Umat Islam mendapatkan warisan dari Rasulullah Saw berupa al-Quran dan al-Hadits. Dua pedoman hidup ini adalah sumber utama hukum Islam. Dalam menghadapi segala tantangan, termasuk Covid-19, karena itu perlu tetap berpegang teguh pada keduanya. Permasalahannya adalah bagaimana menggunakan begitu banyak dalil untuk menentukan sumber hukum, maka disitulah posisi fikih dan keragaman pendapat dari fuqoha.
Berlandaskan dari fuqoha yang ada di MUI, PBNU, Muhammadiyah dll, Pemerintah membuat satu kebijakan yang disebut Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, nomor 15 tahun 2021. Sebagai tindak lanjut mendukung program pemerintah, Kementerian Agama (Kemenag) memutuskan meniadakan pelaksanaan shalat Idul Adha di masjid maupun lapangan terbuka, karena akan menimbulkan kerumunan. Semua peraturan pemerintah ini adalah kondisi hukum yang menjadi pertimbangan fikih.
Sebagai sebuah disiplin ilmu, fikih adalah produk. Untuk memproduksi hukum-hukum fikih, para ulama (fuqaha’) menggunakan perangkat disiplin ilmu lain, yang disebut Ushululfiqh. Salah satu kaidah Ushululfiqh berbunyi : la darara wa la dirara (لا ضرر ولا ضرار). Kaidah ini dikutip dari sabda Rasulullah Saw. Artinya, produk hukum yang dibuat oleh fuqaha’ tidak boleh menimbulkan kemudharatan bagi umat, dan manusia sendiri tidak boleh bertindak yang melahirkan mudharat.
Kaidah Ushululfiqh tersebut menjadi landasan pembuatan kaidah fiqh (قاعدة الفقه), yang salah satunya berbunyi: al-masyaqqah tajlibut taysir (المشقة تجلب التيسير). Jika ada sebuah situasi dan kondisi yang menimbulkan kemudharatan maka hal itu cukup jadi alasan menciptakan produk hukum yang membawa kemudahan. Dengan kata lain, produk hukum fikih harus memberikan kemudahan selama ada masyaqqat yang mendahuluinya.
PPKM Darurat dari pemerintah dalam konteks ilmu fikih ini adalah produk hukum yang berorientasi pada upaya menaati kaidah Ushululfiqh maupun kaidah fikih tersebut. Hipotesa dasar pemerintah (zhann) adalah pertimbangan medis. Salah satunya adalah pandangan World Health Organization (WHO) bahwa salah satunya cara mencegah persebaran pandemi Covid-19 adalah dengan menghindari kerumunan.
PPKM Darurat yang sejalan dengan WHO sejatinya bernilai “politik”. Dalam artian, PPKM Darurat adalah kebijakan politik pemerintah. Kaidah Fikih memberikan ruang kajian khusus terkait apapun yang menjadi ranah kebijakan pemerintah. Salah satu kaidah tersebut berbunyi: tasharruful imam ‘alar ra’yah manuthun bil mashlahati (تصرف الامام علي الرعية منوط بالمصلحة). Artinya, kebijakan politik pemerintah terhadap rakyatnya dilandaskan pada pertimbangan kemaslahatan. Dengan kata lain, hukum fikih dalam Islam memberikan wewenang penuh pada kebijakan politik pemerintah dalam menentukan kemaslahatan rakyat.
Di alam demokrasi kontemporer, kaidah-kaidah Ushulfiqh maupun fikih semacam ini banyak mendapatkan tantangan, terlebih terkait kebebasan berpendapat dan dalam mempengaruhi basis massa. Misalnya, ketika pemerintah menyerukan kebijakan PPKM Darurat dan peniadaan pelaksanaan Shalat Idul Adha tahun 1442 H di masjid maupun lapangan terbuka, ada ulama-ulama muslim yang kontra. Pandangan yang kontra pemerintah ini adalah absah di dalam sistem politik demokrasi.
Salah satu dalil yang mereka pakai adalah kutipan sabda Rasulullah Saw yang berbunyi:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى إِذَا أَنْزَلَ عَاهَةً مِنَ السَّمَاءِ عَلَى أَهْلِ الأرْضِ صُرِفَتْ عَنْ عُمَّارِ الْمَسَاجِدِ.
“Sesungguhnya apabila Allah ta’ala menurunkan penyakit dari langit kepada penduduk bumi maka Allah menjauhkan penyakit itu dari orang-orang yang meramaikan (memakmurkan) masjid,” (HR. Muhammad Nashiruddin Al-Albany, Silsilah al-Ahadits al-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah wa Atsaruha as-Sayyi-u fi al-Ummah, nomor 7080, Riyadh: Dar al-Ma’arif, t.t., 7-9). Kesimpulan hadits ini adalah “hadits Munkar.”
Terlepas dari dalil-dalil yang dipakai oleh para ulama yang kontra pemerintah berupa Hadits-hadits dha’if nan Munkar, pandangan para ulama ini juga tidak mengatasi masalah yang sejatinya jauh lebih penting ketimbang boleh atau tidaknya pergi ke masjid untuk shalat Idul Adha. Hal penting tersebut adalah hipotesa (zhann) yang dibangun oleh WHO bahwa pandemi Covid-19 adalah berbahaya, yang mudah menyebar berkat kerumunan massa.
WHO membangun hipotesis ini berdasarkan parameter sains medis, yang kemudian menjadi pertimbangan pemerintah Indonesia dalam melihat aspek mudharat sebelum mengeluarkan kebijakan PPKM Darurat maupun peniadaan shalat Idul Adha tahun ini. Kaidah fikih yang menjadi landasannya adalah : ar-ridha bis syai ridha bi ma yatawalladu minhu (الرضا بالشيء رضا بما يتولد منه). Mengamini satu perkara berarti mengamini apa yang menjadi turunannya.
Para ulama yang kontra pemerintah tidak cukup mendasarkan pertimbangan fikih mereka hanya pada literasi teks keagamaan. Sebab, pemerintah juga mendasarkannya pada teks suci yang sama. Misalnya:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ أَنَّ عُمَرَ خَرَجَ إِلَى الشَّامِ فَلَمَّا جَاءَ سَرْغَ بَلَغَهُ أَنَّ الْوَبَاءَ قَدْ وَقَعَ بِالشَّامِ فَأَخْبَرَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ فَرَجَعَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ مِنْ سَرْغَ
“Dari Abdullah bin Amir bin Rabi‘ah, Umar bin Khattab RA menempuh perjalanan menuju Syam. Ketika sampai di Sargh, Umar mendapat kabar bahwa wabah sedang menimpa wilayah Syam. Abdurrahman bin Auf mengatakan kepada Umar bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, ‘Bila kamu mendengar wabah di suatu daerah, maka kalian jangan memasukinya. Tetapi jika wabah terjadi wabah di daerah kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.’ Lalu Umar bin Khattab berbalik arah meninggalkan Sargh,” (HR Bukhari dan Muslim).
Selain itu, para ulama yang kontra pemerintah dengan mengajak berkerumun di masjid maupun lapangan terbuka untuk mengerjakan shalat Sunnah Idul Adha, cenderung pada pertimbangan teologis, yang kebenarannya adalah ranah keimanan. Ranah keimanan adalah ranah berbeda dari ranah medis. Jika teologi dan medis ini dipisahkan maka akan ada split atau keterbelahan. Dunia medis akan memandang rendah keyakinan teologi sebagai irrasional. Sebaliknya, teologi yang sempit akan merendahkan pengetahuan Sains medis. Jika dipaksakan begitu maka akan lahir dimensi ketiga, yakni keraguan massif publik.
Menciptakan keraguan di ruang publik bukan tindakan yang dibenarkan oleh fikih. Sebab, keraguan publik dapat disarangkan pada kebijakan pemerintah sekaligus pada ajaran teologi sebagian kecil fuqaha’. Untuk itu, sebagai penutup tulisan, penulis ingin menyampaikan bahwa kedudukan pandemi Covid-19 dalam tinjauan ilmu fikih ini sebagai pra kondisi bagi hukum. Selain itu, wewenang sains medis jauh lebih otoritatif dibanding disiplin ilmu lain, semisal teologi. Karenanya, ilmu fikih harus didahulukan berpijak pada pertimbangan sains dari pada teologi. Wallahu a’lam bishawab.