Ardasyir berhasil mendirikan kerajaan dan kekaisaran Sasarian. Para kerajaan kecil sekitarnya pun juga telah menyatakan ketundukan kepadanya. Agenda besarnya setelah itu adalah menaklukkan Raja Suryani, yang saat itu bertahan di sebuah kota.
Namun, apa boleh buat, serangan-serangan yang diluncurkan Ardasyir selalu gagal dan tak bisa membuat kerajaan Suryani takluk. Hingga suatu saat, ia melihat seorang putri mahkota naik ke atas benteng. Sebut saja namanya Fulanah.
Fulanah juga melihat melihat Ardasyir dari kejauhan. Ketika itu, ia jatuh hati kepada Ardasyir, musuh yang akan memerangi kerajaan yang dipimpin ayahnya.
Fulanah lantas turun dan menulis sebuah surat. Surat itu berisi pernyataan penawaran untuk menikah. Isinya kurang lebih, “Jika Anda bersedia berjanji kepadaku untuk menikahiku, maka aku akan memberitahu Anda dimana lokasi yang bisa Anda gunakan untuk menaklukkan kota ini dengan mudah. Bahkan dengan biaya ringan”.
Surat itu lantas ia kirimkan langsung dengan menggunakan panah. Yakni dengan cara diikatkan pada sebuah anak panah dan dipanahkan ke arah Ardasyir berada. Surat itu dibaca Ardasyir. Ia setuju dengan penawaran itu.
Ardasyir menyampaikan jawaban atas tawaran itu dengan cara sama: diikatkan pada anak panah dan dipanahkan ke arah Fulanah. Tak lama setelah itu, Fulanah memberikan (membocorkan) informasi dimana lokasi yang menjadi titik kelemahan kerajaan yang dipimpin ayahnya itu.
Benar, Ardasyir bisa menyerang dengan mudah. Ia melakukan penyerbuan dimana para penduduk kota itu sedang tidak siaga. Walhasil, kota tersebut berhasil dikalahkan. Sang raja, yang tidak lain adalah ayah Fulanah pun juga terbunuh.
Sebagaimana janji yang telah disepakati bersama, Ardasyir pun menikahi Fulanah.
Suatu malam, mereka tidur di ranjang yang sama. Namun, apa boleh dikata, Fulanah merasa tak nyaman tidur di ranjang itu. Ia begitu tampak gelisah. Bahkan, sepanjang malam itu Fulanah tak bisa tidur sama sekali.
Mengetahui hal itu, Ardasyir bertanya. Fulanah mengatakan, “Saya tidak betah berada di ranjang seperti ini”.
Bagi Fulanah, ranjang (dan kasur) itu terlalu kasar untuk ukuran kulitnya yang begitu lembut. Ardasyir pun bertanya, “Memang, selama ini makanan apa yang diberikan ayahmu?”
“Madu, otak (hewan tertentu), mentega, susu, dan keju,” jawab Fulanah menyebutkan ragam makanan yang saban hari diberikan ayahnya.
Ardasyir lantas menyimpulkan dan berkata, “Begitu besar kasih sayang ayahmu kepada dirimu. Bahkan, hampir tak ada yang yang bisa menandinginya. Kebaikan dan kasih sayang yang begitu besar itu pun masih tega kamu membalasnya dengan pengkhianatan. Air susu benar-benar kamu balas dengan air tuba”.
Ia melanjutkan, “Jika ayahmu yang begitu baik saja masih kamu khianati, maka aku yakin suatu saat engkau akan melakukannya pula padaku”
Agar penghianatan Fulanah yang dikhawatirkan itu tak terjadi, Ardasyir lantas memerintahkan beberapa prajuritnya untuk menghukum Fulanah. Yakni dengan cara mengikatkan tubuh Fulanah kepada tubuh seekor kuda. Kuda itu pun lantas berlari kencang sekali. Hal ini jelas membuat tubuh Fulanah terkoyak-koyak.
***
Kisah ini penulis baca dari kitab ‘Uyun al-Hikayat karya Ibnu Jauzi. Lewat kisah ini, kita bisa belajar bagaimana hendaknya bersikap kepada orang-orang yang telah berbuat baik, yakni jangan sampai mengkhianati mereka.
Walhasil, menghargai kebaikan orang lain adalah suatu keharusan. Jika kita tidak mampu membalasnya, maka setidaknya kita tidak menyakitinya. Semoga Allah jadikan kita sebagai manusia yang pandai berterimakasih kepada siapa saja. Wallahu a’lam.
Sumber Kisah:
Al-Jauzî, Jamâluddîn Abi al-Farj bin. ’Uyûn al-Hikâyat. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2019.