Klaim Kebenaran Menggerus Keragaman Berpendapat

Klaim Kebenaran Menggerus Keragaman Berpendapat

Ketika seorang penafsir merasa tafsirnya paling benar, ia seakan-akan menjadi yang paling mengerti maksud Tuhan.

Klaim Kebenaran Menggerus Keragaman Berpendapat

Jika membahas soal keberagaman, jamaah Islam unyu sepertinya tidak akan luluh dengan penjelasan ilmiah nan ‘ribet’ mengenai keragaman pendapat dalam memahami agama. Mereka tetap saja keukeuh dengan gagasan bahwa semua yang menyimpang dari Al-Quran dan hadis itu sesat.

Mereka adalah orang biasanya tidak mempercayai suatu pendapat keagamaan sebelum melihat sendiri secara leterlek dalilnya di dalam Al Quran dan hadis. Pola pikir semacam itu sudah mendarah dan mendaging sehingga susah sekali untuk dirubah.

Quraish Shihab dituduh sesat karena mengemukakan pendapat bahwa ada penafsiran yang berbeda-beda soal batasan aurat, yang perbedaan tersebut mungkin berimplikasi pada ketidakwajiban penggunaan jilbab.

Jika membaca bukunya berjudul Jilbab; Pakaian Wanita Msulimah, pendapatnya soal jilbab bukan argumen ngawur yang sekedar asumsi pribadi saja, tetapi di dalamnya terdapat berbagai referensi dari para ulama, pun juga disertai hadis-hadis dan analisis linguistiknya.

Apakah yang demikian itu masih dibilang sesat? Lantas batasan sesat sama nggak itu bagaimana? Karena berbeda dengan umumnya ulama? Memangnya kalau berbeda sudah pasti sesatnya?

Perbedaan adalah keniscayaan. Ia merupakan sunnatullah. Bahkan kata Quraish Shihab, Tuhan menginginkan kita berbeda. Tak terkecuali dalam hal berpendapat. Yang terpenting tentunya adalah bagaimana kita menyikapi perbedaan tersebut.

Seseorang boleh saja tidak setuju dengan pendapat Quraish Shihab soal jilbab, tapi apakah dengan ketidaksetujuannya lantas bisa dengan leluasa menganggapnya sesat? Menyebutnya sebagai ulama suu’?

Kebiasaan menyesat-sesatkan adalah akibat dari truth claim (klaim kebenaran) yang berlebihan. Orang merasa benar sendiri sehingga selain pendapatnya adalah sesat dan salah. Budaya truth claim semacam ini tentu menjadi bermasalah jika menjalar ke dunia penafsiran Al-Quran. Sebab, ketika seorang penafsir merasa tafsirnya paling benar, ia seakan-akan menjadi yang paling mengerti maksud Tuhan.

Menurut Amin Abdullah, panafsiran yang secara sepihak semacam itu disebut “interpretive despotism” atau kesewenang-wenangan penafsiran. Ada pengambil-alihan begitu saja otoritas Tuhan untuk membenarkan pendapat si penafsir. Sehingga yang terjadi adalah penyatuan antara pembaca (penafsir Al Quran) dan pengarang (Tuhan) tanpa menyadari bahwa pembaca yang serba terbatas tidak mungkin sama dengan pengarang yang tidak terbatas (Faiz: 2011).

Tentu ini bukan hal yang sepele, sebab dengan menjalarnya budaya truth claim berakibat pada para dai dan ustaz berlomba-lomba jadi Tuhan karena menganggap pendapatnya paling benar. Kasus penodaan agama oleh Ahok adalah bukti kongkret dari penafsiran yang sewenang-wenang itu.

Rizieq Shihab dan para pemuka agama lainnya berperan sebagai Tuhan yang menganggap bahwa tafsir yang benar atas al-Maidah: 51 hanyalah tafsir mereka, yakni; ketidakberhakkan seorang non-muslim menjadi pemimpin atas muslim.

Perbedaan pendapat dalam memahami agama tidak bisa dinafikan. Terlebih jika problem yang dihadapi umat semakin hari semakin bertambah. Sudah semestinya di tengah keragaman pendapat seorang muslim menyikapinya dengan santun, bukan merasa paling benar sendiri, apalagi sampai mengkafir-sesatkan yang berbeda pendapat.

Sekelas Imam Syafii saja pernah berkata: “pendapatku mungkin benar tapi bisa jadi salah, dan pendapat selainku salah tapi bisa jadi benar”. Ini menjadi bukti bahwa mereka yang benar-benar memahami ajaran agama tidak gampang menyalahkan orang lain.

Banyak kisah-kisah ulama klasik yang mengajarkan pentingnya menyikapi perbedaan pendapat dengan cara santun. Dalam situs web SyiarNusantara.id, Husein al Hadar mengisahkan bahwa dulu Imam Syafii pernah berselisih pendapat dalam sebuah majlis dengan muridnya Yunus bin Abdi. Akibat dari perselisihan tersebut sang murid baper dan pulang ke rumah. Tetapi Imam Syafii justru tidak marah, malah mendatangi si murid ke rumahnya dan menasehatinya dengan penuh bijaksana. Isi nasihatnya adalah:

“Wahai Yunus, selama ini kita disatukan dalam ratusan masalah, apakah karena satu masalah saja kita berpisah?

Janganlah engkau berusaha menjadi pemenang dalam setiap perbedaan pendapat. Sebab, terkadang meraih hati orang lain itu lebih utama daripada meraih kemenangan atasnya.

Jangan pula engkau hancurkan jembatan yang telah kau bangun dan kau lewati berulang kali. Karena boleh jadi kelak engkau akan membutuhkannya kembali.

 Berusahalah dalam hidup ini agar engkau selalu membenci orang yang salah, tetapi jangan pernah engkau membenci orang yang melakukan kesalahan itu. Engkau harus marah saat melihat kemaksiatan, tapi berlapang dadalah atas para pelaku kemaksiatan.

Engkau boleh mengrkitik pendapat yang berbeda, namun tetap menghormati orang yang berbeda pendapat. Karena tugas kita (ulama) dalam kehidupan ini adalah menghilangkan penyakit dan bukan membunuh orang yang sakit.”

Dari kisah tersebut dapat dipahami bahwa zaman dulu para ulama mampu menyikapi perbedaan dengan cara yang anggun, kenapa sekarang tidak?