Al-Abbas adalah putra al-Makmun, sang amirul mukminin. Satu hari, dia (al-Abbas) terlibat dalam kasus sengketa tanah dengan seorang perempuan. Dalam kasus itu, tanah berhasil dikuasai al-Abbas.
Merasa dizalimi, perempuan tersebut berniat untuk melapor dan mengadukan masalahnya kepada sang pemimpin, al-Makmun, yang tak lain adalah ayah dari al-Abbas.
Siang itu, di pengadilan, al-Makmun sedang duduk menunggu rakyatnya yang akan melapor. Ketika pengadilan sudah hampirr tutup, si perempuan tiba-tiba datang dengan langkah tergopoh-gopoh. Ia berhenti di depan pintu.
Melihat ada yang datang, al-Makmun pun memberi isyarat kepada salah satu asistennya untuk membawanya masuk. Di hadapan al-Makmun, perempuan tersebut berkata, “Wahai Amirul Mukminin, tanahku telah dirampas dan tak ada yang bisa menjadi penolongku melainkan Allah”.
Dengan terpaksa, Al-Makmun tak bisa menanggapi aduan perempuna tersebut. Ia menyatakan bahwa pengadilan telah tutup. Namun, ia memberi solusi dan saran, yakni dengan memintanya untuk datang kembali hari Kamis.
Hari kamis pun tiba. Perempuan itu benar-benar datang lagi ke pangadilan untuk mengadukan masalahnya. Saat itu, di sana, juga sudah ada al-Makmun dengan didampingi al-Abbas. Namun, saat itu, ia tak mengetahui bahwa yang terlibat sengketa denagn perempuan itu adalah putranya sendiri.
Sidang pun dimulai.
Al-Makmun membuka sidang dengan sebuah pertanyaan, “Pihak mana yang merampas tanahmu dan engkau perkarakan?”
“Itu dia, lelaki yang sedang duduk di samping Anda,” jawab perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah al-Abbas.
Al-Makmun akhirnya menyuruh ajudannya untuk membawa al-Abbas dan mendudukkannya di samping perempuan tersebut. Sejurus kemudian, si perempuan dan al-Abbas perdebatan yang sangat sengit. Bahkan tak jarang, keluar kata-kata dengan nada tinggi dari perempuan tersebut.
Melihat apa yang sedang terjadi dan tak terima putra al-Makmun dibentak-bentak, salah satu asisten al-Makmun menyela dan menegur perempuan itu, “Wahai perempuan, tolong jaga sikapmu!. Apa engkau tidak sadar siapa yang sedang engkau ajak bicara. Dia adalah pangerang, putra al-Makmun.”
Al-Makmun ternyata tak setuju dengan pembelaan yang ditujukan kepada anaknya itu. Ia sama sekali tak kehilangan sikap adilnya. Justru, ia menegur asisten tersebut. Ia memintanya agar membiarkan saja perempuan tersebut berbicara semaunya.
“Ia berani berkata seperti itu karena memang ia merasa benar. Kebenaran telah membuatnya seperti itu. Juga, kesalahan terlah terbukti membuat lawannya (al-Abbas) diam seribu bahasa,” kata al-Makmun tegas.
Setelah menyaksikan “debat terbuka” itu, akhirnya al-Makmun memutuskan bahwa si perempuan adalah pihak yang benar. Ia meminta al-Abbas untuk mengembalikan tanah yang dipersengakatann itu. Tak hanya itu, al-Makmun juga memberikan uang sepuluh ribu dirham kepada perempuan tersebut. Alhamdulillah.
Kisah yang termaktub dalam ‘Uyun al-Hikayat karya Ibnu Jauzi ini menegaskan betapa seorang pemimpin harus bisa bersikap adil seadil-adilnya, apapun keadaannya. Yang benar harus dibenarkan, meskipun orang lain dan tak memiliki hubungan spesial. Begitu juga yang salah, harus tetap disalahkan dan tak perlu dibela, meski ia adalah keluarga, kerabat, atau orang dekat.
Allh SWT berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (QS. Al-Nahl [16]: 90)
Salah satu perintah Allah dalam ayat ini adalah untuk selalu berbuat adil. Adil yang dimaksud tidak saja terkait perbuatan, namun juga perkataan. Obyek ayat ini adalah para hamba Allah. Begitu kurang lebih penjelasan dalam tafsir al-Muntakhab.[2]
Penafsiran ini mengisyaratkan bahwa siapa saja yang mengaku sebagai hambaNya hendaknya selalu bersikap adil dalam segala hal. Lewat kisah ini, kita juga belajar bahwa syarat utama tegaknya keadilan adalah persamaan kedudukan terhadap siapa saja yang akan akan dinilai. Tanpanya, keadilan hanya akan menjadi isapan jempol belaka.
Walhasil, adil memang mudah dikatakan namun tak semua orang bisa melakukan. Ia adalah sikap yang mulia. Hanya orang mulia yang bisa mengerjakannya, atau siapa yang adil maka ia akan mulia. Semoga Allah jadikan kita pribadi yang selalu bisa berbua adil. Amin.
Sumber:
Al-Azhar, Tim Lajnah Ulama. al-Muntakhab fi Tafsir al-Qur’an al-Karim. Mesir: al-Majlis al-A’la, 1995.
Ibn al-Jauzi, Jamaluddin Abi al-Farj bin. ’Uyun al-Hikayat. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2019.