Di antara kitab idola saya adalah Al-Arba’in an-Nawawiyah karya Imam Nawawi al-Bantani. Ia populer disebut kitab Arba’in. Isinya adalah 42 hadis shahih pilihan beliau rahimahuLlah, yang menyajikan berbagai tema keislaman dengan luas.
Saking representatifnya kitab kecil tipis ini, sampai-sampai masyhur dikatakan bahwa siapa pun yang memahami dan menguasai kitab ini (apalagi menghapalnya), kiranya telah cukup baginya untuk disebut memiliki bekal dalam agama ini. Saya menghapalnya, karenanya saya rekomendasikan Anda untuk menghapalnya–seminimnya, mengenal kitab ini, dan terus mempelajarinya untuk memahami dan menguasainya dengan baik.
Di antara bagian hadisnya yang membuat saya “shock”, sekaligus tersenyum dan senang sekali ialah hadis nomor 25 dari Abi Dzar r.a. Saya kutipkan bagian dimaksud:
“….wa fi budh’i ahadikum shadaqatan // dan tatkala di antara kalian mengumpuli istri kalian (berjima’, atau berhubungan seksual, atau kelon) maka itu bernilai sedekah….”
Betul, Anda tak sedang mengigau atau berkhayal. Ini asli murni dawuh Kanjeng Nabi Muhammad SAW dalam riwayat Muslim.
Jangankan saya dan Anda yang hidup di akhir zaman ini, yang pastinya memegang mindset bahwa hubungan seksual merupakan kenikmatan hidup yang kita gemari, bahkan para sahabat yang menjadi sebab bagi turunnya hadis tersebut (asbabul wurud) juga heran pada mulanya. Mereka lalu bertanya kepada Kanjeng Nabi SAW perihal kelon bernilai sedekah itu.
“Wahai Rasulullah SAW, benarkah bila di antara kami menyalurkan hasrat syahwatnya maka baginya ada pahala?”
Kanjeng Nabi SAW menjawab, “bukankah kalian tahu jika seseorang menyalurkan syahwatnya dengan cara haram maka baginya ada dosa, maka begitupun jika seseorang menyalurkan syahwatnya dengan cara halal maka baginya ada pahala.”
Betapa Murah Hatinya Allah Ta’ala, betapa tak terperikannya barakah Kanjeng Nabi SAW, dan betapa mudah (yassiru) dan menggembirakannya (basysyiru) agama Islam ini.
Jangankan sampai berpahala, bahkan umpama tiada pahala apa pun dalam hobi jimak itu, insyaAllah semua kita akan terus dengan senang hati melakukannya. Apalagi kini kita tahu dengan sharih (benderang) bahwa ia mengandung pahala sedekah di sisi Allah Ta’ala….
Saya lalu teringat pada sebuah hadis Nabi SAW yang dinukil Imam Nawawi dalam kitab Nashaihul ‘Ibad. Kanjeng Nabi SAW bersabda, “Sebagaimana Allah Ta’ala menyukai hambaNya yang menikmati kemurahan-kemurahanNya, begitupun Allah Ta’ala menyukai hambaNya yang mematuhi perintah-perintahNya dan meninggalkan larangan-laranganNya….”
Kita bisa menarik pemahaman betapa di balik, atau di dalam, perintah-perintah Allah Ta’ala dan larangan-laranganNya, yang kedua sisi tersebut menjadi batu ujian bagi kepatuhan/keingkaran cum ketakwaan/kekufuran kepadaNya, bagian hukumanNya atas pelanggaran-pelanggaran kita diposisikan lebih rendah, lebih kecil, dibanding bagian pahalaNya atas kepatuhan-kepatuhan kita.
Jelasnya, pintu besar pahala bagi kepatuhan kepadaNya dibukakan kepada kita dengan lebih luas dan agung dibanding pintu hukuman jika kita melanggarnya. Sementara kapasitas potensi pahala dibuatNya terpampang sangat besar dari pelbagai arah, kapasitas dosa dan hukuman dibuatNya justru lebih kecil dan strict di tempat itu saja. Jika Anda mematuhi perintahNya, maka ganjaran dariNya bertubi-tubi datang dari pelbagai jalan dan arah; jika Anda melanggarnya, dosanya hanya dari satu arah atau titik pelanggaran itu saja. Betapa Maha Rahman RahimNya Allah Ta’ala….
Coba cermati tamsil kelon tadi sebagai nalar kasusnya.
Hubungan seksual yang dilakukan dengan halal dan haram secara lahiriah akan terasa sama belaka. Sama-sama nikmat. Tetapi kita tahu pasti jika itu dilakukan secara haram, walau ia merasakan kenikmatan syahwat, pelakunya ditimpa dosa. Ya dosa zina.
Namun jika hubungan seksual itu dilakukan di jalan halal, di dalam sebuah relasi pernikahan, maka ia merasakan kenikmatan syahwat dan sekaligus pahala. Pahala sedekah. Pernikahan ternyata bukan hanya memisahkan antara hubungan seksual yang halal dan haram, bukan hanya menyelamatkan pelakunya dari dosa besar zina (tarkuz zina), melainkan bahkan masih dibonusi oleh Allah Ta’ala dengan pahala sedekah.
Perzinahan akan membuat pelakunya ditimpa dosa besar zina. Ia akan memikulnya dan menanggung hukumannya. Walau bagaimanapun dosa tersebut ya hanya di titik pelanggaran itu saja. Tidak ke mana-mana. Itu pun jika tak memohon ampunan kepadaNya. Jika kemudian ia bertaubat dengan benar dan sungguh-sungguh, Allah Ta’ala masih menyediakan pengampunan dan pencabutan hukuman. Perhatikanlah kemurahan Allah Ta’ala….
Tetapi hubungan seksual dalam pernikahan diluaskanNya potensi-potensi pahalanya dari berbagai penjuru. Mulai dari ijab-qabulnya, silaturrahim antar-keluarga, nafkah yang diberikan, hingga nikmat hubungan seksual itu sendiri yang bernilai pahala sedekah. Ini pun masih bisa diluaskan ke mana-mana.
Andai perkara kelon ini lalu gunung-gunung pahalanya (sebab dilakukan dalam pernikahan) dijajarkan secara apple to apple dengan buruknya zina (sebab dilakukan di luar pernikahan), renungkanlah: bagaimana mungkin ada akal sehat manusia yang memilih untuk berzina dibanding menikah? Niscaya takkan melakukan hal demikian kecuali kebodohan atau hawa nafsu yang membara yang sampai menutupi kejernihan akal sehat manusia.
Baca Juga, Gus Baha: Hormati Istri, Karena Dia yang Menghindarkanmu dari Zina
Dengan nada bercanda saya berkata kepada istri di rumah, “Ternyata ada dalilnya bahwa saat kita berhubungan badan, kelon, Allah Ta’ala mencatatnya sebagai pahala sedekah.”
Ia manggut-manggut sembari mesam-mesem.
Kulanjutkan, “Mulai saat ini, afdhalnya mari kita perbanyak sedekah dari jalur ini….”
Ia tertawa.
Dalam hati saya membatin: sungguh betapa Maha Welas AsihNya Allah Ta’ala, betapa mudahnya untuk mendapatkan berkahNya. Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberkahi dan merahmati kita semua. Amin.