Ketika masih remaja, di pesantren saya sempat suka Syekh Ahmed Deedat. Bahkan saya sempat membaca buku perdebatan Deedat dengan pemuka-pemuka agama lain, yang saya beli tanpa sengaja di shooping center setelah seharian lelah nonton film di Bioskop Yogya dan Widya.
Siapa Deedat? Ya mirip-mirip dengan Zakir Naik: model dan konten dakwahnya tak jauh berbeda. Gayanya menyanggah lawan, caranya menanggapi audiens, bahkan, setting tempat dakwahnya nyaris tak ada beda. Sila lihat di YouTube. Intinya sama-sama hendak menunjukkan bahwa Islam benar lainnya salah. “Suatu pembuktian kekeliruan agama di luar Islam, langsung dari kitab agama-agama tersebut. Inilah kehebatan keduanya” demikian kurang lebih kata kawan saya, seorang kiai Aswaja yang sangat mengagumi keduanya. Kedua tokoh ini, Deedat dan Naik, dianggap oleh banyak pengagumnya sebagai figur mujaddid, yang mampu menunjukkan kebenaran Islam melalui kekeliruan, dan kesesatan kaum beragama lain langsung dari sumber mata air iman mereka. Jadi di tangan kedua tokoh ini, kebenaran Islam menjadi terang benderang. Karena dianggap mampu membedakan mana yang Haq dan mana yang Bathil. Mana yang Murni dan mana yang rekayasa para pemuka agama. Mana suara Allah dan mana yang bikinan manusia.
Saya kira, fenomena seperti ini ada di hampir semua agama. Tak hanya di Islam , melainkan pada semua hal ihwal yang kita sebut sebagai agama yang mengandung setidaknya dua hal: kultis dan ritus. Kalau tidak ada gejala truth claim, bahwa imannya yang paling benar ketimbang iman lainnya. Saya ragu itu bisa disebut agama. Agama tidak bisa tidak, selalu mensyaratkan adanya kepenuhan iman bagi eksistensinya, yang berarti secara implisit menegasi iman lainnya. Jadi, sebenarnya wajar saja, tapi dengan beberapa catatan. Karena ini menyangkut eksistensi apa yang disebut sebagai agama. Nah disinilah perdebatan relativisme dan absolutisme dimungkinkan. Pada ranah manakah, kebenaran (iman) itu absolut dan relatif.
Dalam banyak kasus untuk mengatasi kontradiksi yang absolut dan relatif dalam iman, dengan gampang kaum beragama menempatkan iman yang absolut itu pada ranah pribadi, yang di waktu yang sama menjadi relatif di ruang publik. “Oke, memang harus aku akui dengan jujur, aku menganggap imanku paling benar. Tapi ini menurutku yang subjektif, yang bisa jadi menurutmu belum tentu benar”, kurang lebih demikian. Kemudian kenapa ini jadi masalah? Ya karena banyak yang “kakean cangkem” alias ngomong kemana-mana, merasa dirinya satu-satunya orang yang secara sah pernah diajak bicara dengan Allah (Al+Ilah/The God) lainnya tidak. Jadi ini semacam panggung rebutan merasa bahwa hanya dirinya saja yang pernah dapat surat dari Allah, lainnya tidak. Padahal kapan persisnya, seperti apa prosesnya, kalau digugat secara saintifik roboh semuanya.
Nah, tantangan selanjutnya adalah bagaimana persoalan ‘hinterwelt’ ini tak menjadi beban sejarah manusia dan memperkeruh kemanusiaan kita.
Karena klaim kebenaran iman secara subjektif mutlak, dan semua merasa harus membawa sebanyak mungkin orang lain memeluk iman kita. Maka harus ada batasannya antara iman dan ruang publik. Namun bukan berarti dengan cara sekularisme ala Perancis yang kaku. Disinilah dilemanya. Disatu sisi ekspresi beragama harus dilindungi, namun di sisi lain nya, gejala semangat mengkonversi iman orang lain juga pada batas tertentu mengancam kehidupan manusia. Setidaknya semangat ini ada pada agama-agama yang disebut agama langit seperti Islam dan Kristen, dengan pengecualian Yahudi. Kecenderungannya sama. Mengakumulasi sebanyak mungkin orang masuk agamanya masing-masing. Misal, siapa yang bisa mengislamkan orang non muslim, pahalanya konon besar sekali. Bahkan dijamin masuk surga. Jadi wajar pula, dari pemahaman semacam itu Naik dianggap hebat.
Ada banyak jalan mendamaikan perkara iman di ruang Publik. Tentu saya tidak akan memilih jalan yang paling ekstrim dengan menganggap agama absurd dan sekedar bualan, omong kosong kekanak-kanakan. Juga tidak menampik kritik-kritik terhadap agama yang kerapkali dilancarkan oleh para filsuf dan ilmuan. Justru kritik semacam itulah yang membikin seseorang mampu beragama dengan sehat. Jalan yang paling mungkin adalah menempatkan iman sebagai daya dorong moral individual yang tak harus menyembul ke ranah publik. Ia hadir dalam ketidakhadirannya. Suatu presensi dalam absensi. Contoh.
Kalau kita berbuat baik ya sudah agama sudah hadir. Meski kita tak perlu menyebut bahwa kebaikan itu ada dalam Al kitab atau Al Qur’an. Mengapa demikian? Karena realitasnya, dunia makin Kosmopolit. Identitas yang satu bertemu dengan identitas lainnya, gerak saling silang makin cepat, maka eksklusifisme dengan segala rupanya, dengan tendensi pemurnian akan sangat mengancam gerak identitas yang tengah berkorespondensi satu dengan lainnya. Kita butuh semuanya untuk menjaga kehidupan ini. Jika tafsirnya Islam sebagai jalan keselamatan adalah mengeksekusi yang lain, maka bukan keselamatan yang kita dapat melainkan malapetaka. Karena menampik identitas lainnya hakikatnya menghancurkan semuanya. Lebih-lebih di zaman nuklir sebagaimana disinggung Russel, kewarasan tengah diuji batasnya. Sedikit saja salah langkah sulit kiranya kita bisa membenahinya.
Sekali lagi ini gejala semua agama. Di Katolik, Kristen, Budha, Hindu bahkan ateisme, yang seperti Naik juga ada. Komitmen iman yang paling masuk akal adalah komitmennya pada pembebasan, yang melampaui sekat-sekat primordial, menegakkan kemanusiaan, kesetaraan, dan melawan kebatilan.
Jadi kalau selama ini ada yang mengaku sebagai modern tapi pola pikirnya model Naik, ya perlu dipertanyakan kemodernannya. Modern sebagaimana kita tahu dari kata Latin “moderna” yang berarti sekarang, Kiwari, atau saat ini. Yang dalam bahasa Inggris ‘Newness’. Maka mudah saja buat kita mengukur kemodernan bagi yang mengklaim modern. Apakah gejalanya sebagaimana semangat kemodernan yang menggusur kesadaran lama menuju kesadaran baru (yang sebenarnya lama dibangkitkan kembali) dengan cirinya nalar kritis, atau sebaliknya.
Apakah menempatkan manusia sebagai budak Klerik, atau sebaliknya menempatkan manusia sebagai ‘subjekt der Geschichte’ yakni manusia sebagai subjek sejarah seperti diungkapkan Marx. Jika terbukti sebaliknya. Maka sulit kita menyebutnya sebagai modern. Alih-alih memiliki sifat kebaruan, justru mengalami kejumudan.
Berbeda dengan Ulil Abshar, saya melihat fenomena Naik, lebih pelik ketimbang soal tren dalam logika pasar, dengan solusinya membuat ceruk pasar lainnya yang beroposisi. Bisa ya bisa tidak. Ada banyak aspek, gejala bangkitnya fasisme beragama. Artinya tak sesederhana yang kita banyangkan.
Di sini, ketimbang mengikuti imannya Deedat dan Naik saya lebih memilih imannya Ibn Arabi dan para Salikin yang rendah hati dan juga imannya Romero yang membebaskan.
Jika masih ngotot (tanpa direparasi terlebih dulu caranya dalam mendekati Islam) sila dilihat sendiri. Seseorang bisa menjadi manusia bermartabat tak sepenuhnya memerlukan asumsi-asumsi teologis. Sebaliknya, orang yang hidupnya digenangi oleh asumsi-asumsi teologis justru seringkali tak mampu menjadi manusia yang bermartabat, yaitu manusia yang mampu memanusiakan lainnya. []