Konon, salah satu tujuan dari sebuah aksi teror adalah menyampaikan pesan. Seringkali, pesan itu berupa kabar ketakutan agar masyarakat menjadi panik sehingga memudahkan kelompok teror melancarkan kepentingannya.
Tapi, ada kasus menarik dari pengakuan lima orang yang ditangkap Densus 88 Antiteror, menyusul aksi bom bunuh diri yang meledak di Gereja Katredal, Makasar, Sulawesi Selatan. Ya, kelimanya mengaku sebagai simpatisan Front Pembela Islam (FPI).
Seorang terduga teroris bernama Ahmad Junaidi,misalnya, mengaku sebagai simpatisan FPI. Sebelumnya, dia diamankan tim Densus 88 Antiteror di Ciputat Timur, Tangerang Selatan, pada Senin (29/3) lalu. Ahmad Junaidi mengaku rutin mengikuti pengajian yang dipimpin oleh Habib Husein Hasni di Condet, Jaktim, yang juga ditangkap tim Densus 88 Antiteror.
“Saya Ahmad Junaidi salah satu anggota simpatisan FPI, semenjak Habib Rizieq pulang ke Indonesia dan saya juga tergabung di dalam jemaah pengajian di bawah pimpinan Habib Husein Hasni Condet dan diadakan setiap malam Jumat bergilir ke rumah-rumah semua anggota jemaah pengajian,” ujarnya, dikutip detik.com.
Sementara itu, seorang terduga teroris lainnya, Zulaimi Agus, mengaku membuat bahan peledak jenis TATP. Zulaimi Agus ditangkap di Serang Baru, Cibarusah, Kabupaten Bekasi, pada Senin (29/3). Di rumah kontrakan dia, tim Densus 88 Antiteror menemukan sejumlah bahan peledak aktif saat itu.
“Saya belajar membuat TATP atau acetone peroxide sejak pasca-kerusuhan Mei 212 di depan Bawaslu. Sudah mencoba lima kali membuat di bengkel Sinergi Motor Serang Baru, Cibarusah, Kabupaten Bekasi. Saya belajar membuat bahan tersebut dari blog internet dengan cara mengaktifkan VPN,” kata Zulaimi Agus.
Ditengarai, Zulaimi Agus termotivasi membuat bahan peledak karena ingin menegakkan keadilan dengan cara sendiri terhadap tindakan Brimob kepada demonstran 212.
“Motivasi saya membuat TATP saya merasa negara ini sudah tidak ada keadilan, saya ingin membalas. Sebetulnya bukan ingin membalas, saya ingin menegakkan keadilan dengan cara saya sendiri atas tindakan aparat Brimob yang berlaku sewenang-wenang terhadap demonstran kerusuhan Bawaslu 2019,” katanya.
Selanjutnya, teroris Bambang Setiono mengaku menjadi simpatisan FPI sejak Desember 2020. Pria yang ditangkap di sebuah mal di Pademangan, Jakarta Utara, pada Senin (29/3) itu sempat mengaku merencanakan penyerangan di SPBU.
“Saya Bambang Setiono menjadi simpatisan FPI sejak awal Desember 2020. (Keterlibatan saya) membuat bahan dari black powder dari Zulaimi Agus di Sukabumi. Merencanakan aksi penyerangan kepada SPBU dengan bom molotov untuk menuntut bebas HRS,” kata Bambang.
Terakhir, Wiloso Jati mengaku sebagai laskar FPI DPC Jagakarsa pada 2019. Wiloso Jati bergabung dengan Habib Husein Hasni pasca-penangkapan Habib Rizieq Shihab dan pembubaran FPI.
“Saya Wiloso Jati. Saya adalah anggota FPI. Jabatan terakhir saya di FPI adalah sebagai laskar di DPC Jagakarsa tahun 2019. Saya bergabung dengan kelompok Habib Husein pasca-penangkapan Habib Rizieq Shihab dan pembubaran FPI. Saya pernah ditawari sebagai eksekutor untuk melemparkan bom molotov oleh Bambang Setiono. Kemudian juga pernah sedikit belajar untuk cara pembuatan bom dari Zulaimi Agus. Habib juga pernah memerintahkan kepada anggota mengisi ilmu kebal di Sukabumi di tempat Haji Popon sebagai pembekalan untuk persiapan aksi,” kata dia.
Rupanya, untuk menjadi teroris itu tidak melulu tentang hasil perekrutan agen ekstremis. Terkadang, ia juga bisa lahir dari gaya hidup yang kurang sehat seperti mengkonsumsi kabar kebencian dan agitasi lewat pengajian-pengajian yang, sekilas memang tampak luhung, tapi sekaligus mengancam keselamatan diri sendiri.