Mana yang pernah anda lakukan: membaca komik kiamat atau menyimak ceramah Ustadz kiamat? Jika toh keduanya tidak Anda lakukan, saat ini, banyak di sekitar kita beberapa ustadz yang mendedahkan berbagai cerita kiamat dengan model baru.
Di antara nama yang cukup tenar dalam mengolah narasi kiamat sebagai modal ceramah adalah ustadz Zulkifli Ali. Kita tentu tidak lupa sekitar akhir tahun 2019 lalu, kita pernah dihebohkan atas ceramah beliau yang menyebutkan tabrakan meteor ke bumi. Sekarang kiamat tidak lagi sekedar cerita seram di komik, namun telah bertransformasi menjadi kapital komersial bagi seorang ustadz.
Beberapa waktu lalu, dunia maya pernah dihebohkan atas informasi dari ustadz Zulkifli Muhammad Ali, yang lebih akrab dipanggil Uzma, tersebut. Beberapa tahun terakhir ini, ada sejumlah ustadz yang mengkapitalisasi narasi “Akhir zaman” sebagai bagian dari promosi diri. Selain nama Uzma, ada nama Rahmat Baequni yang sempat menyita perhatian kita ketika kritiknya terhadap desain bangunan masjid karya Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil.
Kedua nama tersebut memiliki keterlibatan dengan warganet yang cukup besar. Akun Youtube mereka saja memiliki pengintil bisa dibilang besar. Bahkan, jika kita telisik jumlah akun-akun yang membagikan ulang potongan ceramah mereka sangatlah besar.
Uniknya, di tengah animo masyarakat atas narasi kiamat yang tidak pernah surut, kehadiran para ustadz kiamat tersebut telah mengubah cerita kiamat tidak lagi soal balasan akan perbuatan baik-buruk di dunia, sebagaimana komik atau cerita kiamat selama ini kita konsumsi. Namun, narasi kiamat yang dihadirkan para ustadz tersebut seringkali ditambahkan atau dihubungkan dengan situasi terbaru.
Narasi non-muslim yang begitu keras dan jahat atas umat Islam adalah cerita paling sering muncul dalam unggahan dari para ustadz tersebut. Akhir dunia tidak lagi hanya soal kehancuran atau soal pembalasan, namun juga bercerita bagaimana masa-masa sulit yang dihadapi oleh masyarakat muslim akibat ulah kelompok non-muslim.
Kelompok liyan dari muslim sering kali dicitrakan sebagai orang yang bengis, kejam dan siap menghancuran Islam. Cerita eskatologis yang rasis ini dihadirkan dengan dalil-dalil yang ditafsirkan serampangan dan memojokan kelompok liyan, khususnya agama lain.
Kedua ustadz kiamat sangat sering menggunakan narasi ini untuk menghadirkan stereotip atas kelompok minoritas sehingga menimbulkan di tengah umat rasa saling curiga yang tak berkesudahan. Mereka seakan tidak peduli dampak yang ditimbulkan atas penanaman ideologi kaku dan keras di tengah publik.
Menjual Narasi Kiamat: Tidak Lagi Sekedar Cerita Moral, Tapi Juga Islam Politik
Rasanya sudah sering kita menjumpai perbincangan tentang “Akhir Zaman” di kehidupan sehari-hari. Jika generasi 90-an ke atas mungkin masih menjumpai komik bergambar cukup seram menggambarkan kiamat dan berbagai prosesnya. Di tengah kemajuan teknologi, media sosial memberi ruang pada model ustadz kaya Uzma dan Rahmat Baequni dan mengeraskan wacana yang mereka tebar.
Saya sendiri pernah bertanya dengan teman terkait kiamat, “Andai kita hidup beberapa ratus tahun lalu, kita tetap saja membicarakan persoalan yang sama, yakni kiamat”. Cerita akhir zaman telah lama beredar di tengah kita, bahkan di setiap generasi sering menyebut mereka sedang hidup di akhir zaman, namun terdapat sedikit pergeseran yang bisa kita lihat dalam narasi kiamat di tangan dua ustadz tersebut.
Ketika kiamat atau masa akhir kehidupan manusia telah menjadi perbincangan di setiap generasi, menariknya akhir-akhir ini memunculkan respon yang tidak lagi hanya berfokus pada perbaikan moral pribadi, menjadi perbincangan terkait Islam Politik yang kental. Jika sebelumnya, gambar potong lidah, kehancuran dunia, dan keributan yang dialami oleh setiap muslim, maka sekarang malah kedua ustadz lebih banyak bermain kisah dan gambar yang lebih beraroma perang atau ketertindasan umat Islam.
Dalam pergeseran tersebut kedua ustadz lebih memilih menggelorakan formalisasi tradisi “zaman keemasan”, dalam hal ini merujuk pada tahun-tahun awal Islam. Hal ini menurut Dale F. Eickelman dan James Piscatori, keduanya adalah akademisi asal Darmouth College dan University of Wales, menuliskan fungsi dari formalisasi “zaman keemasan” adalah sebagai tudingan terhadap pembangkangan masyarakat muslim modern dan juga sebuah cetak-biru kelompok ideal.
Baca juga: Ustadz yang Gemar Kiamat dan Iluminati yang Seolah-olah Ada
Poin tegas tersebut bisa kita jumpai bahwa apapun yang kita hadapi atau lakukan dalam menghadapi “akhir zaman” adalah menduplikasi masa keemasan Islam tersebut. Hal ini jelas sekali berbeda dari apa yang pernah dihadirkan oleh komik kiamat dulu. Dalam komik tersebut, kita masih bisa melihat agama sebagai bagian dari privasi kehidupan seseorang.
Dalam ceramah kiamat kedua ustadz tersebut yang dipaparkan adalah kritik tatanan kehidupan masyarakat muslim modern. Selain itu, narasi kiamat juga menghadirkan secara bersamaan modal komersialisasi oleh para ustadz tersebut, yang mengiringi perbaikan dari kondisi “rusak” di masyarakat.
Tidak Lagi Tersisa Dari Ajaran Agama yang Tak Dipengaruhi Islam Politik
Perbincangan kiamat yang berkelindan dengan Islam politik didedahkan oleh Uzma dan ustadz Rahmat Baequni, seakan memberikan gambaran pada kita bahwa kelompok Islamisme telah merambah berbagai lini ajaran Islam. Keinginan kelompok Islamisme tersebut disandarkan pada ambisi mereka untuk mengubah tatanan dunia.
Bassam Tibi, akademisi asal Amerika Serikat, menuliskan bahwa, “ ….yang dibayangkan oleh Islamisme itu sakral, berdasarkan konsep daulah Islamiyyah, negara yang berdasarkan syariat, dan berdasarkan hakimiyyat Allah (pemerintahan Tuhan) untuk menggantikan kedaulatan rakyat (baca: demokrasi)”. Tatanan politik yang diinginkan oleh ustadz macam Uzma dan Rahmat Baequni bisa dibilang memiliki cita yang serupa dengan apa yang ditulis oleh Tibi di atas.
Baca juga: Sisi Lain Ceramah Para Ustadz yang Gemar Jualan Kiamat
Adapun tatanan kehidupan yang mereka ingin wujudkan adalah yang memiliki warna Islam yang reaksioner dan literalis. Akibatnya, keberagamaan di masyarakat semakin tidak ramah dan tidak siap menghadapi perbedaan. Selain itu, mereka juga sering mewacanakan kehidupan yang terpisah dari tatanan kehidupan bersama.
Alasan kerusakan moral dan nilai kehidupan agama selalu menjadi dalih kedua ustadz tersebut setiap mengajukan tatanan baru. Bahkan, mereka juga beberapa kali mengajak umat untuk berpindah ke sebuah wilayah yang telah mereka sediakan, demi mewujudkan cita-cita kehidupan yang lebih “aman” dan “nyunnah” bagi mereka.
Kehadiran narasi kiamat yang digagas oleh kedua ustadz tersebut dapat memberi dampak buruk pada tatanan kehidupan di Indonesia, sekaligus menjadi tantangan imunitas atas penyakit “intoleran” bagi masyarakat kita. Sebab, jika semakin berat kita mengindap penyakit tersebut maka kemungkinan besar tidak akan lama lagi kita melihat “ghetto-ghetto” berwarna agama, yang mana sebelumnya pernah dilakukan oleh para penjajah untuk menghancurkan wacana persatuan di masyarakat.
Rasanya kita perlu memfilter ajaran agama yang mulai dijangkiti pagebluk politik elektoral sesaat. Sebab, jika kita gagal maka bukan tidak mungkin kita akan menghadapi persoalan kekerasan atas nama agama yang sulit sekali disembuhkan.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin