senantiasa menyiapkan bekal akhirat. Karena masih ada kehidupan setelah dunia ini, kehidupan yang abadi, ketika kita mempertanggungjawabkan segala hal yang telah kita lakukan di dunia. Semoga kita senantiasa mendapatkan taufik dan hidayah serta ampunanNya. Wallahu a’lam. [NH]