Dua pekan lalu, salah satu personel tim saya confirm terpapar virus corona. Hasil tes usapnya positif. Dia yang seharusnya menjadi bagian penting dari pasukan tempur di lapangan untuk menyelesaikan proyek harus tumbang dan, mau tak mau, harus menjalani isolasi demi kebaikan bersama.
Pandemi memaksa kami untuk men-treatment orang dengan cara yang berbeda dari biasanya. Terlebih, mereka-mereka adalah pekerja lapangan yang berinteraksi dengan lingkungan industri dimana aturan diterapkan dengan standard dan protokol serius. “Sedikit saja mbeler hidungmu, grounded! Pulang!”
Pandemi dalam wadah habitat industri adalah kombinasi menarik dimana kita bisa melihat bagaimana tingkah polah manusia modern menangani masalah. Pendekatan logis-rasional dengan langkah-langkah terukur diterapkan: tracing, isolasi, vaksinasi; yang semuanya dilakukan dengan terkendali dan terkontrol.
Tentu saja ini tak jadi soal buat saya. Saya cenderung setuju dengan mekanisme ini. Bahkan, kalau mungkin, metode yang sama semestinya diterapkan tak hanya untuk wilayah industri, tapi juga di setiap lini aktivitas manusia sebagai bentuk usaha bersama menghadapi ujian wabah.
Karena toh, saya yakini bahwa langkah-langkah taktis itu memang kita perlukan sebagaimana Kanjeng Nabi juga memakai zirah sebelum berangkat ke medan laga peperangan. Atau, yang jamak kita dengar, beliau meminta sahabatnya mengikat unta sebelum bertawakal.
Hanya saja, ikhtiar kita hari-hari ini tidak sesederhana mengikat unta yang barangkali jika kita analogikan dengan konteks hari ini setara dengan mengunci sepeda motor sebelum sholat jamaah di Masjid.
Saat ini kita dikepung ketidakpastian dari segala arah: benturan-benturan informasi, gonjang-ganjing kebijakan yang tak menentu, sampai bayang-bayang para biadab yang memanfaatkan kesempatan demi dagang atau kekuasaan.
Kita boleh jadi merasa telah menyempurnakan ikhtiar dengan semaksimal mungkin, padahal jangan-jangan yang sedang kita lakukan adalah menghancurkan diri sendiri. Oleh sebab cara mengikat unta yang salah, lantas kita diterjangnya ketika sedang khusyuk sholat berjamaah.
Seorang kawan menganjurkan saya untuk mengikuti sanad yang jelas dalam menempuh langkah-langkah taktis, semisal menempuh vaksinasi atau tidak, sampai vaksin apa yang akan dipilih. Mengambil sanad yang jelas dalam hal ini, berarti menganut mereka yang terpercaya kepakarannya pada bidang-bidang keilmuan terkait.
Celakanya, kita dapati suara satu pakar berbenturan dengan pakar lainnya. Mengikuti salah satu ahli, tiba-tiba ditengah jalan, ahli lainnya meneriaki sambil melaju dengan arah berlawanan, “Hei, itu jalan yang salah! Putar balik!”. Diantara para marja’ yang semestinya menjadi rujukan atas penanganan taktis-logis-dan rasional saja saling belum bersepakat.
Sementara pada saat yang sama kehidupan harus terus berjalan. Ekonomi harus tetap berputar. Pekerjaan harus diselesaikan. Tiada mungkin mengambil pilihan untuk sekadar diam. Satu-satunya kemungkinan hanya terus melaju dan meneruskan perjalanan, seterjal dan segelap apapun jalan itu.
Ibarat perjalanan, kami sedang berada di jalan yang sudah biasa dilewati, namun tiba-tiba, secara mengagetkan ada tembok menghadang di tengah jalan. Belok kiri tidak tahu menuju kemana. Belok kanan tak pasti bebas hambatan. Mau lurus melaju, buntu. Dalam himpitan keadaan itulah kami harus mendayagunakan segala kemungkinan demi mencapai tujuan.
Pada akhirnya, beruntung kita memiliki mekanisme tawakal itu sendiri. Atau, dalam khazanah besarnya, kita sebut pegangan itu dengan istilah: agama. Ia menyediakan solusi ketika kita dihadapkan pada himpitan dan kebuntuan, meskipun bukan berarti ia hanya berguna dikala sulit. Tawakal, taqwa, atau apapun dalam agama, mustinya memang dijadikan metode, substansi, dan tujuan selama perjalan. Bukan saja ketika buntu lantas ingat Tuhan.
Sayangnya, jangankan sekelas pabrik-pabrik di industri tempat kami bekerja, sekelas pemerintah negara, atau WHO sekalipun tidak mengenal apa itu tawakal, sabar, taqwa. Bahkan, jujur saja, kita tak pernah sungguh-sungguh meletakkan agama dalam usaha membersamai pandemi ini.
Tidak terbayang oleh saya, WHO mengeluarkan rekomendasi protokol kesehatan dengan dibarengi wirid-wirid khusus, istighosah online, atau taubat seluruh manusia berjamaah sedunia, umpamanya.
Saya tidak sedang akan membentur-benturkan perkara tawakal dengan ikhtiar, atau lebih jauh lagi, antara agama versus sains, tapi perlu kiranya kita mengambil akurasi kesimbangan yang tepat antara keduanya dalam menghadapi keadaan yang serba simpang siur seperti saat ini.
Overdosis pada agama tentu saja tidak bijak, tapi menyikapi pandemi dengan terlalu logis dan verifikatif juga akan membuat hidup semakin rumit, padahal semestinya hidup dijalani dengan senang dan menyenangkan.