Bersama beberapa teman, hari itu, Qais bin Sa’ad sedang dalam perjalanan dari Syam. Karena satu dan dua hal, Qais dkk akhirnya mampir ke sebuah rumah. Rumah itu milik sepasang suami istri. Sebut saja Fulan dan Fulanah.
Saat Qais sedang bertamu, Fulan sedang tidak di rumah. Yang ada hanya Fulanah. Dan setelah meminta izin (dan diizinkan), Qais dkk masuk ke dalam rumah. Tak lama berselang, Fulan datang.
Singkat cerita, karena merasa didatangi tamu, Fulan mengambil seekor unta untuk dihidangkan kepada tamu.
“Silakan kalian potong unta ini untuk dimakan!” perintah Fulan kepada Qais dkk.
Tanpa banyak bicara, unta itu pun langsung dipotong, dimasak, dan dimakan dagingnya.
Hari itu pun berlalu.
***
Keesokan harinya, penghormatan Fulan kepada tamu pun terulang lagi, dalam bentuk yang sama: unta. Fulan membawakan mereka untuk disembelih.
“Bukankah daging yang kemarin masih banyak?,” jawab Qais mencoba menolak tawaran Fulan. Hal ini dilakukannya semata-mata karena tidak ingin merepotkan.
Namun, Fulan juga tak kurang akal. Karena memang berniat untuk hormat tamu, ia pun menjawab dengan jawaban yang begitu bijaksana, “Kami tak ingin memberi hidangan kepada tamu dengan makanan kemarin”.
Fulan pun pergi meninggalkan untanya dan Qais dkk.
Perlakuan Fulan yang begitu menghormati tamu justru membuat Qais merasa tidak enak. Ia berinisiatif untuk segera undur diri dan melanjutkan perjalanan.
“Semakin lama kita di sini akan membuat unta Fulan akan semakin habis. Oleh karenanya, kita harus segera pergi dari sini,” kata Fulan kepada kawan-kawannya.
Tak lupa, ia pun meminta asistennya untuk mengumpulkan semua uang yang dibawa. Jumlahnya empat ratus dirham. Qais pun meminta uang itu untuk kemudian diberikan kepada Fulan sebagai ganti semua hidangan yang telah disediakannya. Pakaian Qais pun juga ikut diberikan.
“Uang itu dan juga pakaianku, tolong serahkan kepadaku sekarang!,” pinta Qais kepada si asisten.
Sejurus kemudian, Qais berkata kepada kawan-kawannya, bahwa sebelum Fulan tiba, mereka akan segera undur diri kepada Fulanah. Sesuai rencana, uang dan pakaian pun diberikan. Mereka pamit.
***
Di tengah jalan, Qais melihat ada seorang berkuda mendekatinya.
“Siapa dia?,” tanya Qais kepada kawan-kawannya.
Tak seorang pun dari kawan-kawan Qais yang mengetahui siapa gerangan.
Semakin lama, orang berkuda itu semakin dekat. Ternyata ia adalah Fulan. Kedatangan Fulan membuat Qais merasa takut, jangan-jangan uang dan pakaian yang ia berikan dianggap kurang oleh Fulan.
“Ambillah ini!,” kata Fulan sambil menyerahkan uang dan pakaian milik Qais.
Qais menolak untuk menerima kembali uang dan barang tersebut. Namun, Fulan tak mau kalah. Ia tetap tak mau menerima barang itu. Juga, ia berharap—bahkan memaksa—Fulan untuk mengambilnya kembali.
Akhirnya, Qais kalah. Ia menerima kembali uang dan pakaian yang telah ia berikan itu. Sebelum meninggalkan Qais dkk, Fulan berkata bahwa ia tak menjual hidangan yang telah ia berikan kepada tamu. Sikap Fulan ini benar-benar membuat Qais iri dan ingin menirunya.
***
Selain tentang menghormati tamu, salah satu pelajaran dari kisah di atas adalah “hubungan saling memahami posisi masing-masing”. Bisa antara tamu-tuan rumah, suami-istri, orangtua-anak, guru-murid, pemerintah-rakyat, dan sebagainya. Semuanya memiliki kewajiban kepada yang lain.
Dalam hubungan tuan rumah-tamu, sebagaimana kisah di atas, misalnya. Satu sisi, tuan rumah berkewajiban menghormati tamu dengan semaksimal mungkin, namun di sisi yang berbeda, tamu juga harus tahu dan sadar diri (jangan semuanya).
Contoh lainnya adalah pemerintah-rakyat. Pemerintah wajib membuat kebijakan yang memihak kepentingan rakyat. Begitu pula dengan rakyat, harus menghormati dan menaati aturan yang yang ada (bayar bajak, misalnya).
Walhasil, ada kewajiban yang hendaknya dilakukan suatu pihak terhadap pihak lain. Jika semua orang menyadari kewajiban itu, maka kehidupan akan berjalan baik dan penuh keadilan. Wallahu a’lam.
Sumber Kisah:
Al-Jauzî, Jamâluddîn Abi al-Farj bin. ’Uyûn Al-Hikâyat. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2019.