Di dalam Surat Al-Anfal: 41 disebutkan bahwa hari berkecamuknya Perang Badar adalah sebagai yaumul Furqon, atau hari pembeda. Ya, ia membedakan antara dua pasukan yakni pasukan Muslimin Madinah dan Kafir Quraisy Mekkah. Pembeda antara yang haq dan bathil. Namun, untuk lebih mengetahui hal ini, seraya sebagai sarana kita untuk belajar dari sejarah, mengambil mutiara-mutiara di dalam sirah Nabi Muhammad yang penuh berkah, mari kita lihat lebih dekat perbedaan di antara kedua pasukan dan pelajaran apa saja yang bisa kita petik dari sana.
Pada peristiwa Perang Badar yang terjadi pada 17 Ramadhan tahun kedua Hijriyah, kita bisa mengambil garis demarkasi yang jelas antara dua pasukan yang akan bertempur. Di satu sisi, pasukan Madinah terdiri dari 313 pasukan yang berasal dari kaum Muhajirin, suku Aus dan suku Khazraj. Mereka hanya memiliki dua ekor kuda yang dimiliki oleh az-Zubair bin Awwam dan al-Miqdad ibn al-Aswad, 70 ekor unta yang ditunggangi secara bergantian, dan perlengkapan perang yang sangat minim. Di sisi lain, pasukan Mekah terdiri dari sekitar seribu tiga ratus pasukan, membawa lebih dari 100 ekor kuda, 600 baju besi, dan unta yang tidak tahu berapa jumlah persisnya. Setiap harinya, pasukan Mekah menyembelih sembilan sampai sepuluh ekor untuk untuk konsumsi di perjalanan mereka.
Di Tengah perjalanan, keluarga besar Bani Adi yang jumlahnya sekitar 300 orang memutuskan untuk kembali ke Mekah setelah mendapat kabar dari Abu Sofyan tentang keselamatan kafilahnya. Kafilah tersebut mengambil rute pantai menjauh dari intaian tentara Madinah.
Abu Sofyan adalah pemuda yang sangat cerdas dan bijaksana. Dialah pemimpin kafilah yang membawa seribu onta, beragam harta benda, dan dinar yang diperkirakan mencapai 50.000 dinar emas atau menurut catatan Quraisy Shihab berjumlah sekitar 22,75 kg emas. Abu Sofyan di tengah perjalanan tersebut merasa ada yang aneh. Dia merasa ada yang memata-matai perjalanannya. Lalu, dia menemukan kotoran onta, dan setelah melihat dan mempelajari kotoran tersebut, dia mengetahui bahwa onta tersebut, yang memakan dedaunan pohon kurna, berasal dari Madinah, tidak mungkin dari tempat lain. oleh karena itu, dia lalu mengutus Amr ibn Dhamdham Al-Ghifari untuk menyampaikan kabar tersebut ke Mekah agar mengutus bala bantuan untuk mengamankan dagangan mereka. Maka berangkatlah pasukan Mekah di bawah komando Abu Jahal.
Mendengar kabar dari Abu Sofyan agar kembali ke Mekah, Abu Jahal bin Hisyam menolak dengan tegas seraya berkata:
“Demi Allah! kami tidak akan kembali kecuali telah sampai di Badar. Kami akan berpesta, minum anggur, dihibur oleh para biduanita Arab, makan besar, biar semua orang Arab mendengar dan mengetahui kekuatan kita dan menjadi gentar karenanya”
Perkataan Abu Jahal ini diamini oleh kebanyakan dari pasukan Quraisy, dan Allah merekamnya di dalam surat Al-Anfal ayat 47:
“Janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka dengan angkuh dan dengan maksud ria terhadap manusia serta menghalangi dari Jalan Allah, padahal Allah meliputi segala yang mereka kerjakan”.
Dari gambaran di atas, kita melihat dengan nyata bagaimana Abu Jahal cs merepresentasikan manusia yang bangga dan menyandarkan kesuksesan dalam perang berdasarkan materi yang mereka miliki: jumlah pasukan yang besar, aliansi, senjata, bekal, dan alat-alat perang lainnya. karena ‘kekuatan’ itu pula mereka menjadi orang-orang yang sombong dan ingin dipuji atau riya’.
Betapa dalam hidup yang singkat ini terkadang kita juga melakukan hal yang sama, bukan? Menyandarkan kesuksesan atas materi, aliansi atau jaringan pertemanan, kekayaan, dan mungkin juga gelar yang kita sandang. Membanggakannya. Padahal, bersandar kepada manusia dan segala yang melekat atasnya tidak lain adalah seperti kita bersandar pada kayu yang rapuh.
Sementara itu, tatkala pasukan Quraisyh sampai di Badar dan mulai berpesta, Nabi Muhammad masih dalam kebimbangan. Awalnya, dia tidak ada niat untuk berperang. Nabi hanya ingin menyergap, mengambil harta dari kafilah Quraisy di mana di dalamnya juga terdapat harta milik orang-orang muhajirin. Pada titik ini, Nabi bermusyawarah dengan para sahabatnya. Merundingkan apakah kita akan maju bertempur atau pulang kembali ke Madinah yang berjarak sekitar 150 kilometer.
Kalangan Muhajirin bersepakat untuk mengikuti dawuh Nabi seandainya beliau menghendaki untuk melawan musuh yang sudah ada di hadapan. Sahabat Miqdad bin Amir, dari kaum Muhajirin, berkata:
“Wahai Rasulullah, kami akan bersama engkau. Kami tidak akan berkata kepadamu sebagaimana Bani Israel berkata kepada Musa ‘pergi engkau sendiri bersama Rabb-mu dan berperanglah. Kami akan duduk menanti di sini saja’” Demi yang mengutusmu dengan kebenaran, andai kata engkau pergi membawa kami ke dasar sumur yang gelap, maka kami pun siap bertempur bersama engkau hingga engkau bisa memcapai tempat itu”.
Meski demikian, Nabi masih ingin mendapatkan masukan, sikap, dan pendapat dari kaum Anshar. Sebab, kaum muhajirin jumlahnya hanya sedikit, antara 83-86 orang. Sedangkan kekuatan utama pasukan Muslim berada di pihak Anshar. Pada saat inilah kita mendengarkan kata-kata luar biasa dari sahabat Sa’d bin Muadz, pemimpin kaum Anshar:
“Kami telah beriman kepadamu wahai rasulullah. Kami sudah memberikan sumpah dan janji kami untuk patuh dan taat. Majulah terus wahai Rasulullah. Demi yang mengutus engkau dengan kebenaran, andai engkau bersama kami terhalang lautan, lalu engkau terjun ke dalamnya, kami pun akan terjun bersama engkau. Tak seorang pun di antara kami yang akan mundur. Kami dikenal sebagai orang yang sabar dalam peperangan dan jujur dalam pertempuran. Semoga Allah memperlihatkan kepadamu tentang diri kami, apa yang engkau sukai. Maka majulah bersama kami dengan barakah Allah”
Inilah pembeda. Orang-orang musyrik berperang untuk menunjukkan keunggulan mereka, sementara pasukan Muslim dengan visi yang sama: menaati Tuhan dan Rasulnya. Maka, di dalam perjuangan dalam bidang apapun adalah sangat penting untuk menata dan memperbarui niat. Tentu saja perlu latihan secara terus menerus untuk menjadikan Tuhan semata-mata sebagai tujuan. Namun, setidaknya, kita terus berusaha untuk melaksanakan apa-apa yang diperintahkan, dicintai, dan dianjurkan-Nya. Paling tidak, sebagaimana kata Gus Baha, setidaknya kita tidak melakukan kemaksiatan.
Pada saat perang mulai berkecamuk, hari Jumat, 17 Ramadhan tahun kedua hijrah, Nabi berdoa. Beliau keluar dari tendanya, berdiri, dan menengadah ke langit seraya berdoa:
Ya Allah laksanakan apa yang telah Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah aku bermohon pemenuhan janji-Mu, ya Allah jika Engkau membinasakan kelompok ini, maka engkau tidak akan disembah lagi di bumi ini”
Nabi sangat gelisah. Beliau bermohon kepada Tuhan dengan sangat serius dan khusyuk sampai-sampai serban yang dipakainya jatuh ke tanah. Maka, turunlah surat al-Anfal ayat 9 yang memberikan kabar gembira akan datangnya bala bantuan dari malaikat yang berjumlah ribuan.
Pertolongan Allah adalah satu-satunya penolong pasukan Muslimin. Peristiwa perang Badar sering diulang-ulang di dalam Al-Quran tidak untuk mengunggulkan pasukan Muslim, melainkan untuk merenungkan betapa agungnya pertolongan Allah.
“Maka bukanlah engkau yang membunuh mereka, tetapi Allah yang membunuh mereka. Dan bukanlah engkau yang melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah yang melempar” (Al-Anfal: 17)
Inilah pembeda. Pasukan Muslim mengembalikan kemenangan mereka semata-mata atas kehendak Allah, bukan atas dasar kekuatan, strategi, dan kecerdasan mereka. Pasukan Muslim yang memercayai Tuhan dan Nabinya, tidak bersandar pada kekuatan, aliansi, harta, senjata, dan jumlah pasukan, dan meyakini kekuatan doa. Bahwa ada Tuhan yang siap menolong hamba-hambanya sebagaimana dalam firmannya dalam Al-Baqarah 186:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi perintah-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran”
Begitulah Perang Badar. Menewaskan 70 orang Quraisy dan 70 tawanan perang. Sementara di pihak pasukan Muslim yang gugur berjumlah 14 pasukan. Perang Badar telah melambungkan nama Nabi dan umat Islam di Madinah. Mereka, umat Islam, mulai menjadi aktor yang patut diperhitungkan dalam peta politik di Madinah.