Ismail Fahmi: Masifnya Teori Konspirasi Bukan Saja Tentang Faktor Ekonomi, Tetapi Juga Distrust Pada Pemerintah

Ismail Fahmi: Masifnya Teori Konspirasi Bukan Saja Tentang Faktor Ekonomi, Tetapi Juga Distrust Pada Pemerintah

FYI aja, menyebar hoaks itu sama dengan memperkaya orang lain, sedang kitanya ya tetap gini-gini aja ekonominya…

Ismail Fahmi: Masifnya Teori Konspirasi Bukan Saja Tentang Faktor Ekonomi, Tetapi Juga Distrust Pada Pemerintah

Sejak awal kemunculan hawar corona pada 2020 lalu, respon netizen di Indonesia cukup beragam. Demikian halnya dengan umat Muslim. Beberapa menyebut covid sebagai tentara Allah. Beberapa pendakwah menyebut jangan takut Covid, tapi takutlah sama Allah. Sebaliknya, beberapa umat Muslim lainnya mengarusutamakan diskursus tentang Nabi Muhammad dan mitigasi wabah. 

Membersamai sengkarut wacana Covid-19 di media sosial, teori konspirasi turut menyita perhatian publik dan pada derajat tertentu mempengaruhi cara berpikir umat Muslim Indonesia. Akibatnya, penanganan Covid-19 di Indonesia menjadi semakin kepayahan.

Sadar akan betapa riskannya situasi kiwari, banyak pihak yang menghibahkan waktu serta pikirannya untuk melakukan kontra narasi, meredam dampak negatif dari keterpaparan publik atas misinformasi, hoaks, dan teori konspirasi terkait Covid-19. Salah satunya adalah Ismail Fahmi, penggagas Drone Emprit, sebuah sistem yang berfungsi memonitor dan menganalisa media sosial berbasis big data.

Untuk mengetahui lebih jelas tentang teori konspirasi, Covid-19, dan narasi keagamaan di media sosial, redaksi islami.co mewawancarai Ismail Fahmi. Dalam wawancara yang berlangsung sekitar 1 jam lewat Zoom Meeting (23/8), Ismail mengulas latar belakang kenapa hoaks dan teori konspirasi bisa sedemikian massif sehingga meredupkan pesan-pesan keagamaan yang progresif.

Bagaimana Anda melihat penggunaan narasi keagamaan dalam menyikapi Covid-19?

Saya kira, perlu kita bedakan dulu antara ‘narasi keagamaan’ dan ‘narasi yang beredar di tengah umat beragama’. Pesebaran hoaks dan misinformasi terkait covid itu tinggi sekali di awal-awal 2020. Kenapa? Karena banyak orang gak tau. Jadi, banyak sekali teori konspirasi muncul dan menyebar lewat media sosial.

Kemudian, setelah ada upaya untuk melakukan debunk (sanggahan) dari berbagai pihak, sehingga banyak orang pada tahu, hoaks berkurang. Tapi, hoaks dan misinformasi naik lagi pada saat vaksin muncul, sekitar akhir 2020 atau awal 2021. Faktornya masih sama, yaitu ketidaktahuan.

Nah, hal-hal yang menjadi wilayah debunking itu biasanya terkait dengan sains. Fakta-fakta dan data. Sementara, hoaks yang banyak menyebar di media sosial, terutama di aplikasi Whatsapp, itu banyak macemnya, dari mulai teori konspirasi terkait covid hingga anti-vaksin. Narasi seperti itu yang banyak dikonsumsi umat Muslim. Dan itu berulang-ulang.

Salah satunya adalah ketika saya di Riau. Ada salah satu pendakwah di sana yang bilang kalau orang divaksin dengan vaksin dari China, maka gen-nya akan berubah jadi China. Jadi mereka pada awalnya gak mau divaksin. Lalu, ustadz-ustadz yang lain juga sama. Narasinya adalah tentang depopulasi. Yang kayak gitu terus diulang-ulang.

Ini termasuk dalam teori konspirasi dan narasi antivaksin. Dan, ini yang banyak disampaikan kepada umat, karena kadang-kadang penjelasannya memang masuk akal. Soal benar atau tidak, ini lain hal. Yang jelas, teori konspirasi itu mempengaruhi narasi-narasi keagamaan kita, termasuk bagaimana para kiai, ustadz, atau pendakwah lainnya menyikapi pandemi covid-19.

Padahal, narasi keagamaan sendiri, dalam hal ini Islam, sebetulnya bisa membantu penanganan Covid-19 di Indonesia. Tentang bagaimana Rasulullah atau para Sahabat Nabi menghadapi wabah. Tentang bagaimana umat Muslim mengamalkan prinsip hifdzun nafs (menjaga diri). Kita punya banyak khazanah tentang itu. Dan, kiai-kiai kita juga tau itu semua.

Misalnya adalah narasi bahwa ibadah itu tidak melulu shalat atau iktikaf, tetapi juga menjaga kehidupan sesama umat Muslim lewat menggunakan masker, menghindari kerumunan, vaksin, dlsb. Kalau narasi seperti ini yang dipakai oleh para pendakwah atau ustadz, itu akan memudahkan kita dalam mengatasi pandemi.

Hanya saja, narasi keagamaan yang progresif itu kurang mengarus-utama di media sosial. Dan, narasi seperti itu juga jarang terdengar secara luas. Yang dipakai malah seruan seperti narasi apokaliptik, kemudian covid sebagai tentara Allah, lalu ada lagi yang bilang kalau covid itu pasukan dajjal yang dikirim dari China. Malah itu yang massif tersebar.

Di media sosial, bagaimana ketersebaran teori konspirasi dan misinformasi Covid-19 sehingga mempengaruhi orang?

Media itu biasanya menyampaikan sesuatu yang menarik dan seringkali kontroversial. Coba misalnya cari ‘Bahaya Vaksin Covid’ di Youtube. Yang muncul paling banyak dari TV, dan itu  banyak dikonsumsi orang, yang kemudian bikin orang takut sama vaksin.

Bahkan asisten rumah tangga saya sempat ketakutan ketika mau divaksin. Dia bilang “Pak saya takut divaksin, soalnya ini orang pada sakit, ada yang meninggal juga”. Lalu saya tanya “tau dari mana, Mpok?”.

Dari televisi,” jawabnya.

Lalu saya tanya lagi, “TV mana, Mpok?”.

Itu anak saya liat dari Youtube,” kata dia.

Lalu, saya iseng ngecek di Youtube. Ternyata betul. Pas muncul, yang tampil di halaman atas adalah berita-berita seperti “Guru Susan Lumpuh Usai Vakisnasi Covid-19; Penyebab Munculnya Efek Samping Vaksin Covid-19,” dan lain sebagainya.

Nah, konten yang seperti itu bentuknya banyak sekali, dan viewnya pun sangat tinggi. Lalu saya mikir, pantas saja orang pada takut divaksin. Jadi, konten berita yang negatif ini dampaknya bisa jauh lebih besar dibanding counter atau debunk-nya. Ada satu atau dua saja yang negatif, kemudian ditaruh di Youtube, dan yang ada di Youtube itu kemudian dipotong-potong sehingga jadi abadi. Hal semacam itu yang kemudian beredar luas merembes kemana-mana, grup WA, dan lain-lain.

Anak-anak muda mungkin gak menonton TV. Tapi mereka nonton Youtube. Salah satu akses media tertinggi kan Youtube. Nah, isinya dari TV. Dan itu kalau saya lihat, yang sifatnya debunking terhadap yang menakutkan ini, secara view masih kalah ketimbang konten yang sifatnya menakutkan ini.

Itu baru Youtube. Di Whatsapp, pesebarannya lebih mengerikan dan tidak terkontrol. Terkadang, yang beredar di WA itu juga sumbernya dari Youtube. Ayat-ayat Al-Qur’an pun bisa dipilih-pilih berdasarkan kepentingan teori konspirasi.

Meski kontenya bermasalah, kenapa orang mudah percaya teori konspirasi?

Ada banyak faktor. Salah satunya bisa karena faktor ekonomi. Mereka banyak yang terancam kemiskinan karena terpaksa berhenti bekerja, atau dagangannya gak laku, gara-gara PPKM. Orang-orang kalau terbentur kemiskinan dan rasa lapar, dikasih data sains yang umumnya belibet ya bakal kepayahan mencerna informasi. Mereka lalu putus asa dan pada derajat tertentu jadi marah. Argumennya adalah “orang bisa mati bukan karena covid, tapi karena kelaparan.” Nah, itu membuat mereka lalu percaya teori konspirasi. Di saat yang sama, muncul aktor-aktor seperti Siti Fadhilah, Lois, dan sejenisnya, yang semakin mengamplifikasi narasi konspiratif ataupun misinformatif.

Selain itu, keberadaan teori konspirasi sebetulnya udah ada sejak lama. Pengikutnya juga banyak. Beberapa orang tentunya butuh penjelasan yang logis dan instan dalam memahami situasi yang sedang dihadapi. Apalagi jika situasi itu adalah situasi krisis, seperti pandemi Covid-19. Kebetulan, penjelasan itu tersedia lewat teori konspirasi. Dan jangan lupakan kalau sebagai teori, ia boleh saja logis. Adapun soal benar atau salah, ini hal lain. Biasanya, si pembuat atau pendengung teori konspirasi akan membangun probability dengan contoh yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Ini adalah penjelasan secara psikologis tentang kenapa orang percaya teori konspirasi. Ringkasnya, orang butuh keyakinan dan teori konspirasi menawarkan itu.

Gak kalah penting, dalam konteks infodemik, data percakapan umat Islam di media sosial menunjukkan emosi ketidak-percayaan (distrust). Distrust inilah yang mendorong orang mencari sumber ‘kepercayaan’ ke ‘yang lain’. Misalnya, orang pada awalnya tidak percaya pada pemerintah. Kemudian distrust kepada pemerintah itu berimbas pada ke-tidak-percayaan terhadap covid, dan vaksinasi, dan himbauan 3M, dan lain sebagainya yang bersumber dari pemerintah.

Jadi di sini saya melihat bahwa pangkal awalnya adalah distrust terhadap pemerintah yang disebabkan oleh ulah pemerintah itu sendiri, seperti ketidak-adilan, kebijakan yang kental nuansa politik, lalu persoalan korupsi, dan macem-macem. Artinya, itu semua menjadi akar yang kemudian meluas ke berbagai ranah, salah satunya adalah penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia.

Nah, merebaknya hoaks, misinformasi, dan teori konspirasi tadi adalah puncak ekspresi dari ketidak-percayaan orang terhadap pemerintah. Kita mungkin bisa mengatakan pada sebagian umat muslim yang menyebar hoaks untuk tidak menyebar berita bohong. Tapi, mereka biasanya akan menuding balik dan merujuk pada perilaku para pejabat atau menteri yang kemarin ikut menyebar hoaks atau malah denial terhadap kajian ilmiah covid. Artinya, kembali lagi: distrust!! Pada kondisi, pada pemerintah, pada kebijakan. Dan hal ini inevitable, mengingat kondisi iklim politik kita yang seperti ini.

Apakah agama lain juga mengalami pembajakan narasi dari aktor-aktor konspiratif?

Iya, sama. Mereka juga ngalamin. Ada beberapa yang ngalamin. Misalnya soal vaksin. Di kalangan umat Kristen beredar narasi bahwa vaksin mengandung chip. Narasi vaksin mengandung chip itu bukan datang dari Indonesia, tapi dari luar negeri. Bisa dilihat dari analisis saya tentang ‘Vaksin Mengandung Chip’. Isu ini sudah muncul dari tahun lalu, sekitar bulan Oktober-November itu ramai di luar negeri saat pas awal-awal vaksin mulai diselenggarakan di beberapa negara. Di Facebook itu ramai sekali, baru kemudian masuk ke Indonesia.

Di Indonesia sendiri, isu vaksin mengandung chip ini memicu polemik ketika kita baru kedatangan vaksin. Saat itu di Mata Najwa, Erick Tohir bicara bahwa vaksin itu ada barcode-nya. Nah, pernyataan Erick ini lalu dimanipulasi oleh aktor konspiratif sebagai bahan mendengungkan hoaks. Dan, ramelah isu ‘vaksin mengandung chip’ di Indonesia.

Hanya saja, karena kebanyakan warga negara Indonesia adalah beragama Islam, isu ini lalu menjadi sangat terasa di lingkaran sekitar kita. Apalagi setelah teori konspirasi ini mengalami proses ‘islamisasi’. Misalnya adalah narasi apokaliptik yang berkembang di media sosial. Selain itu, ada lagi narasi tentang depopulasi umat Islam, misalnya. Ini teori konspirasi. Apalagi kalau teori konspirasi itu dihubungkan dengan meninggalnya 900 Kiai di Indonesia selama masa pandemi. Umat langsung tergerak buat ngeklik link. Jadi, ada proses ‘islamisasi’ teori konspirasi yang kemudian membuat orang tidak merasa bahwa itu bukan bagian dari teori konspirasi. Orang lalu akan mengatakan, “itu islam! Itu sesuai dengan pandangan Islam.”

Rupanya, di Kristen juga sama. Narasi-narasi itu juga mengalami ‘Kristenisasi’. Pandangan-pandangan konspiratif akhirnya jadi seolah nyambung dengan narasi keagamaan, karena orang merasa ada kecocokan di antara keduanya. Karena cocok, akhirnya orang mengafirmasi apa yang dikatakan oleh ustadz-ustadz atau para pendakwah konspiratif. Teori konspirasi, yang awal dari luar negeri, kemudian nyebar lewat media sosial, dan umat membacanya melalui versi ustadz konspiratif.

Kalau melihat jejaring aktor narasi konspiratif yang ada, kira-kira siapa yang diuntungkan? Dan keuntungan apa yang mungkin di dapat?

Ini sebenarnya masalah yang berlapis. Kita perlu melihat secara makro terlebih dahulu sebelum mengerucut ke ranah mikro. Karena orang-orang seperti kita adalah bagian ‘remah-remah’ dari masalah ini. Di piramida besar isu anti-vaksin dan sejenisnya, netizen Indonesia biasanya cuma ngikut dari siapa yang menjadi promotor internasionalnya.

Nama seperti Joseph Mercola misalnya, dia bikin buku, dia juga dokter, dan dia juga berpengaruh (influential). Dia mempromosikan himbauan agar jangan gunakan vaksin dan lain sebagainya. Artinya, dia sebetulnya sedang ‘jualan’. Ini bisa dilihat di cuitan saya tentang ekonomi.

Nah, aktor-aktor seperti Mercola adalah salah satu yang bakal dapat keuntungan besar, karena mereka menciptakan suatu komunitas: komunitas yang percaya dengan herbal, natural medicine, alternative medicine, vitamin-vitamin, dan lain-lain. Di Twitter, saya pernah mengunggah tangkapan layar, dokter Mecola itu jualan banyak obat. Nah, aktor seperti dia itu bakal dapet keuntungan dari beredarnya narasi konspirasi dan hoaks seputar vaksin Covid-19.

Di lapis bawah, tumbuh kepercayaan di masyarakat. Mereka mencari alternatif selain vaksin, seperti obat herbal atau alternative medicine tadi. Dan, belinya ya dari Mercola. Di lain sisi, karena masyarakat belum tau soal masalah ini, mereka akhirnya memberi makan hasratnya dengan penjelasan-penjelasan konspiratif dengan alasan butuh ketenangan hidup. Sementara itu, salah satu sumber ketenangan adalah penjelasan yang logis. Dan, penjelasan yang logis ini ditawarkan oleh teori konspirasi.

Kemudian ada juga yang memakai cara lewat membuat konten hoaks di Youtube. Kalau yang ini motifnya jelas, yaitu ekonomi. Misalnya, fitnah yang sempat merundung Ustadz Adi Hidayat dan Menteri Agama Gus Yaqut Cholil Qoumas. Kreator-kreator hoaks bikin narasi seperti, “Ustadz Adi Hidayat mengkorupsi 20 milyar dana Palestina,” kemudian pas pelakunya ditangkap malah nangis-nangis di kepolisian.

Padahal, konten seperti itu penontonnya jelas banyak sekali. Dan konten-konten hoaks macam inilah yang biasanya berupa potongan-potongan ceramah dari Gus Najih, dr. Louis, lalu dibentur-benturkan pendapatnya dengan pihak-pihak yang punya opini berbeda. Saya sempat dapet hoaks ini dari Bapak saya. Kemudian saya lihat di Youtube. Viewersnya ternyata banyak, sekitar 700-an ribu. Artinya, duitnya juga jelas banyak banget. Dan ini viral. Jadi, konten-konten macem hoaks atau fitnah adalah benar-benar diciptakan untuk tujuan konten semata. Mereka sudah tidak mikirin urusan halal-haram, karena nyatanya fitnah pun dibuat. Saya lalu menyimpulkan, kreasi macam ini motifnya adalah murni kepentingan ekonomi.

Nah, orang-orang yang tidak mendapat keuntungan ekonomi, yaitu kalangan yang membantu menyebarkan dan menviralkan hoaks, mereka adalah ‘remah-remah’ saja. Mereka adalah korban. Lebih ironis, jika agen sukarelawan hoaks itu adalah orang miskin. Mereka gak sadar bahwa dengan menyebar hoaks, mereka pada dasarnya sedang memperkaya orang lain, sementara mereka sendiri tetap susah ekonominya.

 

Penulis: Naziful Haq

Editor: Anwar Kurniawan