Sedekah Oksigen, Sedekah Jariyah yang Bisa Dilakukan Semua Orang

Sedekah Oksigen, Sedekah Jariyah yang Bisa Dilakukan Semua Orang

Sedekah Jariyah bisa diartikan sebagai sedekah yang pahalanya mengalir, meskipun pemberi sedekah sudah meninggal dunia.

Sedekah Oksigen, Sedekah Jariyah yang Bisa Dilakukan Semua Orang
Sedekah oksigen dengan menanam dan merawat tanaman termasuk bagian dari sedekah jariyah (Freepik)

Saat masih kecil, saya sering melihat anak kecil (beberapa kali orang dewasa) membawa kotak kecil, berkeliling desa, datang ke rumah-rumah, untuk menjajakan sedekah. “Sedekah Jariyahnya, pak, bu,” kalimat ini tak asing bagi saya, karena hampir tiap hari saya dengar.

Sebutan “sedekah jariyah”, yang sering saya dengar di kampung, biasanya digunakan untuk menyebut sedekah pengadaan infrastuktur ibadah, bisa berupa bangunan masjid, karpet masjid, madrasah, pesantren dan sebagainya. Disebut demikian karena pahalanya mengalir meskipun orangnya sudah meninggal dunia. Kok, bisa? Selama hasil dari sedekah tersebut masih digunakan oleh banyak orang, maka selama itu pula pemberi sedekah masih tetap mendapatkan pahala.

Nama sedekah ini, jika boleh saya tebak, diambil dari salah satu hadis nabi terkait tiga hal yang tidak pernah putus meskipun sudah meninggal.

إِذَا مَاتَ ابنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِن ثَلَاثَةٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو له.

Artinya, “Ketika anak adam meninggal dunia, semua amalnya terputus kecuali tiga hal, yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang selalu mendoakan orang tuanya.”

Kata jariyah dalam hadis di atas, bisa jadi merupakan cikal bakal tercetusnya istilah sedekah jariyah. Hadis tersebut saya pelajari dulu saat masih duduk di bangku madrasah ibtidaiyah (setara SD). Meskipun pada akhirnya saya mengetahui bahwa redaksi matannya tidak tepat, karena agak berbeda dengan riwayat ulama hadis yang diakui, salah satunya riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah berikut:

إِذَا مَاتَ الإنْسَانُ انْقَطَعَ عنْه عَمَلُهُ إِلَّا مِن ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِن صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو له.

Selain berbagai dalil keagamaan di atas, yang jadi masalah selanjutnya adalah tidak semua orang bisa bersedekah harta. Apalagi untuk pembangunan masjid, pesantren, dan lain sebagainya.

Ada salah satu kisah menarik di balik munculnya sebuah hadis Nabi Saw. Suatu ketika, para sahabat saling menunjukkan besaran nilai sedekahnya masing-masing. Si A menunjukkan nilai sedekahnya kepada si B, begitupun sebaliknya, tidak ada tujuan kecuali untuk berlomba-lomba dalam kebaikan.

Sementara para sahabat masih sibuk membahas sedekahnya masing-masing, sahabat lain terdiam diri. Ia merasa belum melakukan sedekah apapun. Sehingga ia tidak bisa bercerita kepada sahabat yang lain. Sahabat ini kemudian melaporkan masalah yang ia alami kepada Rasulullah Saw.

“Wahai Rasul, saat para sahabat lain sedang giat-giatnya bersedekah, aku diam saja. Hanya aku yang tidak bersedekah. Aku tidak bersedekah bukan karena aku tidak mau, tapi aku tidak mampu. Jangankan bersedekah, untuk memenuhi kebutuhanku sehari-hari saja aku tak mampu.”

Mendengar pertanyaan sahabat nabi tadi, Nabi kemudian meyampaikan sabdanya:

 «تَبَسُّمُكَ فِي وجْهِ أخِيكَ صَدَقَةٌ»

“Senyummu kepada saudaramu itu sedekah.”

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dan Sahih Ibn Hibban, diriwayatkan juga oleh Imam al-Bukhari dalam kitabnya yang lain, yaitu al-Adab al-Mufrad, diriwayatkan juga oleh Imam al-Tirmidzi dalam matan yang lebih panjang.

Dalam hadis yang lebih lengkap dijelaskan bahwa sedekah itu bukan hanya senyum saja. Dalam al-Jami’ al-Saghir karya al-Suyuthi dijelaskan beberapa hal lain yang bisa disebut juga sebagai sedekah.

تَبَسُّمُكَ فِي وجْهِ أخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ وأمْرُكَ بالمعررف ونَهْيُكَ عنِ المنْكَرِ صَدَقَةٌ وإرْشادُكَ الرَّجُلَ فِي أرْضِ الضَّلالِ لَكَ صَدَقَةٌ وإماطَتُكَ الحَجَرَ والشَّوْكَ والعَظْمَ عَن الطَّرِيقِ لَكَ صَدَقَةٌ وإفْراغُكَ مِن دَلْوِكَ فِي دَلْوِ أخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ

Artinya, “Senyummu kepada saudaramu itu sedekah. Mengajak orang lain agar menjalankan hal ma’ruf dan meninggalkan hal mungkar juga sedekah. Menunjukkan jalan bagi orang yang tersesat juga sedekah. Menyingkirkan batu dan duri dari jalan juga sedekah. Menuangkan isi embermu ke ember orang lain juga sedekah.”

Jika semua hal yang bermanfaat tadi adalah sedekah, maka saat ini menanam pohon dan merawat pohon juga sedekah. Menjaga sebuah pohon atau tanaman agar tetap hidup, merawatnya, memberinya pupuk, menyiraminya, juga termasuk sedekah.

Mengapa demikian? Karena sumber kehidupan kita saat ini, yaitu oksigen berasal dari tanaman. Jika tidak ada tanaman, maka berkuranglah oksigen. Daerah menjadi panas, kekurangan air dan sebagainya.

Kita selama ini tidak sadar, bisa jadi tanaman yang kita tanam, menghasilkan oksigen yang bisa dihirup dan diambil manfaatnya oleh banyak orang, di situlah letak sedekahnya, bahkan selama pohon itu masih hidup dan memberi manfaat kehidupan (oksigen) bagi orang lain, maka selama itu pula orang yang menanam maupun yang merawatnya akan mendapatkan pahala. Itulah sedekah jariyah yang paling bermanfaat saat ini. Begitu pula sebaliknya. Orang-orang yang merusak pohon, menggunduli hutan, maka sama dengan ia telah merusak kebermanfaatan bagi banyak orang.

Untuk segenap pembaca yang memiliki tanaman di rumahnya, mari dirawat setiap hari. Kita tidak tahu, siapa tahu, tanaman itulah tabungan surga kita. Bagi yang belum memiliki tanaman, mari menanam. Selain bisa kita manfaatkan buahnya, jika ada buahnya, oksigen yang dihasilkan juga sangat bermanfaat. Termasuk mengurangi kerusakan bumi yang lebih besar. (AN)

Wallahu a’lam.