Dalam iklim demokrasi, kontestasi gagasan adalah kewajiban, bukan lagi keniscayaan. Jika boleh mengutip Rocky Gerung, Indonesia lahir dari para pendiri bangsa yang gemar berdebat. Dalam banyak kesempatan, Rocky mengingatkan bahwa kualitas bangsa dilihat dari seberapa jauh intensitas warganya dalam beradu pendapat.
Wejangan Rocky tersebut memang sejalan dengan prinsip demokrasi. Berbeda dengan sistem monarki, misalnya, demokrasi menjadi semacam ruang “seminar” yang di dalamnya berisi banyak narasumber. Mereka saling melempar ide, saling merespon, saling membantah, dan saling menambahi. Mereka tidak khawatir akan tensi, karena selain kebebasan mereka dilindungi, debat yang terjadi merupakan perang dalam ranah gagasan semata.
Dalam konteks Indonesia, kebebasan para narasumber itu dilindungi oleh UU Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. UU itu mengaktifkan proteksi bagi seluruh warga Indonesia untuk mengekspresikan segala pemikirannya.
Namun agaknya kita perlu menyadari bahwa dalam konteks negara demokrasi, keamanan dan kenyamanan bernegara adalah satu hal lain yang juga perlu diwujudkan. Kebebasan memang bagian dari implementasi HAM, namun kebebasan yang berlebihan tentu dapat mengganggu stabilitas sosial. Artinya, prinsip kebebasan berpendapat memerlukan sebuah koridor agar ia tidak kelewat batas. Negara dalam hal ini merupakan pihak yang paling otoritatif dalam menciptakan koridor itu.
Beberapa waktu lalu, ada sebuah pernyataan seorang pejabat yang cukup memantik respon publik. Adalah Dede Budhyarto, komisaris PT. Pelni, yang mencuitkan kata-kata yang kontroversial dalam Twitternya,
“Memilih capres jangan sembrono apalagi memilih capres yang didukung kelompok radikal yang suka mengkafir-kafirkan, pengasong khilafuck anti Pancasila, gerombolan yang melarang pendirian rumah ibadah minoritas” (23/10).
Pernyataan itu, menurut saya, merupakan salah satu alasan mengapa koridor kebebasan berpendapat perlu dipertegas. Saya memang sepakat dengan beberapa poin yang disampaikan oleh Dede, namun memplesetkan “khilafah” menjadi “khilafuck” jelas merupakan hal yang tidak bijaksana.
Saya nampak memahami emosi Dede saat mengatakan itu. Ia pasti sedang merujuk para agen khilafah yang kerap membenturkan Pancasila dengan syariat Islam. Tapi, ketika ia memasukkan kata umpatan bahasa Inggris itu dalam kata “khilafah”, ia menjadi tidak ada bedanya dengan para pengusung khilafah itu. Saling membenturkan, saling serang sana- sini.
Jika memang ia mengganti “khilafah” dengan “khilafuck” karena sentimen dengan para kaum radikal, artinya ia mungkin juga akan memplesetkan lafadz “Lā ilāha illa Allah” dalam bendera ISIS. Walau bagaimanapun, “khilafah” merupakan istilah yang identik dengan Islam. Meskipun ia lekat dengan kaum Muslim fundamentalis, kata “khilafah” tercatat banyak ditemukan dalam hadis-hadis Nabi apapun tafsirannya. Khilafah juga pernah menjadi bagian dari identitas peradaban Islam yang unggul.
Kembali kepada prinsip kebebasan, saya kira kenyamanan bernegara akan sedikit terganggu dengan pernyataan Dede. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Bidang Dakwah dan Ukhuwah, Cholil Nafis juga merespon tweet Dede Budhyarto tersebut.
Cholil Nafis menyinggung soal ketidaktepatan dan ketidaksopanan seorang petinggi dengan memplesetkan “khilafah” itu. Ia juga mengingatkan untuk berlaku sopan dalam persoalan dukungan politik. Seperti yang tersirat, tweet Dede nampak merujuk pada penetapan Anies Baswedan sebagai Calon Presiden 2024 oleh Partai Nasional Demokrat (Nasdem).
Memang benar bahwa kultur demokrasi memberikan peluang kepada setiap kita untuk menikmati kebebasan yang dimiliki secara proporsional, namun kita harus ingat bahwa kebebasan kita juga dibatasi oleh hak orang lain. Artinya, kita tidak bisa terlalu semena-mena mengungkapkan pikiran kita karena bisa jadi hal itu akan mengganggu hak orang lain untuk hidup tentram di Indonesia.
Memberikan kontra narasi terhadap khilafah bisa dilakukan oleh setiap orang termasuk Dede, namun melakukannya dengan cara yang baik dan beradab adalah pilihan yang sukar dilakukan. Terbukti seorang komisaris pun bisa gagal melakukannya.
Bercermin dari tindakan Dede, menggabungkan satu istilah baik dengan satu istilah buruk bukanlah hal bijak, walau untuk memberikan kontra narasi sekalipun. Bukankah Sila Kedua telah menyuruh kita untuk menjadi manusia yang adil dan beradab?