Karena begitu rajin ibadah, Fulan, sebut saja begitu, menjadi salah seorang yang disayangi kepala desa. Tiap hari, baik pagi atau sore, kepala desa mendatangi rumahnya. Hal ini ternyata membuat masyarakat iri.
Mereka akhirnya membuat rencana untuk memfitnah dan menyingkirkan Fulan. Sebuah tipu daya pun disusun. Mereka menyiapkan seorang gadis desa yang paling cantik (sebut saja Fulanah) dan ditugaskan untuk menggoda Fulan.
“Wahai hamba Allah, tolong aku. Perjalanan yang akan aku tempuh masih jauh. Aku tak berani melanjutkan perjalanan, takut bila nanti ada penjahat,” teriak Fulanah di depan rumah Fulan pada suatu malam.
Fulan pun membukakan pintu dan mempersilakan Fulanah. Tanpa diduga, Fulanah tiba-tiba menanggalkan semua pakaiannya. Kini, sama sekali tak ada sehelai benang pun yang melekat pada tubuh Fulanah yang mulus putih itu.
“Astgahfirullah, apa-apaan ini. Apakah kamu tidak malu telanjang di depan orang lain?,” kata Fulan dalam keadaan mata tertutup.
“Ah, jangan banyak bicara. Silakan, nikmati saja keindahan tubuhku ini,” jawab Fulanah mempersilakan Fulan menjamah dirinya.
Apa yang dikatakan Fulanah benar-benar membuat Fulan terkejut. Fulan segera mengingatkan Fulanah tentang dahsyatnya siksa neraka, jika ia tetap tetap melakukan perbuatannya itu. “Tidakkah kamu takut terhadap siksa neraka yang tak akan pernah padam?” bentak Fulan.
Nasihat dan peringatan Fulan tentang siksa neraka ternyata tidak mempan. Fulanah tetap saja merayu dan menggodanya. Kini, Fulan mengambil langkah agar Fulanah segera bertobat.
Ia segera mengambil lampu dan menghidupkannya. Lampu itu berisi sumbu-sumbu dan berbahan minyak tanah. Dengan niat ikhlas lillahi ta’ala, Fulan segera membakar ibu jarinya sendiri.
Lama-lama, jari telunjuk Fulan juga terbakar. Bahkan, api dari lampu itu segera membakar telapak tangannya. “Jika api dunia saja sudah membakar seperti ini, lantas, bagaimana dengan api akhirat kelak?” kata Fulan memperingatkan Fulanah, sembari menahan panas.
Entah karena apa perkataan Fulan atau karena apa, tiba-tiba Fulanah berteriak dan kemudian meninggal dunia. Melihat Fulanah meninggal, Fulan bingung. Ia segera memperlakukan jenazah itu sebagaimana mestinya.
Ternyata, kejadian itu dimanfaatkan Iblis untuk memprovokasi penduduk desa. Ia (iblis) mengabarkan kepada mereka bahwa Fulan telah berzina dengan Fulanah dan kemudian membunuhnya.
Singkat cerita, Fulan dihukum. Ia dibawa menuju tempat penyiksaan dengan kondisi tangan terikat. Sedang jenazah Fulanah ditempatkan di sebuah papan kayu. Ketika, lehernya akan dibelenggu untuk kemudian dieksekusi, Fulan berdoa kepada Allah SWT.
“Wahai Zat yang mengetahui segala rahasia,” kata Fulan penuh penghayatan.
Tiba-tiba ada suara menjawabnya, “Hentikan doamu!. Penduduk langit menangis melihatmu. Jika kamu terus berdoa, niscaya langit akan berguncang”.
Dalam keadaan sedih seperti itu, tiba-tiba Allah mengembalikan ruh Fulanah kepada jenazahnya. Fulanah hidup lagi dan berkata, “Fulan itu terdzalimi. Ia tak berzina denganku. Sungguh, aku masih perawan”.
Tak lupa, Fulanah menceritakan apa saja yang ia lihat. Para pasukan pun segera mengecek tangan Fulan. Ternyata, benar. Mereka menemukan telapak tangan Fulan benar-benar terbakar.
Pemimpin negeri segera menyatakan penyesalan atas keputusannya yang salah. Tak lama setelah itu, Fulan menjerit dan kemudian meninggal dunia. Pun demikian dengan Fulanah. Ia juga akhirnya meninggal dunia untuk kedua kali dan selamanya. Mereka berdua dikubur bersamaan. Waallahu a’lam.
Kisah ini terdapat dalam kitab an-Nawadir karya Ahmad Syihabuddin al-Qalyubi. Lewat kisah ini kita bisa belajar banyak hal. Salah satunya adalah selama kita yakin bahwa yang sedang kita lakukan itu benar, maka hendaknya tak ada rasa khawatir dan takut sama sekali. Innalla ma’ana. Allah bersama kita. Wallahu a’lam.
Sumber Kisah:
Al-Qalyubi, Ahmad Shihabuddin bin Salamah. an-Nawadir. Kairo: Musthafa al-Babiy, 1955.