Dalam konten berjudul “Dear Pikiranku! Krisis Hidup yang Kelak Mendewasakan dan Membuat Kita Jadi Generasi Solutif” yang diunggah kanal Youtube Analisa Channel, Habib Husein Ja’far Al-Hadar, pendakwah yang dikenal oleh kaum millenial sebagai protector of pemuda tersesat, berbincang santai bersama seorang psikolog yang aktif menyebarkan inspirasi di media sosial, Analisa Widyaningrum, mengenai quarter life crisis sebagai proses pendewasaan.
Quarter Life Crisis: Usia Transisi Sebagai Proses Pendewasaan
Analisa menjelaskan bahwa quarter life crisis itu dialami oleh orang muda dalam rentang usia 18-30 tahun, karena usia tersebut kurang lebihnya seperempat dari hidup seseorang. Lalu kenapa terjadi krisis pada usia itu? Karena usia 18-21 tahun adalah usia transisi dari masa remaja akhir ke masa dewasa awal. Di setiap transisi usia akan ada masalah-masalah baru dan tugas perkembangan, hal inilah yang menimbulkan krisis.
“Biasanya saat remaja itu kan kita bisa terlihat keren karena kita eksis, terkenal, dan dapat diterima oleh circle pertemanan kita. Saat sudah menuju dewasa, kita tidak membutuhkan itu lagi. Karena pendewasaan terjadi pada saat kita bisa menguasai diri kita alias self mastery,” tutur Analisa.
Psikolog muda lulusan UGM ini menyebutkan contoh dari self mastery adalah ketika anak kecil sakit atau terjatuh, maka ia akan menangis bahkan bisa sampai tidak ingin masuk sekolah. Tapi kalau manusia dewasa sakit, sakit hati misalnya (karena sakit fisik memang membutuhkan istirahat), lalu dia menghindari stimulus itu, dia memilih untuk flight alias kabur tidak ingin bekerja, artinya dia belum dewasa. Atau jika kita tidak menyukai seseorang, lalu kita menghindari orang itu artinya kita belum bisa mengolah perasaan kita.
Analisa juga menambahkan bahwa di era medsos seperti sekarang ini, perasaan iri atas pencapaian atau kesuksesan orang lain itu akan selalu ada. Namun yang mesti dikontrol adalah apakah kita bisa menguasai rasa iri itu atau tidak. Jika tidak bisa, maka jatuhnya kita akan nyinyir. Maka dari itu, pendewasaan sangat penting dalam setiap aspek kehidupan.
Dewasa Dalam Beragama: Menjadi Generasi Solutif
“Kalau (dewasa) dalam agama, kita tidak hanya dididik untuk menjadi generasi penghukum, yang hanya bisanya menghakimi, tetapi generasi yang rehabilitatif, yang bisa merehabilitasi keadaan. Kalau hukum itu konteksnya adalah fikih, menghukumi. Oh kamu salah, oh kamu benar, oh ini halal, oh ini haram. Tapi lebih dari itu, ketika kamu dewasa dalam beragama, kamu tidak lagi hanya menyalahkan dan membenarkan. Tapi menjadi generasi solutif yang mencari solusi,” ungkap Habib Husein ketika ditanya mengenai dewasa dalam beragama.
Kemudian Habib Husein menyebutkan bahwa Nabi adalah sosok terbaik dalam memberikan solusi dan bukan hanya menjadi penghukum. Hal ini terekam jelas dalam salah satu hadis shahih riwayat Imam al-Bukhari, yang artinya:
Dari Abu Hurairah ra. ia berkata, “Ketika kami sedang duduk bersama Nabi SAW tiba-tiba datang seorang laki-laki lalu berkata, “Wahai Rasulullah, celakalah aku”. Beliau bertanya, “Ada apa denganmu?”. Lelaki itu menjawab, “Aku telah bersetubuh dengan istriku sedangkan aku sedang berpuasa”. Maka Rasulullah SAW bertanya, “Apakah kamu memiliki budak yang dapat kamu merdekakan?”. Orang itu menjawab, “Tidak”.
Lalu beliau bertanya lagi, “Apakah kamu sanggup bila harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut?”. Orang itu menjawab, “Tidak”. Lalu beliau bertanya lagi, “Apakah kamu memiliki makanan untuk diberikan kepada enam puluh orang miskin?”. Orang itu menjawab, “Tidak”. Sejenak Nabi SAW terdiam.
Ketika kami masih dalam keadaan tadi, Nabi SAW diberikan satu keranjang berisi kurma, lalu Nabi bertanya, “Mana orang yang bertanya tadi?”. Orang itu menjawab, “Aku”. Maka Rasul berkata, “Ambillah kurma ini lalu bershadaqahlah dengannya”. Orang itu berkata, “Apakah ada orang yang lebih faqir dariku, wahai Rasulullah. Demi Allah, tidak ada keluarga yang tinggal diantara dua perbatasan, (yang dia maksud adalah dua gurun pasir), yang lebih faqir daripada keluargaku”.
Mendengar itu Nabi SAW menjadi tertawa hingga tampak gigi seri beliau. Kemudian beliau berkata, “Kalau begitu berilah makan keluargamu dengan kurma ini.” (HR. Bukhari)
Setelah menceritakan hadis tersebut, Habib Husein berkata, “Kita lihat Nabi itu bukan hanya menghukumi. Hukum tetap ditegakkan oleh Nabi, tetapi Nabi juga mencarikan solusi. Nah, seorang yang dewasa ditandai dengan pola pikir yang solutif”
Karenanya, lanjut Habib Husein, ketika melihat seseorang salah, berfikirlah ‘saya tidak terima pada kesalahannya, tetapi saya mencintai orangnya’. Sehingga yang harus dilakukan adalah bagaimana mengubah orang itu agar tidak salah lagi di kemudian hari. Sama halnya ketika menemui kesalahan pada diri sendiri. Jangan kemudian kita hanya menghakimi, ‘gue salah, gue ahli maksiat’, dan akhirnya tidak bertobat. Justru yang mesti dilakukan adalah bertobat, menyesalinya dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, serta bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.
Jangan Jadi Generasi Strawberry
Di akhir video, kedua tokoh inspiratif tersebut berpesan agar jangan sampai kita menjadi generasi strawberry (generasi yang kreatif namun mudah rapuh dan menyerah). Tetapi jadilah generasi duren (generasi yang tangguh, kuat, bahkan ada durinya tetapi dalamnya tetap manis, enak dan indah). Oleh karena itu, para orang tua hendaknya lebih memperhatikan pola pendidikan dan pengajaran kepada anak agar ia tumbuh menjadi generasi yang bertanggung jawab dan tangguh.
“Ketika dia nabrak meja, kita jelasin kamu jangan lewat sini. Karena mejanya memang disini, gak ada ceritanya meja nabrak kamu, yang ada kamu nabrak meja,” pungkas Habib Husein.