Ummu Ma’bad: Perempuan Periwayat Hadis dan Bekerja sebagai Pengajar

Ummu Ma’bad: Perempuan Periwayat Hadis dan Bekerja sebagai Pengajar

Perempuan periwayat hadis di masa Rasul adalah hal biasa. Mereka bekerja dan tidak hanya diam di rumah.

Ummu Ma’bad: Perempuan Periwayat Hadis dan Bekerja sebagai Pengajar

Jika melihat kilas balik dari sejarah Islam terdahulu, akan kita temukan bahwa perempuan di awal masa Islam termasuk di antara pengajar-pengajar yang di muliakan dan juga berbudi luhur. Keilmuan mereka sangat bermanfaat dan berharga bagi seluruh umat, sehingga keilmuan mereka tidak diragukan lagi terutama dalam meriwayatkan hadis. Oleh karena itu, banyak juga perempuan periwayat hadis.

Sebagaimana diungkap Ibnu Sa’ad dalam al-Thabaqath al-Kubra, ada tujuh ratus perempuan yang meriwayatkan hadits-hadits dari Rasulullah dan dari sebagian para sahabat. Diceritakan juga dari sumber-sumber lain, betapa Rasulullah menghargai keilmuan para sahabat perempuan tidak hanya dari laki-laki. 

Baca juga: Kisah Ummu Salamah: Istri Rasulullah, Perawi Hadis dan Saksi Pembunuhan Husain

Selain Ummahatul Mukminin (para istri Rasul) ada juga para sahabat perempuan lainnya, salah satunya adalah perempuan yang meriwayatkan hadits dari Rasululllah serta memberikan sumbangan pendidikan dengan mengajarkan pengetahuan agama pada anak-anak didiknya, yaitu Ummu Ma’bad al-Khuza’iyyah.

Di masa jahiliyah dulu, nama Ummu Ma’bad tidak begitu dikenal. Ia hanya dikenal oleh orang-orang di lingkungannya dan keluarga kabilah di sekitarnya. Namun, Ummu Ma’bad menjadi salah satu perempuan ternama dalam Islam. Kefasihan dan sastranya yang begitu tinggi dalam menjelaskan sifat dan ciri-ciri dari Rasulullah, membuat Rasul kagum dan singgah di tempatnya. Dialah salah satu perempuan periwayat hadis tentang ciri-ciri nabi.

Kisah ini bermula dari perjalanan Rasulullah yang hendak hijrah ke Madinah al-Munawwarah. Rasulullah beserta rombongannya singgah di tenda milik Ummu Ma’bad. Ketika Rasulullah hendak membeli daging dan kurmanya untuk makan dan bekal perjalanan, Ummu Ma’bad menjawab dengan lirih, “Tidak ada yang bisa kami berikan meski sebiji kurma, bahkan kambing-kambing kami tak ada yang bisa diandalkan.  Demi Allah, seandainya kami punya sesuatu, maka kami tidak akan segan-segan menjamu kalian.”. Rasulullah melihat ada seekor kambing betina kurus di samping tenda, dan beliau bertanya, “Ada apa dengan kambing itu?” Ummu Ma’bad menjawab, “Sungguh, dia tertinggal dari kambing-kambing yang lain karena lemah, bahkan dia tak sanggup lagi berjalan”. 

“Apakah dia masih mengeluarkan susu?” tanya Rasulullah. 

“Bahkan dia lebih parah dari pada itu,” ujar Ummu Ma’bad. 

“Apakah engkau izinkan apabila kuperah susunya?” tanya Rasulullah lagi. 

“Boleh, demi ayah dan ibuku. Apabila engkau lihat dia masih bisa diperah susunya, maka perahlah!” Jawab Ummu Ma’bad. 

Rasulullah pun memerah susu kambing tersebut dengan mengusap kantong susunya seraya mengucapkan nama Allah dan berdo’a. Seketika kantong susu kambing tersebut mengembung seperti siap ingin diperah. 

Rasulullah pun meminta bejana yang besar kepada Ummu Ma’bad. Ummu Ma’bad memberikannya kepada Rasulullah dan bejana besar itu pun seketika penuh dengan susu dari kambing yang telah diperah. Melihat keajaiban ini, membuat Ummu Ma’bad terheran-heran. Ia tidak menyangka apa yang sedang terjadi saat itu. 

Rasulullah memberikan bejana itu kepada Ummu Ma’bad dan menyuruhnya meminum susu tersebut, bergantian dengan anggota rombongan yang lain hingga semuanya kebagian minum. Setelah semua kenyang, Rasulullah memerah lagi susu kambing itu dan memberikannya kepada Ummu Ma’bad sebagai hadiah. Setelah itu rombongan Rasulullah berpamitan dan pergi melanjutkan perjalanan hijrah ke Madinah.

Ummu Ma’bad masih tidak mempercayai akan hal ini. Ia bertanya-tanya, bagaimana mungkin susu yang diperah itu berasal dari kambing yang kurus dan sudah lemah? Ketika suaminya, Abu Ma’bad kembali, Ummu Ma’bad pun menceritakan kejadian luar biasa yang baru saja ia alami. Mendengar cerita dari istrinya, Abu Ma’bad pun berkata, “Wahai Ummu Ma’bad, ceritakanlah kepadaku bagaimana ciri-ciri dari orang tersebut!. 

Ummu Ma’bad menjelaskan kepada suaminya (tentang Rasulullah), “Ia adalah seorang pria yang mukanya bersinar ramah. Akhlaqnya mulia. Tubuhnya sedang dan wajahnya tenang. Ia cerdik sekali dalam membagi jatah. Kedua matanya hitam. Rambut alis dan bulu matanya lebat. Suaranya berat (lagi indah). Matanya bagus, bulu matanya lentik, warnanya sangat hitam seperti dicelak. Rambutnya hitam pekat. Lehernya panjang. Janggutnya lebat. Jika diam, ia tenang. Jika berbicara, tangan dan kepalanya ikut bergerak. Aura wibawanya pun keluar. Seolah-olah perkataannya bagaikan manik-manik yang disusun rapi untuk digulirkan. Ia berkata dengan singkat dan padat, tanpa ada sedikit pun yang tersia-sia. Dari kejauhan, ia tampak sangat tampan dan paling menonjol di antara orang banyak. Sedangkan dari dekat ia tampak lebih manis dan sempurna. Perawakannya sedang. Tidak terlalu tinggi dan tidak pula terlalu pendek. Ia memang paling berwibawa di antara yang lainnya. Beberapa orang ikut bersamanya. Mereka selalu menjaganya. Jika ia berkata, mereka menyimaknya dengan seksama. Jika ia menyuruh, mereka dengan seksama melaksanakannya. Ia cekatan dan lihai mengatur kekuatan. Raut mukanya tidak masam dan tidak ketuaan”.

Kisah yang masyhur ini adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Ma’bad sendiri, dan akhirnya diriwayatkan oleh banyak periwayat yang saling menguatkan satu sama lain. Penuturan serta penjelasan darinya mengenai sifat dan ciri-ciri Rasulullah sangat fasih. Terlebih lagi, Ummu Ma’bad saat itu adalah seorang perempuan Badui yang tidak bisa membaca dan menulis, yang hidup di pedalaman, dan jauh dari lingkungan masyarakat. Akan tetapi ia mampu menceritakan serta menjelaskan apa yang ia lihat dengan lengkap dan detail.

Baca juga: Benarkah Perempuan di Masa Nabi Hanya di Rumah Saja?

Bahkan Ali bin Thalib pun mengakui akan kefasihan dari Ummu Ma’bad, dikatakan kepada Ali bin Thalib, “Bagaimana orang tidak bisa menyifatkan Rasulullah sebagaimana Ummu Ma’bad menyifatkan Beliau?”. Ali bin Thalib menjawab, “Dikarenakan para perempuan itu menyifatkan dengan naluri mereka, maka mereka baik dalam memberikan sifat-sifat”. 

Selain kisah ini, Ummu  Ma’bad juga meriwayatkan beberapa hadis lainnya. Ia menjadi salah satu perempuan periwayat hadis. Ia juga memberikan sumbangan pendidikan dengan mengajarkan pengetahuan agama pada anak-anak didik yang dikenal dengan sebutan Mu’allim Kuttab atau Mu’allim Sibyan. Demikianlah profesi serta peran Ummu Ma’bad dalam Islam. Ia yang sebelumnya tidak begitu dikenal, hingga menjadi salah satu wanita Islam yang ternama dengan kefasihan dan kemampuan sastranya serta keilmuannya dalam pengetahuan agama yang ia ajarkan. (AN)

Baca juga tulisan lain tentang “Muslimah Bekerja” di sini.

Referensi:

-Muhammad Ibrahim Salim, Nisa’ Haula ar-Rasul (al-Qudwah al-Hasanah wa al-Uswah at-Tayyibah Li Nisa’ al-Usrah al-Muslimah)

-Ibn Sa’ad, al-Thabaqat al-Kubra.

 

*Artikel ini kerjasama Islamidotco dan Rumah KitaB